BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Negara Indonesia adalah negara kepulauan,
2/3 wilayahnya terdiri dari perairan. Hingga saat ini banyak Sekolah
Perikanan dan kelautan yang mengelola unit produksi budidaya ikan laut,
diantaranya adalah budidaya kerang abalone, sehingga sangat penting informasi
ini untuk diketahui kepada para guru dan pelaku unit produksi kerang tersebut.
Abalon (Haliotis spp.) merupakan
salah satu jenis moluska laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi (McBride dan
Conte, 2008). Hewan ini tergolong ke dalam klas Gastropoda, famili Haliotidae
(Huchette eta/., 2003). Di a lam dilaporkan terdapat sekitar 100
spesies yangberasal dari genus Haliotis, namun yang memiliki nilai komersil
hanya sekitar 10 spesies (Takashi, 1980; Fallu, 1991 ). Di Indonesia ditemukan beberapa spesies abalon , namun yang dewasa
ini memiliki pasar dan sudah berhasil perbenihannya yaitu spesies Haliotis
asinina dan Haliotis squamata (Priyambodo et a/., 2005; Rahmawati et a/., 2009).
Daging abalon mempunyai nilai gizi yang
cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99%, lemak 3,20%, serat 5,6o%, dan abu
11,11%. Cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk
perhiasan, pembuatan kancing baju, dan berbagai bentuk barang kerajinan
lainnya. Produksi abalon saat ini lebih banyak diperoleh dari tangkapan di
alam. Hal tersebut akan nienimbulkan kehawatiran terjadinva penurunan populasi
di alam.
1.2
Tujuan
Adapun yang
menjadi tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas
(UTS) dan juga diharapkan dapat menjadi media informasi kepada pembaca
khususnya kepada saya sendiri selaku penulis agar dapat mengetahui tekhnik
budidaya Abalone (Haliotis spp.)
1.3
Manfaat
Adapun manfaat
penyusunan makalah ini yaitu sebagai media informasi tentang cara atau tekhnik
budidaya abalone (Haliotis spp.).
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Klasifikasi
dan Morfologi Abalon (Haliotis
squamata)
Secara morfologi abalon di klasifikasikan
sebagai berikut:
Phylum
: Mollusca
Class : Gastropoda
Ordo
: Archaeogastropoda
Family
: Holiotididae
Genus
: Haliotididae Linnaeus
Species
: Haliotis squamata
Gambar
1. Abalon Haliotis squamata (Imamura, 2005)
Abalon (Haliothis squamata)
merupakan salah satu komoditas perikanan yang perlu dikembangkan lebih lanjut
mengingat permintaan pasar semakin meningkat dan harganya cukup tinggi. Untuk
mengembangkan komoditas perikanan ini, perlu adanya tenaga-tenaga terampil yang
dapat menjamin keberhasilan proses budidayanya.
Hewan yang tergolong ke dalam Genus Haliotidae
memiliki beberapa ciri di antaranya bentuk cangkang bulat sampai oval,
memiliki 2 - 3 buah puntiran (whorl), memiliki cangkang yang berbentuk
telinga (auriform), biasa disebut ear shell. Puntiran yang
terakhir dan terbesar (body whorl) memiliki rangkaian lubang yang
berjumlah sekitar 4 - 8 buah tergantung jenis dan terletak di dekat sisi
anterior (Octaviany, 2007 dalam
Rusdi, dkk. 2010).
Abalon sebagai salah satu penghuni
lingkungan perairan dangkal yang tidak jauh dari pemukiman ini tentulah tidak
luput dari pengaruh pencemaran ini. Kualitas air yang buruk merupakan faktor
pembatas bagi pertumbuhan hewan ini. Pada tahap awal pertumbuhannya, abalon
belum memiliki cangkang yang mampu melindunginya dari pengaruh buruk
lingkungannya (Fallu, 1991).
Abalon merupakan satu di antara golongan
gastropoda yang paling primitif bentuk maupun strukturnya yang hidup di daerah
karang yang memiliki arus kuat. Abalon
memiliki single shell (cangkang) berbentuk bulat, elips atau berbentuk
daun telinga (ear-shaped) dan memiliki barisan pori-pori pernafasan (tremata)
yang terletak di sepanjang sisi kiri dari cangkang. Jumlah pori-pori
pernafasan terbuka meningkar mengikuti pertumbuhannya dan pada tiap spesies
berbeda jumlahnya (Cox, 1962 dalam Hahn, 1989).
Kerang
abalone memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas. Pada cangkang
tersebut terdapat lubang-lubang dalam jumlah yang sesuai dengan ukuran abalone,
semakin besar ukuran kerang abalone maka semakin banyak lubang yang terdapat
pada cangkang. Lubang-lubang tersebut tertata rapi mulai dari ujung depan
hingga belakang cangkang. Kerang abalone juga mempunyai mulut dan sungut yang
terletak di bawah cangkang serta sepasang mata.
Abalon mempunyai sepasang mata, satu
mulut dan satu tentakel penghembus yang berukuran besar. Di dalam mulutnya
terdapat lidah parut (radula) yang berfungsi mengerik alga menjadi
ukuran yang dapat dicerna. lnsang terletak dengan pernapasan. Sirkulasi air berlangsung
di bagian bawah tepi cangkang kemudian mengalir menuju ke insang dan
dikeluarkan melalui pori yang terdapat di bagian cangkang. Abalon (Holiotis spp.)
tidak memiliki struktur otak yang jelas dan nyata, sehingga hewan ini dianggap
sebagai salah satu hewan primitif.
Gambar
2. Anatomi abalone (Holiotis spp.)
Serangkaian lubang sepanjang kiri margin mendefinisikan
sebagai suatu kelompok tertentu genus dari siput disebut Haliotis. Lubang atau pernafasan pori-pori adalah outlet lewat mana
air laut, sebagaian dilucuti oksigen oleh insang, untuk dikeluarkan bersama
dengan air kencing, kotoran, baik sperma atau telur. Kepala
dan mulut abalone ayang diapit oleh dua pasang tentakel sensorik lebih pendek
berjalan sepasang mata luar. Abalon tidak mempunyai gigi sebagai organ
eksternal dalam mengoyak makanan, akan tetapi abalon dilengkapi dengar organ
pengganti disebut radula yang digunakan untuk air mata, mengusur dan menelan
makanan, yang terutama terdiri dari bahan tanaman (Heasman, 2007).
Abalon memiliki cangkang tunggal atau
monovalve dan memenuhi hampir seluruh tubuhnya. Pada umumnya cangkang
abalon berbentuk oval dengan sumbu memanjang dari depan (anterior) ke belakang
(posterior) bahkan beberapa spesies berbentuk lebih lonjong. Pada umumnya siput, cangkang abalon
berbentuk spiral. Namun tidak membentuk kerucut melainkan berbentuk gepeng
(Sofyan, 2005).
2.2
Habitat, Penyebaran dan
Siklus hidup Abalon (Haliotis
squamata)
Octaviany (2007) menyatakan bahwa suku
Haliotidae memiliki penyebaran yang luas dan meliputi perairan seluruh dunia,
yaitu sepanjang perairan pesisir setiap benua kecuali perairan pantai Atlantik
di Amerika Selatan, Karibia, dan pantai timur Amerika Serikat. Abalone paling
banyak ditemukan di perairan dengan suhu yang dingin, di belahan bumi selatan
yaitu di perairan pantai Selandia Baru, Afrika Selatan dan Australia. Sedangkan
di belahan bumi utara adalah di perairan pantai barat Amerika dan Jepang.
Menurut Setyono (2004) , abalone paling
banyak ditemukan di d.a erah beriklim empat musim, hanya sedikit jenis yang
dapat ditemukan di daerah tropis. Loco (Concholepas concholepas
Bruguiere 1789) adalah abalone yang
bercangkang keras berwarna hitam yang merupakan jenis yang paling banyak
diburu dan dikonsumsi di Chili. Abalone Pinto ditemukan
di Kepulauan Aleutian, Alasi.a sampai daerah Point Conseption, California Abalone
Pinto merupakan satu - satunya abalone yang ditemukan hidup di alam British Columbia
(Lepore, 1993; Octaviany, 2007).
Abalone menyukai daerah bebatuan di
pesisir pantai, terutama pada daerah yang banyak ditemukan alga. Perairan
dengan sal initas yang tinggi dan suhu yang rendah juga
merupakan syarat hidup abalone. Abalone
dewasa lebih memilih hidup di tempat .- tempat dimana banyak ditemukan
makroalga. Di daerah utara (Alaska sampai British Columbia), abalone umumnya
berada pada kedalaman 0- 5 m, tetapi di California abalone berada pada kedalaman
10m (Lepore, 1993; Octaviany, 2007).
Abalone merupakan hewan yang tergolong dioecious
Jantan dan betina terpisah) seperti moluska lainnya. Abalone memiliki satu
gonad, baik jantan maupun betina yang terletak di sisi kanan tubuhnya. Abalone
jantan dan betina dewasa mudah dibedakan, karena testis menampakan warna krem
sedangkan ovarium menampakan warna kehijau -hijauan saat gonad matang.
Pembuahan terjadi di luar (fertilisasi eksternal). Gamet jantan dan betina
dilepaskan ke suatu perairan, kemudian terjadi pembuahan (Setyono, 2004; Octaviany,
2007).
Telur yang sudah dibuahi menetas menjadi
larva yang bersifat planktonis, kemudian pada tahap selanjutnya akan memakan
plankton hingga mulai terbentuk cangkang. Ketika cangkang sudah mulai
terbentuk, juvenil abalone akan cenderung menuju ke dasar perairan dan
melekatkan diri pada batu dengan memanfaatkan kaki ototnya. Setelah menenggelamkan
diri, abalone berubah menjadi pemakan makroalga (Tom, 2007 dalam Octaviany,
2007).
2.3
Makanan dan Kebiasaan
makan
Abalone
merupakan hewan herbivora yaitu hewan pemakan tumbuh-tumbuhan dan aktif makan
pada suasana gelap. Jenis makanannya adalah seaweed yang biasa disebut
makro alga. Jenis makro alga yang tumbuh di laut sangat beraneka ragam. Secara
garis besar ada 3 golongan makro alga yang hidup di laut yaitu: makro alga
merah (red seaweeds), alga coklat (brown seaweeds), dan alga hijau
(green seaweed). Ketiga golongan tersebut terbagi atas beberapa jenis
dan beraneka ragam. Keragaman tersebut tidak semuanya dapat dimanfaatkan
abalone sebagai makanannya. Jenis makro alga merah diantaranya: corallina, lithothamnium,
gracilaria, jeanerettia, porphyra. Makro alga coklat: ecklonia, laminaria,
macrocystis, nereocystis, undaria, sargasum. Makro alga hijau seperti ulva.
2.4
Tekhnik Budidaya Abalone (Haliotis squamata)
2.4.1
Reproduksi abalone (Haliotis
squamata)
Haliotis
squamata termasuk salah satu jenis abalon yang
berukuran relative besar. Jenis ini dapat mencapai ukuran 8 - 10cm dengan bobot
30-40 g/ekor dalam waktu pemeliharaan 12-14 bulan. Abalon tergolong hewan
berumah dua atau diocis (betina dan jantan terpisah). Pembuahan telur
dan sperma terjadi di luar tubuh, dimulai dengan keluarnya sperma ke dalam air
yang segera diikuti keluarnya telur dari induk betina. Kematangan gonad induk
jantan maupun betina berlangsung sepanjang tahun dengan puncak memijah terjadi
pada bulan Juli dan Oktober. Telur yang siap dipijahkan berdiameter 100 mμ. Di
laboratorium telur yang dipijahkan berdiameter rata-rata 183 mμ (Kordi, 2004).
2.4.2
Pemijahan Abalon (Haliotis
squamata)
Perbedaan betina dan jantannya bisa
diketahui melalui warna gonadnya (alat kelamin). Bila berwana hijau berarti
betina dan bila menyerupai putih susu bisa dipastikan itu adalah jantan. Abalon
yang siap memijah dapat dimasukkan ke dalam bak pemijahan. Selama proses
perkawinan ini air di bak pemijahan tersebut diturunkan pelan-pelan, hingga
sang jantan mengeluarkan spermanya. Sementara induk betina dapat menghasilkan
telur seratus ribu hingga satu juta telur setiap kali pemijahan. Setelah itu
induk betina dapat memijah kembali selang 37 hari kemudian. Induk betina yang
lebih muda dapat memijah dengan frekuensi yang lebih sering ketimbang yang
lebih tua. Rasio antara induk jantan dan betina adalah 1: 3. Setelah proses
pemijahan, penetasan telur dapat dilakukan di bak yang terbuat dari fiberglass
atau bisa juga tetap menggunakan bak pemijahan yang berkapasitas satu ton. Air
di dalam bak tersebut wajib menggunakan air laut dengan kondisi yang mengalir.
Air ini terlebih dahulu ditreatment agar terbebas dari hama dan penyakit
(Tahang dkk, 2006).
Abalon dapat memijah sepanjang tahun.
Sebelum terjadi pemijahan induk jantan terkebih dahulu melepaskan sperma untuk
merangsang induk betina melepaskan telur. Pemijahaan lazimnya terjadi pada pagi
hari antara pukul satu hingga tiga dini hari. Abalon ini siap untuk berkembang
biak saat berumur sekitar delapan bulan dengan diameter cangkang yang telah
mencapai ukuran 35 cm – 40 cm (Rifai and Ermitati, 1993).
2.4.3
Pemeliharaan Abalon (Haliotis
squamata)
Larva yang telah menetas dari telur yang
dihasilkan dikumpulkan antara pukul 6 - 7 pagi. Hal ini dilakukan setelah larva
mengeluarkan veliger atau kaki renang. Saat ini larva memiliki sifat fototeksis
positif atau senang bergerak mendekati sumber cahaya. Larva abalon dapat
bergerak (mencari makan) dengan cara merayap. Oleh sebab itu sebelumnya harus
disiapkan dulu wadah atau bak yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Media air
laut yang digunakan harus disaring (difilter) terlebih dahulu dengan
menggunakan saringan air laut yang berukuran 0,5mickron (Ghufran, 2010).
Pada penebaran larva dalam bak
pemeliharaan ini mencapai 150 ribu hingga 300 ribu setiap bak yang berkapasitas
satu ton. Permukaan air di bak harus tenang, agar larva tidak mudah stress. Bak
diaerasi selama 5 hari berturut-turut dengan kekuatan aerasi yang kecil (lembut).
Bak harus ditempatkan di tempat yang cukup menerima cahaya dan pada malam hari
harus dibantu penerangan-nya dengan lampu TL ber-kekuatan 40 watt. Lampu ini
diletakkan sekitar 50 cm dari permukaan air bak. Setelah hari ke sepuluh air,
di bak pemeliharaan harus lebih sering di saring dan ukuran areasi di perbesar.
Selama 60 hari pemeliharan larva normalnya larva akan tumbuh sepanjang 5-10 cm.
Pada saat itu larva sudah memasuki ukuran juvenil dan telah dapat mengkonsumsi
macro algae. Memasuki masa juvenil ini, pemeliharaan memasuki tahap pembesaran
(pemeliharan tahap
II).
Bayi Abalone sudah dapat dipindahkan ke dalam keranjang dan dimasukkan
ke
dalam bak pemeliharaan dengan memberikan pakan rumput laut dari jenis
Gracilaria sp. (Rohmimohtarto, 2001). Pada tahap ini pemeliharaan II ini,
kepadatan pemeliharaan abalon sekitar 600-1000 ekor per meter persegi.
Pemeliharan menggunakan lembaran plastik
(yang bentuknya mirip lembaran
seng).
Lembaran plastik ini dilubangi dan dihubungkan dengan pipa paralon dan diletakkan
di dalam bak pemeliharaan. Juvenil dianggap berkembang dengan baik bila selama
umur 80 hari cangkangnya bertambah panjang menjadi 30 mm. Selain rumput laut
makanan buatan sudah bisa diberi asupan pakan buatan. Formulanya 27% protein
kasar, 5% lemak dan 40% karbohidrat. Pemeliharan abalone dari ukuran 30 mm
sampai berukuran siap panen sekitar 60 mm dapat dilakukan di karamba. Tingkat
kepadatannya adalah 60-100 ekor per meter persegi. Setelah 8 bulan kemudian
kerang ini pun siap untuk dipanen (Tahang dkk, 2006).
2.5
Pengelolaan Kualitas air
Kualitas air merupakan salah satu faktor
penunjang yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan suatu kegiatan budidaya. Usaha
budidaya tidak terlepas dari kebutuhan air sebagai media tempat hidup hewan
yang dipelihara. Debit dan kualitas air akan sangat berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan hewan yang dipelihara (Setyono, 2004). Khusus untuk "onland
farming" atau budidaya sistim kolam dan bak yang dibangun di darat, maka
sumber air (kuantitas dan kualitas) harus mendapat perhatian utama. Sedangkan
untuk budidaya di dalam kurungan yang dibangun di laut, selain kondisi air
(kualitas) in situ juga perlu diperhatikan pola aliran air (arus), gelombang
dan angin, pasang-surut, kedalaman perairan, salinitas (kadar garam), pH (keasaman),
kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, batu).
2.5.1
Parameter Fisika dan
Kimia untuk Abalon (Haliotis squamata)
1)
Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran transparansi
laut yang menunjukkan tingkat penetrasi cahaya yang dapat menembus laut
tersebut (SNI 7644-2010). Kecerahan perairan menentukan jumlah intensitas
cahaya matahari yang masuk ke dalam suatu perairan. Kemampuan daya tembus
cahaya matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan
bahan-bahan organik maupun anorganik tersuspensi di perairan, kepadatan
plankton, jasad renik dan detritus. Menurut Tahang dkk, (2006) tingkat
kecerahan yang sesuai untuk budidaya abalon tropis berkisar 10 m.
2)
Suhu
Standar Nasional Indonesia (SNI
7644-2010), menyatakan bahwa suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan
panas yang terkandung dalam air laut. Suhu sendiri dipengaruhi oleh lingkungan
dan cuaca dilokasi budidaya, sehingga apabila suhu lingkungan tidak sesuai
dengan hewan budidaya atau jika suhu terus meningkat, ketahanan abalon akan
dengan cepat mencapai batas alaminya sehingga pertumbuhan akan berhenti dan
dapat menyebabkan kematian pada abalon (Fallu 1991). Setyono, (2010) parameter
kualitas suhu yang baik untuk pemeliharaan abalon tropis bervariasi dari 27,5o
sampai 28,5oC.
3)
Salinitas
Salinitas adalah jumlah kadar garam
terlarut (gram) dalam 1 kg air laut (SNI 7644-2010). Pada kisaran salinitas
optimal dan tetap, energi yang digunakan untuk mengatur keseimbangan kepekatan
cairan tubuh dapat digunakan untuk pertumbuhan (Ghufran, 2010). Abalon biasanya
menyukai kadar garam (salinitas) yang relatif stabil. Salinitas optimal yang
cocok untuk pemeliharaan abalone berkisar antara 30 sampai 33 ppt (Setyono,
2010).
4)
Derajat keasaman (pH)
pH atau disebut juga derajat keasaman.
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai
pH berkisar 7 sampai 8,5 (Effendi, 2003). pH yang cocok untuk pemeliharaan
abalon menurut Setyono, (2010) berkisar antara 7,5 sampai 8,5. Perairan yang
terlalu asam akan kurang produktif dan dapat membunuh ikan. Kandungan oksigen
terlarut pada perairan yang pH-nya rendah (keasaman yang tinggi) akan
berkurang, akibatnya konsumsi oksigen ikan turut menurun, aktivitas pernafasan
naik dan selera makan akan berkurang, lebih mudah terkena infeksi dan biasanya
diikuti dengan tingkat mortalitas tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada suasana
basa (Ghufran, 2010).
5)
Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut adalah jumlah milligram
oksigen yang terlarut dalam 1 liter air laut (SNI 7644-2010). Abalon menyukai
daerah yang memiliki aliran arus yang kuat, karena air daerah ini mengandung
konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi (Fallu, 1991). Semua jenis abalon
menyukai perairan dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi. (Setyono,
2010) menyatakan kadar oksigen terlarut yang cocok dalam pemeliharaan abalon
adalah lebih dari 5 mg/l.
6)
Kecepatan Arus
Menurut (Wibisono, 2005) arus adalah
gerakan massa air laut kearah horizontal dalam skala besar. Daerah yang
berombak dan berarus akan memberikan masukan oksigen kedalam perairan.
Kecepatan arus yang ideal untuk budidaya abalon berkisar antara 0,2 sampai 0,5
m/detik (Tahang dkk. 2006).
7)
Material Dasar Perairan
Abalon biasanya ditemukan di substrat
dasar berupa batuan, karena abalone akan menggunakan batuan tersebut untuk
menempel dan bersembunyi. Abalon membutuhkan substrat yang permukaannya keras.
Hal tersebut dinyatakan oleh Fallu (1991) bahwa kaki abalon tidak cocok
digunakan untuk merayap dan melekat di pasir, karena di substrat berpasir
abalon bisa dengan mudah terbalik dan dengan mudah akan dimangsa predator.
Batuan yang ditempeli makroalga adalah tempat yang sangat cocok untuk dihuni
abalon (Lafferty, et al. 2003).
8)
Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan berhubungan erat
dengan produktivitas, suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas, kandungan
oksigen, serta unsur hara. Kedalaman perairan sangat berpengaruh terhadap biota
yang dibudidayakan. Hal ini berhubungan dengan tekanan yang yang diterima di
dalam air, sebab tekanan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman
(Nontji, 2005). Kedalaman perairan yang ideal untuk budidaya abalon 3 sampai
dengan 15m (BBPBL, 2001).
9)
Nitrat
Nitrat adalah hasil akhir dari oksida
nitrogen dalam laut (Hutagalung dan Rozak, 2004). Elemen penting yang merupakan
determinasi produktifitas organik air adalah nitrat (Bal and Rao, 2000). Nitrat
dapat menyebabkan menurunnya oksigen terlarut, penurunan populasi ikan, air
cepat berbau busuk. Kisaran nitrat yang layak untuk organisme yang
dibudidayakan sekitar 0,90 – 3,19 mg/l (DKP, 2010).
10)
Fosfat
Fosfat merupakan unsur potensial dalam
pembentukan protein dan metabolisme sel. Kandungan ortofosfat yang terkandung
dalam air dapat menunjukkan kesuburan perairan. Jika kandungan fosfat lebih
dari 0,051 ppm maka perairan bisa dikatakan baik (Wardoyo, 2002). Kondisi yang
mendekati toleransi batas terendah bagi suatu organisme disebut limitting
factor (factor pembatas) (Winanto, 2004).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Abalon (Haliothis squamata)
merupakan salah satu komoditas perikanan yang perlu dikembangkan lebih lanjut
mengingat permintaan pasar semakin meningkat dan harganya cukup tinggi.
Abalone
merupakan hewan herbivora yaitu hewan pemakan tumbuh-tumbuhan dan aktif makan
pada suasana gelap. Jenis makanannya adalah seaweed yang biasa disebut
makro alga. Abalone menyukai daerah bebatuan di
pesisir pantai, terutama pada daerah yang banyak ditemukan alga. Tekhnik
budidaya abalone meliputi: Reproduksi,
Pemijahan dan pemeliharaan.
Kualitas air merupakan salah satu faktor
penunjang yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan suatu kegiatan budidaya. Debit
dan kualitas air akan sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan hewan yang
dipelihara (Setyono, 2004). Khusus untuk "onland farming" atau
budidaya sistim kolam dan bak yang dibangun di darat, maka sumber air
(kuantitas dan kualitas) harus mendapat perhatian utama. Sedangkan untuk budidaya
di dalam kurungan yang dibangun di laut, selain kondisi air (kualitas) in
situ juga perlu diperhatikan pola aliran air (arus), gelombang dan angin,
pasang-surut, kedalaman perairan, salinitas (kadar garam), pH (keasaman),
kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, batu).
3.2
Saran
Diharapakan agar lebih memahami dan
mengerti betapa pentingnya budidaya khususnya untuk budidaya kerang abalone
karena mengingat abalone ini merupakan salah satu hewan molusca yang bernilai
ekonomis penting karena Daging abalon mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi
dengan kandungan protein 71,99%, lemak 3,20%, serat 5,6o%, dan abu 11,11%.
Cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan,
pembuatan kancing baju, dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2015.
budidaya-kerang-abalon.html (Diakses: 02 November 2015)
Anonim. 2015. KEGIATAN_BUDIDAYA_PEMBENIHAN_ABALONE_Haliotis_sp_(Diakses:
02 November 2015)
Azan.
L. Ode, A. B. Patadjai., I. J. Effendy. 2013. Konsumsi pakan dan pertumbuhan
induk abalone (Holiotas Asinina) yang
dipelihara pada Closed Resirculating system dengan menggunakan berat Ulva fasciata yang berbeda sebagai
biofilter.Jurnal. Vol 02 No 6. Program
studi manajemen sumber daya perairan. FPIK Universitas Haluoleo. Kampus hijau
Bumi Tridharma Kendari.
Litaay. M., Rahmatullah., H. Setyabudi. M. S. Hasan. 2011. Dampak minyak pelumas
terhadap pertumbuhan awal abalone tropis Haliotis
Asinina L. Jurusan Biologi.FMIPA. Universitas Hasanudin.
Rusdi, I.,A, Hanafi.,B. Susanto,. M.
Marzuki 2010. Laporan akhir peningkatan sintasan benih abalone Holiois Squamata
di Hatchery melalui optimalisasi pakan dan lingkungan. Program intensif
peningkatan kemampuan peneliti dan perekayasa dewan riset nasional kementerian
Negara riset dan tekhnologi. Badan penelitian pengembangan kelautan perikanan
kementrian kelautan dan perikanan
Swasta. I. B. J. 2013. Studi tentang
peranan pelatihan dan pembuatan demplot dalam menentukan keberhasilan budidaya
abalone (Holiotas Squamata) Di Desa
Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali. Jurusan Budidaya Kelautan.
Fakultas MIPA. Universitas Pendidikan Ganesha