Rabu, 06 Januari 2016

Tekhnik Budidaya Abalon (Holiotis sp)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara kepulauan, 2/3 wilayahnya terdiri dari perairan. Hingga saat  ini banyak Sekolah Perikanan dan kelautan  yang mengelola unit produksi budidaya ikan laut, diantaranya adalah budidaya kerang abalone, sehingga sangat penting informasi ini untuk diketahui kepada para guru dan pelaku unit produksi kerang tersebut.
Abalon (Haliotis spp.) merupakan salah satu jenis moluska laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi (McBride dan Conte, 2008). Hewan ini tergolong ke dalam klas Gastropoda, famili Haliotidae (Huchette eta/., 2003). Di a lam dilaporkan terdapat sekitar 100 spesies yangberasal dari genus Haliotis, namun yang memiliki nilai komersil hanya sekitar 10 spesies (Takashi, 1980; Fallu, 1991 ). Di Indonesia ditemukan beberapa spesies abalon , namun yang dewasa ini memiliki pasar dan sudah berhasil perbenihannya yaitu spesies Haliotis asinina dan Haliotis squamata (Priyambodo et a/., 2005; Rahmawati et a/., 2009).
Daging abalon mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99%, lemak 3,20%, serat 5,6o%, dan abu 11,11%. Cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju, dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya. Produksi abalon saat ini lebih banyak diperoleh dari tangkapan di alam. Hal tersebut akan nienimbulkan kehawatiran terjadinva penurunan populasi di alam.
1.2              Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas (UTS) dan juga diharapkan dapat menjadi media informasi kepada pembaca khususnya kepada saya sendiri selaku penulis agar dapat mengetahui tekhnik budidaya Abalone (Haliotis spp.)
1.3              Manfaat
Adapun manfaat penyusunan makalah ini yaitu sebagai media informasi tentang cara atau tekhnik budidaya abalone (Haliotis spp.).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1              Klasifikasi dan Morfologi Abalon (Haliotis squamata)
Secara morfologi abalon di klasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Ordo : Archaeogastropoda
Family : Holiotididae
Genus : Haliotididae Linnaeus
Species : Haliotis squamata


 








Gambar 1. Abalon Haliotis squamata (Imamura, 2005)


Abalon (Haliothis squamata) merupakan salah satu komoditas perikanan yang perlu dikembangkan lebih lanjut mengingat permintaan pasar semakin meningkat dan harganya cukup tinggi. Untuk mengembangkan komoditas perikanan ini, perlu adanya tenaga-tenaga terampil yang dapat menjamin keberhasilan proses budidayanya.
Hewan yang tergolong ke dalam Genus Haliotidae memiliki beberapa ciri di antaranya bentuk cangkang bulat sampai oval, memiliki 2 - 3 buah puntiran (whorl), memiliki cangkang yang berbentuk telinga (auriform), biasa disebut ear shell. Puntiran yang terakhir dan terbesar (body whorl) memiliki rangkaian lubang yang berjumlah sekitar 4 - 8 buah tergantung jenis dan terletak di dekat sisi anterior (Octaviany, 2007 dalam Rusdi, dkk. 2010).
Abalon sebagai salah satu penghuni lingkungan perairan dangkal yang tidak jauh dari pemukiman ini tentulah tidak luput dari pengaruh pencemaran ini. Kualitas air yang buruk merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan ini. Pada tahap awal pertumbuhannya, abalon belum memiliki cangkang yang mampu melindunginya dari pengaruh buruk lingkungannya (Fallu, 1991).
Abalon merupakan satu di antara golongan gastropoda yang paling primitif bentuk maupun strukturnya yang hidup di daerah karang yang memiliki arus kuat.  Abalon memiliki single shell (cangkang) berbentuk bulat, elips atau berbentuk daun telinga (ear-shaped) dan memiliki barisan pori-pori pernafasan (tremata) yang terletak di sepanjang sisi kiri dari cangkang. Jumlah pori-pori pernafasan terbuka meningkar mengikuti pertumbuhannya dan pada tiap spesies berbeda jumlahnya (Cox, 1962 dalam Hahn, 1989).
Kerang abalone memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas. Pada cangkang tersebut terdapat lubang-lubang dalam jumlah yang sesuai dengan ukuran abalone, semakin besar ukuran kerang abalone maka semakin banyak lubang yang terdapat pada cangkang. Lubang-lubang tersebut tertata rapi mulai dari ujung depan hingga belakang cangkang. Kerang abalone juga mempunyai mulut dan sungut yang terletak di bawah cangkang serta sepasang mata.
Abalon mempunyai sepasang mata, satu mulut dan satu tentakel penghembus yang berukuran besar. Di dalam mulutnya terdapat lidah parut (radula) yang berfungsi mengerik alga menjadi ukuran yang dapat dicerna. lnsang terletak dengan pernapasan. Sirkulasi air berlangsung di bagian bawah tepi cangkang kemudian mengalir menuju ke insang dan dikeluarkan melalui pori yang terdapat di bagian cangkang. Abalon (Holiotis spp.) tidak memiliki struktur otak yang jelas dan nyata, sehingga hewan ini dianggap sebagai salah satu hewan primitif.



Gambar 2. Anatomi abalone (Holiotis spp.)
Serangkaian lubang sepanjang kiri margin mendefinisikan sebagai suatu kelompok tertentu genus dari siput disebut Haliotis. Lubang atau pernafasan pori-pori adalah outlet lewat mana air laut, sebagaian dilucuti oksigen oleh insang, untuk dikeluarkan bersama dengan air kencing, kotoran, baik sperma atau telur. Kepala dan mulut abalone ayang diapit oleh dua pasang tentakel sensorik lebih pendek berjalan sepasang mata luar. Abalon tidak mempunyai gigi sebagai organ eksternal dalam mengoyak makanan, akan tetapi abalon dilengkapi dengar organ pengganti disebut radula yang digunakan untuk air mata, mengusur dan menelan makanan, yang terutama terdiri dari bahan tanaman (Heasman, 2007).
Abalon memiliki cangkang tunggal atau monovalve dan memenuhi hampir seluruh tubuhnya. Pada umumnya cangkang abalon berbentuk oval dengan sumbu memanjang dari depan (anterior) ke belakang (posterior) bahkan beberapa spesies berbentuk lebih lonjong. Pada umumnya siput, cangkang abalon berbentuk spiral. Namun tidak membentuk kerucut melainkan berbentuk gepeng (Sofyan, 2005).
2.2              Habitat, Penyebaran dan Siklus hidup Abalon (Haliotis squamata)
Octaviany (2007) menyatakan bahwa suku Haliotidae memiliki penyebaran yang luas dan meliputi perairan seluruh dunia, yaitu sepanjang perairan pesisir setiap benua kecuali perairan pantai Atlantik di Amerika Selatan, Karibia, dan pantai timur Amerika Serikat. Abalone paling banyak ditemukan di perairan dengan suhu yang dingin, di belahan bumi selatan yaitu di perairan pantai Selandia Baru, Afrika Selatan dan Australia. Sedangkan di belahan bumi utara adalah di perairan pantai barat Amerika dan Jepang.
Menurut Setyono (2004) , abalone paling banyak ditemukan di d.a erah beriklim empat musim, hanya sedikit jenis yang dapat ditemukan di daerah tropis. Loco (Concholepas concholepas Bruguiere 1789) adalah abalone yang bercangkang keras berwarna hitam yang merupakan jenis yang paling banyak diburu dan dikonsumsi di Chili. Abalone Pinto ditemukan di Kepulauan Aleutian, Alasi.a sampai daerah Point Conseption, California Abalone Pinto merupakan satu - satunya abalone yang ditemukan hidup di alam British Columbia (Lepore, 1993; Octaviany, 2007).
Abalone menyukai daerah bebatuan di pesisir pantai, terutama pada daerah yang banyak ditemukan alga. Perairan dengan sal initas yang tinggi dan suhu yang rendah juga merupakan syarat hidup abalone.  Abalone dewasa lebih memilih hidup di tempat .- tempat dimana banyak ditemukan makroalga. Di daerah utara (Alaska sampai British Columbia), abalone umumnya berada pada kedalaman 0- 5 m, tetapi di California abalone berada pada kedalaman 10m (Lepore, 1993; Octaviany, 2007).
Abalone merupakan hewan yang tergolong dioecious Jantan dan betina terpisah) seperti moluska lainnya. Abalone memiliki satu gonad, baik jantan maupun betina yang terletak di sisi kanan tubuhnya. Abalone jantan dan betina dewasa mudah dibedakan, karena testis menampakan warna krem sedangkan ovarium menampakan warna kehijau -hijauan saat gonad matang. Pembuahan terjadi di luar (fertilisasi eksternal). Gamet jantan dan betina dilepaskan ke suatu perairan, kemudian terjadi pembuahan (Setyono, 2004; Octaviany, 2007).
Telur yang sudah dibuahi menetas menjadi larva yang bersifat planktonis, kemudian pada tahap selanjutnya akan memakan plankton hingga mulai terbentuk cangkang. Ketika cangkang sudah mulai terbentuk, juvenil abalone akan cenderung menuju ke dasar perairan dan melekatkan diri pada batu dengan memanfaatkan kaki ototnya. Setelah menenggelamkan diri, abalone berubah menjadi pemakan makroalga (Tom, 2007 dalam Octaviany, 2007).
2.3              Makanan dan Kebiasaan makan
Abalone merupakan hewan herbivora yaitu hewan pemakan tumbuh-tumbuhan dan aktif makan pada suasana gelap. Jenis makanannya adalah seaweed yang biasa disebut makro alga. Jenis makro alga yang tumbuh di laut sangat beraneka ragam. Secara garis besar ada 3 golongan makro alga yang hidup di laut yaitu: makro alga merah (red seaweeds), alga coklat (brown seaweeds), dan alga hijau (green seaweed). Ketiga golongan tersebut terbagi atas beberapa jenis dan beraneka ragam. Keragaman tersebut tidak semuanya dapat dimanfaatkan abalone sebagai makanannya. Jenis makro alga merah diantaranya: corallina, lithothamnium, gracilaria, jeanerettia, porphyra. Makro alga coklat: ecklonia, laminaria, macrocystis, nereocystis, undaria, sargasum. Makro alga hijau seperti ulva.
2.4              Tekhnik Budidaya Abalone (Haliotis squamata)
2.4.1        Reproduksi abalone (Haliotis squamata)
Haliotis squamata termasuk salah satu jenis abalon yang berukuran relative besar. Jenis ini dapat mencapai ukuran 8 - 10cm dengan bobot 30-40 g/ekor dalam waktu pemeliharaan 12-14 bulan. Abalon tergolong hewan berumah dua atau diocis (betina dan jantan terpisah). Pembuahan telur dan sperma terjadi di luar tubuh, dimulai dengan keluarnya sperma ke dalam air yang segera diikuti keluarnya telur dari induk betina. Kematangan gonad induk jantan maupun betina berlangsung sepanjang tahun dengan puncak memijah terjadi pada bulan Juli dan Oktober. Telur yang siap dipijahkan berdiameter 100 mμ. Di laboratorium telur yang dipijahkan berdiameter rata-rata 183 mμ (Kordi, 2004).
2.4.2        Pemijahan Abalon (Haliotis squamata)
Perbedaan betina dan jantannya bisa diketahui melalui warna gonadnya (alat kelamin). Bila berwana hijau berarti betina dan bila menyerupai putih susu bisa dipastikan itu adalah jantan. Abalon yang siap memijah dapat dimasukkan ke dalam bak pemijahan. Selama proses perkawinan ini air di bak pemijahan tersebut diturunkan pelan-pelan, hingga sang jantan mengeluarkan spermanya. Sementara induk betina dapat menghasilkan telur seratus ribu hingga satu juta telur setiap kali pemijahan. Setelah itu induk betina dapat memijah kembali selang 37 hari kemudian. Induk betina yang lebih muda dapat memijah dengan frekuensi yang lebih sering ketimbang yang lebih tua. Rasio antara induk jantan dan betina adalah 1: 3. Setelah proses pemijahan, penetasan telur dapat dilakukan di bak yang terbuat dari fiberglass atau bisa juga tetap menggunakan bak pemijahan yang berkapasitas satu ton. Air di dalam bak tersebut wajib menggunakan air laut dengan kondisi yang mengalir. Air ini terlebih dahulu ditreatment agar terbebas dari hama dan penyakit (Tahang dkk, 2006).
Abalon dapat memijah sepanjang tahun. Sebelum terjadi pemijahan induk jantan terkebih dahulu melepaskan sperma untuk merangsang induk betina melepaskan telur. Pemijahaan lazimnya terjadi pada pagi hari antara pukul satu hingga tiga dini hari. Abalon ini siap untuk berkembang biak saat berumur sekitar delapan bulan dengan diameter cangkang yang telah mencapai ukuran 35 cm – 40 cm (Rifai and Ermitati, 1993).
2.4.3        Pemeliharaan Abalon (Haliotis squamata)
Larva yang telah menetas dari telur yang dihasilkan dikumpulkan antara pukul 6 - 7 pagi. Hal ini dilakukan setelah larva mengeluarkan veliger atau kaki renang. Saat ini larva memiliki sifat fototeksis positif atau senang bergerak mendekati sumber cahaya. Larva abalon dapat bergerak (mencari makan) dengan cara merayap. Oleh sebab itu sebelumnya harus disiapkan dulu wadah atau bak yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Media air laut yang digunakan harus disaring (difilter) terlebih dahulu dengan menggunakan saringan air laut yang berukuran 0,5mickron (Ghufran, 2010).
Pada penebaran larva dalam bak pemeliharaan ini mencapai 150 ribu hingga 300 ribu setiap bak yang berkapasitas satu ton. Permukaan air di bak harus tenang, agar larva tidak mudah stress. Bak diaerasi selama 5 hari berturut-turut dengan kekuatan aerasi yang kecil (lembut). Bak harus ditempatkan di tempat yang cukup menerima cahaya dan pada malam hari harus dibantu penerangan-nya dengan lampu TL ber-kekuatan 40 watt. Lampu ini diletakkan sekitar 50 cm dari permukaan air bak. Setelah hari ke sepuluh air, di bak pemeliharaan harus lebih sering di saring dan ukuran areasi di perbesar. Selama 60 hari pemeliharan larva normalnya larva akan tumbuh sepanjang 5-10 cm. Pada saat itu larva sudah memasuki ukuran juvenil dan telah dapat mengkonsumsi macro algae. Memasuki masa juvenil ini, pemeliharaan memasuki tahap pembesaran (pemeliharan tahap
II). Bayi Abalone sudah dapat dipindahkan ke dalam keranjang dan dimasukkan
ke dalam bak pemeliharaan dengan memberikan pakan rumput laut dari jenis Gracilaria sp. (Rohmimohtarto, 2001). Pada tahap ini pemeliharaan II ini, kepadatan pemeliharaan abalon sekitar 600-1000 ekor per meter persegi.
Pemeliharan menggunakan lembaran plastik (yang bentuknya mirip lembaran
seng). Lembaran plastik ini dilubangi dan dihubungkan dengan pipa paralon dan diletakkan di dalam bak pemeliharaan. Juvenil dianggap berkembang dengan baik bila selama umur 80 hari cangkangnya bertambah panjang menjadi 30 mm. Selain rumput laut makanan buatan sudah bisa diberi asupan pakan buatan. Formulanya 27% protein kasar, 5% lemak dan 40% karbohidrat. Pemeliharan abalone dari ukuran 30 mm sampai berukuran siap panen sekitar 60 mm dapat dilakukan di karamba. Tingkat kepadatannya adalah 60-100 ekor per meter persegi. Setelah 8 bulan kemudian kerang ini pun siap untuk dipanen (Tahang dkk, 2006).
2.5              Pengelolaan Kualitas air
Kualitas air merupakan salah satu faktor penunjang yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan suatu kegiatan budidaya. Usaha budidaya tidak terlepas dari kebutuhan air sebagai media tempat hidup hewan yang dipelihara. Debit dan kualitas air akan sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan hewan yang dipelihara (Setyono, 2004). Khusus untuk "onland farming" atau budidaya sistim kolam dan bak yang dibangun di darat, maka sumber air (kuantitas dan kualitas) harus mendapat perhatian utama. Sedangkan untuk budidaya di dalam kurungan yang dibangun di laut, selain kondisi air (kualitas) in situ juga perlu diperhatikan pola aliran air (arus), gelombang dan angin, pasang-surut, kedalaman perairan, salinitas (kadar garam), pH (keasaman), kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, batu).
2.5.1        Parameter Fisika dan Kimia untuk Abalon (Haliotis squamata)
1)            Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran transparansi laut yang menunjukkan tingkat penetrasi cahaya yang dapat menembus laut tersebut (SNI 7644-2010). Kecerahan perairan menentukan jumlah intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam suatu perairan. Kemampuan daya tembus cahaya matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Menurut Tahang dkk, (2006) tingkat kecerahan yang sesuai untuk budidaya abalon tropis berkisar 10 m.
2)            Suhu
Standar Nasional Indonesia (SNI 7644-2010), menyatakan bahwa suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan panas yang terkandung dalam air laut. Suhu sendiri dipengaruhi oleh lingkungan dan cuaca dilokasi budidaya, sehingga apabila suhu lingkungan tidak sesuai dengan hewan budidaya atau jika suhu terus meningkat, ketahanan abalon akan dengan cepat mencapai batas alaminya sehingga pertumbuhan akan berhenti dan dapat menyebabkan kematian pada abalon (Fallu 1991). Setyono, (2010) parameter kualitas suhu yang baik untuk pemeliharaan abalon tropis bervariasi dari 27,5o sampai 28,5oC.

3)            Salinitas
Salinitas adalah jumlah kadar garam terlarut (gram) dalam 1 kg air laut (SNI 7644-2010). Pada kisaran salinitas optimal dan tetap, energi yang digunakan untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan tubuh dapat digunakan untuk pertumbuhan (Ghufran, 2010). Abalon biasanya menyukai kadar garam (salinitas) yang relatif stabil. Salinitas optimal yang cocok untuk pemeliharaan abalone berkisar antara 30 sampai 33 ppt (Setyono, 2010).
4)            Derajat keasaman (pH)
pH atau disebut juga derajat keasaman. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar 7 sampai 8,5 (Effendi, 2003). pH yang cocok untuk pemeliharaan abalon menurut Setyono, (2010) berkisar antara 7,5 sampai 8,5. Perairan yang terlalu asam akan kurang produktif dan dapat membunuh ikan. Kandungan oksigen terlarut pada perairan yang pH-nya rendah (keasaman yang tinggi) akan berkurang, akibatnya konsumsi oksigen ikan turut menurun, aktivitas pernafasan naik dan selera makan akan berkurang, lebih mudah terkena infeksi dan biasanya diikuti dengan tingkat mortalitas tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada suasana basa (Ghufran, 2010).
5)            Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut adalah jumlah milligram oksigen yang terlarut dalam 1 liter air laut (SNI 7644-2010). Abalon menyukai daerah yang memiliki aliran arus yang kuat, karena air daerah ini mengandung konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi (Fallu, 1991). Semua jenis abalon menyukai perairan dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi. (Setyono, 2010) menyatakan kadar oksigen terlarut yang cocok dalam pemeliharaan abalon adalah lebih dari 5 mg/l.
6)            Kecepatan Arus
Menurut (Wibisono, 2005) arus adalah gerakan massa air laut kearah horizontal dalam skala besar. Daerah yang berombak dan berarus akan memberikan masukan oksigen kedalam perairan. Kecepatan arus yang ideal untuk budidaya abalon berkisar antara 0,2 sampai 0,5 m/detik (Tahang dkk. 2006).
7)            Material Dasar Perairan
Abalon biasanya ditemukan di substrat dasar berupa batuan, karena abalone akan menggunakan batuan tersebut untuk menempel dan bersembunyi. Abalon membutuhkan substrat yang permukaannya keras. Hal tersebut dinyatakan oleh Fallu (1991) bahwa kaki abalon tidak cocok digunakan untuk merayap dan melekat di pasir, karena di substrat berpasir abalon bisa dengan mudah terbalik dan dengan mudah akan dimangsa predator. Batuan yang ditempeli makroalga adalah tempat yang sangat cocok untuk dihuni abalon (Lafferty, et al. 2003).
8)            Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan berhubungan erat dengan produktivitas, suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas, kandungan oksigen, serta unsur hara. Kedalaman perairan sangat berpengaruh terhadap biota yang dibudidayakan. Hal ini berhubungan dengan tekanan yang yang diterima di dalam air, sebab tekanan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman (Nontji, 2005). Kedalaman perairan yang ideal untuk budidaya abalon 3 sampai dengan 15m (BBPBL, 2001).
9)            Nitrat
Nitrat adalah hasil akhir dari oksida nitrogen dalam laut (Hutagalung dan Rozak, 2004). Elemen penting yang merupakan determinasi produktifitas organik air adalah nitrat (Bal and Rao, 2000). Nitrat dapat menyebabkan menurunnya oksigen terlarut, penurunan populasi ikan, air cepat berbau busuk. Kisaran nitrat yang layak untuk organisme yang dibudidayakan sekitar 0,90 – 3,19 mg/l (DKP, 2010).
10)        Fosfat
Fosfat merupakan unsur potensial dalam pembentukan protein dan metabolisme sel. Kandungan ortofosfat yang terkandung dalam air dapat menunjukkan kesuburan perairan. Jika kandungan fosfat lebih dari 0,051 ppm maka perairan bisa dikatakan baik (Wardoyo, 2002). Kondisi yang mendekati toleransi batas terendah bagi suatu organisme disebut limitting factor (factor pembatas) (Winanto, 2004).

BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
Abalon (Haliothis squamata) merupakan salah satu komoditas perikanan yang perlu dikembangkan lebih lanjut mengingat permintaan pasar semakin meningkat dan harganya cukup tinggi.
Abalone merupakan hewan herbivora yaitu hewan pemakan tumbuh-tumbuhan dan aktif makan pada suasana gelap. Jenis makanannya adalah seaweed yang biasa disebut makro alga. Abalone menyukai daerah bebatuan di pesisir pantai, terutama pada daerah yang banyak ditemukan alga. Tekhnik budidaya abalone meliputi: Reproduksi, Pemijahan dan pemeliharaan.
Kualitas air merupakan salah satu faktor penunjang yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan suatu kegiatan budidaya. Debit dan kualitas air akan sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan hewan yang dipelihara (Setyono, 2004). Khusus untuk "onland farming" atau budidaya sistim kolam dan bak yang dibangun di darat, maka sumber air (kuantitas dan kualitas) harus mendapat perhatian utama. Sedangkan untuk budidaya di dalam kurungan yang dibangun di laut, selain kondisi air (kualitas) in situ juga perlu diperhatikan pola aliran air (arus), gelombang dan angin, pasang-surut, kedalaman perairan, salinitas (kadar garam), pH (keasaman), kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, batu).


3.2              Saran
Diharapakan agar lebih memahami dan mengerti betapa pentingnya budidaya khususnya untuk budidaya kerang abalone karena mengingat abalone ini merupakan salah satu hewan molusca yang bernilai ekonomis penting karena Daging abalon mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99%, lemak 3,20%, serat 5,6o%, dan abu 11,11%. Cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju, dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. budidaya-kerang-abalon.html (Diakses: 02 November 2015)
Anonim. 2015. teknik-budidaya-abalone-haliotis.html (Diakses: 02 November 2015)
Anonim. 2015 budidaya-kerang-abalon/(Diakses: 02 November 2015)
Azan. L. Ode, A. B. Patadjai., I. J. Effendy. 2013. Konsumsi pakan dan pertumbuhan induk abalone (Holiotas Asinina) yang dipelihara pada Closed Resirculating system dengan menggunakan berat Ulva fasciata yang berbeda sebagai biofilter.Jurnal. Vol 02 No 6. Program studi manajemen sumber daya perairan. FPIK Universitas Haluoleo. Kampus hijau Bumi Tridharma Kendari.
Litaay. M., Rahmatullah., H. Setyabudi.  M. S. Hasan. 2011. Dampak minyak pelumas terhadap pertumbuhan awal abalone tropis Haliotis Asinina L. Jurusan Biologi.FMIPA. Universitas Hasanudin.
Rusdi, I.,A, Hanafi.,B. Susanto,. M. Marzuki 2010. Laporan akhir peningkatan sintasan benih abalone Holiois Squamata di Hatchery melalui optimalisasi pakan dan lingkungan. Program intensif peningkatan kemampuan peneliti dan perekayasa dewan riset nasional kementerian Negara riset dan tekhnologi. Badan penelitian pengembangan kelautan perikanan kementrian kelautan dan perikanan
Swasta. I. B. J. 2013. Studi tentang peranan pelatihan dan pembuatan demplot dalam menentukan keberhasilan budidaya abalone (Holiotas Squamata) Di Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali. Jurusan Budidaya Kelautan. Fakultas MIPA. Universitas Pendidikan Ganesha