Kamis, 19 Mei 2016

Laporan Makrozoobenthos (Ekologi Perairan)


IDENTIFIKASI ORGANISME BENTHOS DI SUNGAI BONE
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Kata ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haechekel, ahli Biologi Jermal pada tahun 1869. Arti kata oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal dan logos bersifat telaah dan studi. Jadi ekologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Yang dimaksud makhluk hidup adalah kelompok dari makhluk hidup itu sendiri (Resosoedarmo, et al.,1990).
Menurut Effendi (2003), air menutupi sekitar 7 % permukaan bumi dengan jumlah sekitar 1368 juta km3. Air terdapat berbagai bentuk, misalnya uap air, es, cairan dan salju. Air tawar terutama terdapat di sungai, danau, air tanah dan gunung es. Semua badan air di daratan dihubungkan dengan laut dan atmosfir melalui siklus hidrologi yang berlangsung secara kontinyu.
Ekosistem adalah kumpulan dari komunitas beserta faktor biotik (tumbuhan, hewan dan manusia), dan abiotik (suhu, iklim, senyawa-senyawa organik dan anorganik). Menurut undang-undang lingkungan hidup (UULH) tahun 1982 ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan tingkat yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi hubungan antar keduanya (Irwan, 1992).
Ekosistem sungai merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu unit fungsional. Komponen-komponen tersebut (misalnya perubahan nilai parameter fisika-kimia perairan), maka akan mmenyebabkan perubahan pada komponen lainnya (misalnya perubahan kualitatif dan kuantitafif organismenya). Perubahan ini tentunya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya.
Sungai merupakan perairan yang mengalir (lotik), oleh karena itu sungai memiliki arus yang berbeda-beda disetiap tempatnya. Dan disetiap aliran memiliki organisme yang berbeda pula.
Makrozoobenthos   merupakan   organisme   yang   hidup   melata,   menempel, memendam   dan   meliang   baik   di   dasar   perairan   maupun   di   permukaan   dasar perairan.  Makrozoobenthos  yang  menetap  di kawasan  mangrove  kebanyakan  hidup pada substrat keras sampai lumpur (Arief, 2003).
1.2         Tujuan
Tujuan dari praktikum ekologi perairan ini yakni untuk melatih keterampilan mahasiswa di lapangan khususnya dalam pengukuran parameter perairan dan mengidentifikasi organisme benthos di perairan.
1.3         Manfaat
Manfaat dari praktikum ini yakni agar mahasiswa dapat mengetahui ciri-ciri dan habitat dari hewan yang hidup di substat khususnya organisme gastropoda.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1         Ekosistem Perairan
Sungai adalah torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alami aliran air dan material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu daerah pengaliran ke tempat yang lebih rendah dan akhirnya bermuara ke laut.
Sungai adalah badan air yang mengalir ke satu arah. Air sungai dingin dan jernih serta mengandung sedikit sedimen makanan. Aliran air dan gelombang secara konstan memberikan oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan ketinggian dan garis lintang (Fairuz et al.,2014).
Ekosistem sungai merupakan habitat bagi organisme akuatik yang keberadaanya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Organisme akuatik tersebut di antaranya tumbuhan air, plankton, perifiton, bentos, dan ikan. Sungai juga merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral, dan pemanfaatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut bila tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap sumberdaya air, di antaranya adalah menurunnya kualitas air. (Soewarno 1991: 20 dalam Faza, 2012). Secara umum, alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir.  Bagian hulu merupakan daerah sumber erosi karena pada umumnya alur sungai melalui daerah pegunungan atau perbukitan yang mempunyai cukup ketinggian dari permukaan laut.  Substrat permukaan pada bagian hulu pada umumnya berupa bebatuan dan pasir (Soewarno 1991: 26 dalam Faza, 2012). Hulu sungai merupakan zona antara ekosistem daratan dengan ekosistem perairan dan  sering kali merupakan daerah yang kaya akan biodiversitas (Louhi dkk. 2010: 1315 dalam Faza, 2012).  Alur sungai di bagi an hulu mempunyai kecepatan aliran yang lebih besar dari bagian hilir, sehingga pada saat banjir material hasil erosi yang diangkut tidak saja partikel sedimen halus akan tetapi juga pasir, kerikil bahkan batu (Soewarno 1991: 26 dalam Faza, 2012).
Bagian tengah merupakan daerah peralihan dari bagian hulu dan hilir. Kemiringan dasar sungai lebih landai sehingga kecepatan aliran relatif lebih kecil pada bagian hulu.  Permukaan dasar bagian tengah umumnya berupa pasir atau lumpur (Soewarno 1991: 27—28 dalam Faza, 2012).  Bagian hilir merupakan daerah aliran sungai yang akan bermuara ke laut atau sungai lainnya.  Bagian tersebut umumnya melalui daerah dengan substrat permukaan berupa endapan pasir halus sampai kasar, lumpur, endapan organik dan jenis endapan lainnya yang sangat labil.  Alur sungai bagian hilir mempunyai bentuk yang berkelok-kelok.  Bentuk alur tersebut dinamakan meander (Soewarno 1991: 28 dalam Faza, 2012). Struktur fisik sungai menyediakan relung biologi yang melimpah terhadap organisme-organisme akuatik.  Daerah di bawah batu pada dasar perairan terdapat tempat yang gelap untuk bersembunyi bagi organisme akuatik berukuran kecil, sedangkan pada permukaan atas batu yang terpapar cahaya matahari merupakan tempat bagi alga yang menempel  (Goldman & Horne 1983: 20 dalam Faza, 2012).  Dua karakteristik utama dari ekosistem adalah aliran energi dan siklus materi yang terjadi di dalam ekosistem tersebut.  Energi yang berasal dari luar digunakan di dalam suatu ekosistem, seperti cahaya matahari dimanfaatkan oleh tumbuhan dan diubah menjadi panas oleh organisme heterotropik.  Aktivitas organisme heterotropik juga melepaskan substansi esensial, seperti karbondioksida yang dapat digunakan kembali dalam fiksasi energi oleh tumbuhan (Lampert & Sommer 2007: 247 dalam Faza, 2012).
2.2         Makrozoobenthos
Zoobentos adalah hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1993 dalam Darojah, 2005). Hewan ini merupakan organisme kunci dalam jaring makanan karena dalam sistem perairan berfungsi sebagai pedator, suspension  feeder,  detritivor,  scavenger  dan  parasit.  Makrobentos  merupakan salah satu kelompok penting dalam ekosistem perairan. Pada umumnya mereka hidup  sebagai  suspension  feeder,  pemakan detritus,  karnivor  atau  sebagai pemakan plankton.
Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal dalam sedimen dasar perairan. Benthos mencakup organisme nabati yang disebut fitobenthos dan organisme hewani yang disebut zoobenthos (Odum, 1993 dalam Marfaung (2013). Ketika air surut, organisme akan kembali ke dasar perairan untuk mencari makan. Beberapa makrozoobenthos yang umum ditemui di kawasan mangrove Indonesia adalah makrozoobenthos dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan Polychaeta (Arief, 2003 dalam Marfaung, 2013).
Berdasarkan cara makannya, makrobentos dikelompokkan menjadi 2.
a. Filter feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring air.
b. Deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat dasar.
Kelompok  pemakan  bahan  tersuspensi  (filter  feeder)  umumnya  tedapat dominan disubstrat berpasir misalnya moluska bivalva, beberapa jenis echinodermata dan crustacea. Sedangkan pemakan deposit banyak tedapat pada substrat berlumpur seperti jenis polychaeta.
          Berdasarkan   keberadaannya   di   perairan,   makrobentos   digolongkan menjadi  kelompok  epifauna,  yaitu  hewan  bentos  yang  hidup  melekat  pada permukaan dasar perairan, sedangkan hewan bentos yang hidup didalam dasar perairan disebut infauna. Tidak semua hewan dasar hidup selamanya   sebagai bentos pada stadia lanjut dalam siklus hidupnya. Hewan bentos yang mendiami daerah dasar misalnya, kelas polychaeta, echinodermata dan moluska mempunyai stadium larva  yang  seringkali  ikut  terambil  pada  saat  melakukan  pengambilan contoh plankton.
Komunitas bentos dapat juga dibedakan berdasarkan pergerakannya, yaitu kelompok  hewan  bentos  yang  hidupnya  menetap  (bentos  sesile),  dan  hewan bentos yang hidupnya berpindah-pindah (motile). Hewan bentos yang hidup sesile seringkali digunakan sebagai indikator kondisi perairan (Setyobudiandi, 1997 dalam Darojah, 2005).
Distribusi bentos dalam ekonom perairan alam mempunyai peranan penting dari segi aspek kualitatif dan kuantitatif. Untuk distribusi kualitatif,keadaan jenis dasar berbeda terdapat aksi gelombang dan modifikasi lain yang membawa keanekaragaman fauna pada zona litoral. Zona litoral mendukung banyak jumlah keanekaragaman fauna yang lebih besar daripada zona sublitoral dan  profundal. Populasi litoral dan sublitoral, khususnya bentuk mikroskopik. Terdapat banyak serangga dan moluska, dua kelompok ini biasanya sebanyak 70% atau  lebih  dari  jumlah  komponen  spesies  yang  ada. Dengan peningkatan kedalaman yang melebihi zona litoral, jumlah spesies bentik biasanya berkurang. Pengaruh perbedaan jenis substrat dasar dimodifikasi oleh massa alga filamen yang menutupi luas area. Substrat dasar  lumpur  sering  digambarkan sebagai pendukung jumlah spesies (Welch, 1952 dalam Darojah, 2005).
2.3         Pengelompokan Ukuran Benthos
Berdasarkan ukurannya, Lind (1979) dalam Marfaung (2013) mengklasifikasikan zoobenthos menjadi dua  kelompok  besar  yaitu  mikrozoobenthos  dan  makrozoobenthos.  Hutabarat  dan Evans (1985) dalam Marfaung (2013), juga mengklasifikasikan zoobenthos ke dalam tiga kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu :
1.      Mikrofauna  adalah  hewan-hewan  dengan  ukuran  lebih  kecil  dari  0,1  mm  yang digolongkan ke dalam protozoa dan bakteri.
2.      Meiofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran 0,1 hingga 1,0 mm. Digolongkan ke  dalam  beberapa  kelas  protozoa  berukuran  besar  dan  kelas  krustasea  yang sangat kecil serta cacing dan larva invertebrata.
3.      Makrofauna   adalah   hewan-hewan   dengan   ukuran   lebih   besar   dari   1,0   mm. Digolongkan  ke  dalam  hewan  moluska,  echinodermata,  krustasea  dan  beberapa filum annelida.
Berdasarkan tempat  hidupnya,  zoobenthos  dibagi  atas  dua kelompok,  yaitu:
a)    epifauna  yaitu  organisme  bentik  yang  hidup  dan  berasosiasi  dengan  permukaan substrat   dan,
b)   infauna   yaitu   organisme   bentik   yang   hidup   di   dalam   sedimen (substrat)   dengan   cara   menggali   lubang   (Hutabarat   dan   Evans,   1985;   Nybakken 1992 dalam Marfaung, 2013).
2.4         Parameter Lingkungan Makrozoobenthos
1.    Substrat (sedimen)
Jenis substrat     berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan nutrien   dalam   sedimen.   Pada   substrat   berpasir, kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan dengan substrat yang halus, karena pada substrat berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya. Namun demikian, nutrien tidak banyak terdapat dalam substrat berpasir.  Sebaliknya pada substrat  yang halus, oksigen tidak begitu banyak tetapi biasanya nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup besar (Bengen, 2004 dalam Marfaung, 2013).
Substrat lumpur dan      pasir     merupakan habitat yang          paling  disukai makrozoobenthos   (Lind  1979 dalam Marfaung, 2013).   Benthos   tidak   menyenangi   dasar   perairan   berupa batuan,  tetapi  jika  dasar  batuan  tersebut  memiliki  bahan  organik  yang  tinggi,  maka habitat tersebut akan kaya dengan benthos (Nichol, 1981 dalam Marfaung, 2013).
Makrozoobenthos  (terutama  molluska)  terdapat  dalam  jumlah  yang  sedikit pada tipe tanah liat. Hal ini dikarena substrat liat dapat menekan perkembangan dan kehidupan makrozoobenthos,      karena  partikel-partikel liat sulit ditembus oleh makrozoobenthos untuk  melakukan  aktivitas   kehidupannya.   Selain   itu,   tanah   liat juga mempunyai kandungan unsur hara yang sedikit (Arief, 2003 dalam Marfaung, 2013).
2.    Suhu
Suhu   merupakan   suatu   ukuran   yang   menunjukan   derajat   panas   benda. Suhu   biasa   digambarkan   sebagai   ukuran   energi   gerakan   molekul.   Suhu   sangat berperan   dalam   mengendalikan   kondisi   ekosistem   suatu   perairan.   Suhu   sangat memengaruhi  segala  proses  yang  terjadi  di  perairan  baik  fisika,  kimia,  dan  biologi badan   air.   Suhu   juga   mengatur   proses   kehidupan   dan   penyebaran   organisme (Nybakken 1992 dalam Marfaung, 2013).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu         tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya.  Makin  tinggi  kenaikan  suhu  air,  maka  makin  sedikit  oksigen  yang terkandung  di  dalamnya. Suhu  yang  berbahaya  bagi  makrozoobenthos  adalah  yang lebih kurang dari   350 C. (Retnowati, 2003 dalam Marfaung, 2013).
3.    pH
Organisme  perairan  mempunyai  kemampuan  berbeda  dalam  menolerir  pH perairan.  Batas  toleransi organisme  terhadap  pH  bervariasi  dan  dipengaruhi  banyak faktor   antara   lain   suhu,   oksigen   terlarut,   alkalinitas,   adanya   berbagai   anion   dan kation serta jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973 dalam Marfaung, 2013).
Sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0 hal ini menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos, dimana sebagian  besar  organisme  dasar  perairan  seperti  polychaeta,  moluska  dan  bivalvia memiliki  tingkat  asosiasi  terhadap  derajat  keasaman  yang  berbeda-beda  (Hawkes, 1978 dalam Marfaung, 2013).  
4.    Oksigen Terlarut
Oksigen  terlarut  merupakan  kebutuhan  dasar  untuk  kehidupan  tanaman  dan hewan   di   dalam   air.   Menurut   APHA   (1989) dalam  Marfaung (2013),   oksigen   terlarut   di   dalam   air   dapat berasal  dari  hasil   fotosintesis   organisme  laut   atau   tumbuhan  air   serta  difusi  dari udara.  Konsentrasi  O2  terlarut  di  dalam  air  dapat  dipengaruhi  oleh  koloidal  yang melayang di dalam air maupun oleh jumlah larutan limbah yang terlarut di dalam air.
Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan oksigennya sangat  rendah.            Dekomposisi dan        oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob).   Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi O2 sekitar 10% (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003 dalam Marfaung, 2013).
Oksigen terlarut sangat penting            bagi pernapasan           hewan benthos dan organisme-organisme  akuatik  lainnya  (Odum,  1993 dalam Marfaung, 2013).  Retnowati  (2003),  dalam Marfaung (2013) menyatakan bahwa keberadaan O2 terlarut di dalam substrat  dapat berkurang, hal ini disebabkan oleh  banyaknya  plankton  diperairan  tersebut.  Tingginya kandungan bahan organik dan tingginya populasi bakteri pada sedimen menyebabkan besarnya kebutuhan akan O2 terlarut. Kadar O2 terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/LI (Effendi, 2003 dalam Marfaung, 2013).
5.    Salinitas
Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh organisme   melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin  tinggi  salinitas,  semakin  besar  tekanan  osmosisnya  sehingga  organisme harus  memiliki  kemampuan  beradaptasi  terhadap  perubahan  salinitas  sampai  batas tertentu  melalui  mekanisme  osmoregulasi  (Koesoebiono,  1979 dalam Marfaung, 2013),  yaitu  kemampuan mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal.
Selanjutnya Nybakken (1992) dalam Marfaung (2013), menjelaskan bahwa fluktuasi salinitas di daerah intertidal dapat disebabkan oleh dua hal, pertama akibat hujan lebat sehingga salinitas akan sangat turun dan kedua akibat penguapan yang sangat tinggi  pada siang hari sehingga salinitas akan  sangat tinggi. Organisme yang hidup di daerah intertidal biasanya telah beradaptasi untuk menoleri perubahan salinitas hingga 15‰.
Menurut Mudjiman (1981) dalam Marfaung (2013), kisaran salinitas yang dianggap layak bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45‰, karena pada perairan yang bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.

6.    BOT (Bahan Organik Total)
Bahan  organik  pada  sedimen  merupakan  penimbunan  dari  sisa  tumbuhan dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan (Soepardi, 1986 dalam Marfaung 2013).
Sedimen pasir kasar umumnya memiliki jumlah bahan organik yang sedikit dibandingkan jenis sedimen yang halus, karena sedimen pasir kasar kurang memiliki kemampuan untuk mengikat bahan organik yang lebih banyak. Sebaliknya, jenis sedimen halus memiliki kemampuan cukup besar untuk mengikat bahan organik. Karena bahan organik sedimen memerlukan proses aerasi. Standar bahan organik total yang         diperbolehkan agar organisme dapat hidup berkisar 0,68-17ppm (Soepardi, 1989 dalam Marfaung 2013).



BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1         Waktu dan Tempat
Praktikum Ekologi Perairan mengenai hewan benthos yang berada substrat perairan tawar dilaksanakan pada hari minggu tanggal 10 April 2016. Praktikum ini dimulai pukul 08.30 WITA sampai selesai. Bertempat di  sungai bone kelurahan Talumolo, Kecamatan Dumbo Raya kabupaten Gorontalo.
3.2         Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat di lihat pada tabel berikut:
No
Alat dan Bahan
Fungsi
1.
Kamera
Untuk mengambil dokumentasi
2.
Transek ayakan
Untuk mengambil sampel dari hewan bentos
3.
Tali raffia
Untuk mengikat botol
4.
ATK
Untuk alat tulis menulis
5.
Botol aqua
Untuk media pengukuran arus
6.
Thermometer air
Untuk mengukur suhu air
7.
Plastik sampel
Untuk meletakan hewan bentos
8.
Stopwatch
Untuk menghitung laju arus
9.
Daerah perairan sungai
Sebagai bahan untuk praktikum
3.3         Prosedur kerja
3.3.1        Pengukuran Kecepatan Arus
a.     Mengukur tali rafia sepanjang 10 meter
b.    Menyiapkan botol akua yang di isi deangan air dan di ikatkan tali sepanjang 10 meter
c.     Menyiapkan tali dan botol akua dan dibiarkan hanyut tegak lurus ujung tali di ikatkan pada patok atau dipegang
d.    Mencatat berapa waktu yang ditempuh sepanjang 10 meter
3.3.2    Pengukuran Suhu
a.     Menyiapkan termometer batang
b.    Termometer batang dicelupkan kedalam air
c.     Kemudian dicatat berapa suhu perairan tersebut
3.3.3    Organisme                                                      
a.     Mengambil organisme benthos pada tiga titik yang berbeda
b.    Mencatat hasil yang ditemukan
c.     Kemudian diambil gambarnya
3.3.4    Menentukan perairan
a.     Menentukan perairan dengan merasakannya
b.    Dicatat apakah termasuk perairan sungai, estuary atau laut



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1         Hasil
Hasil yang ditemukan pada lokasi praktikum dapat dilihat pada tabel berikut:


4.2         Pembahasan
4.2.1.      Suhu
Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh hasil 26 oC. Suhu air adalah parameter fisika yang dipengaruhi oleh kecerahan dan kedalaman.Air yang dangkal dan daya tembus cahaya matahari yang tinggi dapat meningkatkan suhu perairan (Erikarianto, 2008).
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai biasa pertumbuhannya. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,evaporasi dan volatisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya (Haslan, 1995).
Pengukuran suhu dilakukan dengan cara membersihkan terlebih termometer dengan air bersih kemudian dikeringkan dengan tisu. Setelah termometer dibersihkan kemudian dicelupkan ke air sungai untuk beberapa menit dan hasil dari pengukuran tersebut 26 oc.
4.2.2.      Pengukuran Arus
Berdasarkan data yang diperoleh pada praktikum ekologi perairan bahwa hasil pengukuran kecepatan arus sampai tali merenggang yaitu 8,2 detik.
Kecepatan arus (velocity/ flow rate) suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air tersebut untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar. Pengetahuan akan kecepatan arus digunakan untuk memperkirkan kapan bahan pencemar akan mencapai suatu lokasi tertentu, apabila bagian hulu suatu badan air mengalami pencemaran. Kecepatan arus dinyatakan dalam satuan m/detik. Disamping itu, arus sering kali amat menentukan distribusi gas yang vital, garam dan organisme kecil  (Odum, 1996).
Pengukuran arus yang dilakukan pada saat praktikum. Karena arus sungai sebelah kanan ditempat praktikum memiliki arus yang cukup kuat sehingga tali sepanjang 10 m terentang sempurna pada waktu 82 sekon sehingga kecapatan arusnya adalah 8,2 m/s.
4.2.3.      Organisme
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan ditemukan organisme benthos yang termasuk klass gastropoda 1 individu jenis Faunus Ater Dan 3 individu Bursa Achinata di titik ke 3, untuk titik 1 dan 2 tidak ditemukan adanya organisme.
a.       Klasifikasi faunus ater
Kingdom    : Animalia
Phylum       : Mollusca
Kelas       : Gastropoda
Family    : Pachychilidae
Genus              : faunus ater
Ekologi spesies Faunus ater ini kurang dikenal. Data yang diterbitkan dari catatan museum menunjukkan bahwa spesies ini hidup di mulut dan hilir sungai air tawar dan sungai dengan pengaruh payau (Houbrick, 1991). Brandt (1974) melaporkan takson ini sebagai mendiami air tawar serta air sedikit payau dekat pantai di sungai.
b.      Klasifikasi bursa echinata
Kingdom   : Animalia
Phylum            : mollusca
Class    : Gastropoda
Family : Bursidae
Genus  : Bufonaria
Molusca termasuk binatang yang sangat berhasil menyesuaikan diri untuk hidup di beberapa tempat dengan cuaca yang berbeda-beda. Siput air tawar biasanya ditemukan di aerah yang bertemperatur rata-rata -12 oC dan bisa mencapai – 51o C. Siput air tawar juga biasanya hidup di daerah hot springs dan bertemperatur 20o – 50o.







BAB V
PENUTUP
5.1         Kesimpulan
Dari hasil praktikum dapat disimpulkan :
a.    Pengukuran suhu yang dilakukan di sungai bone kelurahan talumolo didapatkan hasil 26 0 c hal ini menunjukan bahwa suhu perairan tersebut optimal.
b.    Pengukuran arus yang dilakukan pada saat praktikum di sungai bone kelurahan talumolo didapatkan hasil kecepatan arusnya 16,4  m/s
c.    Organisme yang kami dapatkan disekitar sungai bone kelurahan talumolo antara lain Faunus Ater Dan Bursa Achinata hanya pada titik 3 dari ketiga titik yang kami observasi.
5.2         Saran
   Dalam menyusun laporan ini, tentunya penyusun tidak lepas dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan. Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna dalam kesempurnaan dalam pembuatan laporan selanjutnya.






DAFTAR PUSTAKA
Darojah, Yuyun. 2005. Keanekaragaman jenis Makrozoobenthos di Ekosistem perairan Rawa Pening di Kabupaten Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang

Fairuz, Navisa.,H, Sitorus.,I, Lesmana. 2014. Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Sungai Bingai Kecamatan Binjai Barat Kota Binjai. Jurnal. Progran Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia

Faza, M, F. 2012. Stuktur Komunitas Plankton di Sungai Pesanggaran dari Bagian Hulu (Bogor, Jawa Barat) Hingga Bagian Hilir (Kembangan, DKI Jakarta). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Departemen Biologi Depok. Universitas Indonesia

Marfaung, A, A, F. 2013. Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem mangrove Silvofishery dan mangrove Alami kawasan Ekowisata pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin Makassar

Sinaga, J. R. 2014. Laporan praktikum ekologi perairan. http://jusacrabin.blogspot.com/2014/03/laporan-praktikum-ekologi-perairan.html (12 April 2016)