IDENTIFIKASI
EKTOPARASIT PADA IKAN NILA (Oreochromis
niloticus) DAN IKAN LELE (Clarias
sp)
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Ikan nila (Oreochromis
niloticus) merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi yang telah
lama dikenal oleh masyarakat dan telah dibudidayakan secara massal. Ikan nila
merupakan salah satu jenis ikan yang berasal dari Benua Afrika. Namun demikian, pada saat ini ikan nila telah
menyebar diberbagai negara di dunia termasuk Indonesia (Popma dan Lovshin,
1995). Secara global, ikan nila merupakan salah satu komoditas penting dengan
produksi dan kebutuhan yang semakin meningkat (Fitzsimmons, 2008 dalam Lianda dkk, 2015).
Ikan lele merupakan salah satu jenis ika tawar yang sudah
dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia. Menurut Dirjen
Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, lele menjadi komoditas
unggulan karena mudah dibudidayakan, dapat dipelihara dengan padat tebar yang
tinggi dalam lahan terbatas di kawasan marginal dan hemat air. Selain itu, lele
memiliki pertumbuhan yang cepat, relative tahan terhadap penyakit, teknologi
budidaya lele relative mudah dikuasai masyarakat, modal usaha dan pemasaran
relative rendah, dipastikan banyak menyerap tenaga kerja dan terbukti menjadi
usaha yang menguntungkan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006a dalam Jufrie, 2006).
Penyakit pada ikan, terutama yang disebabkan oleh parasit,
dapat menyebabkan penurunan kualitas ikan dan gangguan kesehatan pada manusia.
Keberadaan parasit dapat menyebabkan efek mematikan pada populasi inang dan
konsekuensinya dapat menyebabkan kerugian besar bagi industri perikanan.
Parasit tidak hanya dapat merugikan industri perikanan, tetapi juga manusia
yang mengonsumsinya (Palm et al., 2008 dalam
Lianda dkk, 2015).
Parasit
adalah hewan atau tumbuhan yang hidup di dalam atau pada tubuh organisme lain
(berbeda jenis), sehingga memperoleh makanan dari inangnya tanpa ada kompensasi
apapun. Jadi parasit itu adalah organisme yang hidup di atas jerih payah
organisme lain tanpa member imbalan apapun.
1.2
Tujuan
Tujuan
praktikum ini yaitu untuk mengetahui jenis parasit yang menginfeksi ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ikan lele (Clarias sp.).
1.3
Manfaat
Manfaat dilakukannya
praktikum ini yaitu diharapkan agar dapat menambah wawasan mahasiswa serta
dapat mengetahui dan mengaplikasikan langsung materi-materi yang diterimanya di
bangku kuliah.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Ikan
Nila (Oeochromis niloticus)
2.1.1
Klasifikasi
Ikan Nila (Oeochromis niloticus)
Meurut
Rukmana (1997) dalam Gusdi (2012)
tingkatan taksa dalam menentukan silsilah (taksonomi), nila (Oreochromis nilotica) di klasifikasikan
sebagai berikut :
Filum: Chordata
Subfilum: Vertebrata
Kelas: Pisces
Subkelas: Acanthopterigii
Ordo: Percomorphi
Subordo: Percaidae
Famili: Cichlidae
Genus: Oreochromis
Spesies: Oreochromis nilothicus
Gambar
1: Morfologi Ikan Nila (Oreochromis
niloticus)
Sumber
: Wikipedia, 2015
Pada
awalnya, ikan nila dimasukan ke dalam jenis Tilapia
nilotica atau ikan dari golongan
tilapia yang tidak mengerami telur dan larva di dalam mulut induknya. Dalam
perkembangannya, para pakar perikanan menggolongkan ikan nila ke dalam jenis Sarotherodon
niloticus atau kelompok tilapia yang mengerami telur dan larvanya di dalam
mulut induk jantan dan betinanya.
Akhirnya diketahui bahwa yang mengerami telur dan larva di dalam mulut ikan
nila hanya induk betinanya. Para pakar perikanan kemudian memutuskan bahwa nama
ilmiah yang tepat untuk ikan nila adalah Oreochromis
niloticus atau Oreochromis sp.
Nama niloticus menunjukkan tempat
ikan ini berasal, yakni Sungai Nil di Benua Afrika (Amri, 2003 dalam Aribowo, 2010).
2.1.2
Morfologi
ikan Nila (Oreochromis nilothicus )
Berdasarkan morfologinya, kelompok
ikan nila ini memang berbeda dengan kelompok
tilapia. Secara umum, bentuk tubuh ikan nila panjang dan ramping, dengan sisik
berukuran besar. Matanya besar, menonjol, dan bagian tepinya berwarna putih. Gurat
sisi (linea lateralis) terputus di bagian tengah badan kemudian berlanjut,
tetapi letaknya lebih ke bawah daripada letak garis yang memanjang di atas sirip dada. Jumlah sisik
pada gurat sisi jumlahnya 34 buah. Sirip punggung, sirip perut, dan sirip dubur
mempunyai jari-jari lunak dan keras. Sirip punggungnya berwarna hitam dan sirip
dadanya juga tampak hitam. Bagian pinggir sirip punggung berwarna abu-abu atau
hitam (Amri, 2003 dalam Aribowo, 2010).
Banyak orang yang keliru membedakan
antara ikan nila dan mujair. Letak perbedaan keduanya bisa dilihat dari
perbandingan antara panjang total dan tinggi badan. Perbandingan ukuran tubuh ikan nila
adalah 3: 1 dan ikan mujair 2 : 1. Selain itu, terlihat adanya pola garis-garis
vertikal yang terlihat sangat jelas di sirip ekor dan sirip punggung ikan nila.
Jumlah garis vertikal di sirip ekor ada enam buah dan di sirip punggung ada
delapan buah. Garis dengan pola yang sama (garis vertikal) juga terdapat di
kedua sisi tubuh ikan nila dengan jumlah delapan buah (Bernard dkk., 2010 dalam Aribowo, 2010).
Ikan nila memiliki 5 buah sirip,
yakni sirip punggung (dorsal fin),
sirip dada (pectoral fin), sirip perut (ventral
fin), sirip anus (anal fin), dan
sirip ekor (caudal fin). Sirip
punggungnya memanjang, dari bagian atas tutup insang hingga bagian atas sirip
ekor. Ada sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil. Sirip anus
hanya satu buah dan berbentuk agak panjang. Sementara itu, sirip ekornya berbentuk
bulat dan hanya berjumlah satu buah (Amri, 2003 dalam Aribowo, 2010). Sirip dubur (anal fin), sirip ekor (caudal
fin), dan punggung (dorsal fin)
mempunyai jari-jari lunak dan keras yang bersifat fleksibel. Sirip dubur
terdiri dari 3 jari-jari sirip keras dan 9 sampai dengan 11 buah jari-jari
sirip lemah. Sirip ekor terdiri dari 2 jari-jari sirip lemah mengeras dan 16
sampai dengan 18 jari-jari sirip lemah. Sirip punggung terdiri dari 17
jari-jari sirip keras dan 13 jari-jari sirip lemah (BSN, 2009
dalam Aribowo, 2010).
Jika
dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, ikan nila jantan memiliki ukuran sisik yang lebih besar
daripada ikan nila betina. Alat kelamin ikan nila jantan berupa tonjolan agak
runcing sebagai muara urin dan saluran sperma yang terletak di depan anus. Jika
perut ikan nila jantan di urut (striping), akan mengeluarkan sperma berwarna keputihan. Sementara itu,
warna sisik ikan nila betina sedikit kusam dan mempunyai tubuh agak memanjang.
Di bagian anus nila betina terdapat dua tonjolan membulat. Satu merupakan
saluran keluarnya telur dan yang satunya lagi adalah saluran pembuangan kotoran
(Bernard dkk., 2010 dalam Aribowo,
2010).
2.1.3
Syarat Hidup
Ikan nila (Oreochromis niloticus) memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan
hidupnya sehingga bisa dipelihara di daratan rendah yang berair payau hingga di
dataran tinggi yang berair tawar. Habitat hidup ikan nila cukup beragam, dari
sungai, danau, waduk, rawa, sawah, kolam, hingga tambak (Bernard dkk., 2010 dalam Aribowo, 2010).
Ikan nila dapat tumbuh secara normal
pada kisaran suhu 14-38°C dan dapat memijah secara alami pada suhu 22-37°C.
Untuk pertumbuhan dan perkembangan, suhu optimum bagi ikan nila adalah 25-30°C.
Pertumbuhan ikan nila biasanya akan terganggu jika suhu habitatnya lebih rendah
dari 14°C atau pada suhu tinggi 38°C. Ikan nila akan mengalami kematian pada
suhu 6°C atau 42°C. Keadaan perairan yang baik bagi pertumbuhan ikan nila yakni
memiliki kandungan oksigen minimal 4 mg/Lt, kandungan karbon dioksidanya kurang
dari 5 mg/L, dan derajat keasaman (pH) sekitar 5-9 (Amri, 2003 dalam Aribowo, 2010). Bahkan terdapat
penelitian yang membuktikan bahwa ikan nila dapat hidup dalam air yang tercemar
limbah karena ikan ini memiliki kemampuan mencerna dalam perairan dengan
kandungan oksigen yang rendah (Gumisiriza et
al, 2009 dalam Aribowo, 2010).
Selain suhu,
faktor lain yang bisa mempengaruhi kehidupan ikan nila adalah salinitas atau
kadar garam di suatu perairan. Ikan nila bisa tumbuh dan berkembangbiak pada
kisaran salinitas 0-29 0/00 (per mill). Jika kadar
garamnya 29-35 0/00, ikan nila bisa tumbuh, tetapi tidak
dapat bereproduksi. Ikan nila yang masih kecil atau benih biasanya lebih cepat
menyesuaikan diri dengan kenaikan salinitas dibandingkan dengan ikan nila yang
berukuran besar (Andrianto, 2005 dalam Aribowo,
2010).
2.1.4
Kebiasaan
Hidup Ikan Nila (oreochromis niloticus)
1.
Berkembang biak
Secara alami, ikan nila bisa memijah
sepanjang tahun di daerah tropis. Frekuensi pemijahan yang terbanyak terjadi
pada musim hujan. Di alamnya, ikan nila bisa memijah 6-7 kali dalam setahun.
Berarti, rata-rata setiap dua bulan sekali, ikan nila berkembang biak. Ikan ini
mencapai stadium dewasa pada umur 4-5 bulan dengan bobot sekitar 250 gram. Masa
pemijahan produktif adalah ketika induk berumur 8 bulan - 2 tahun, atau dengan
bobot di atas 500 gram/ekor. Seekor ikan nila betina dengan berat sekitar 800
gram menghasilkan larva sebanyak 1.200-1.500 ekor pada setiap pemijahan.
Sebelum memijah, ikan nila jantan
selalu membuat sarang berupa lekukan berbentuk bulat di dasar perairan.
Diameter lekukan setara dengan ukuran ikan nila jantan. Sarang itu merupakan
daerah teritorial ikan nila jantan. Ketika masa birahi, ikan nila jantan
kelihatan tegar dengan warna cerah dan secara agresif mempertahankan daerah
teritorialnya tersebut. Sarang tersebut berfungsi sebagai tempat pemijahan dan
pembuahan telur.
Proses pemijahan ikan nila
berlangsung sangat cepat. Dalam waktu 50-60 detik mampu menghasilkan 20-40
butir yang telah dibuahi. Pemijahan itu terjadi beberapa kali dengan pasangan
yang sama atau berbeda hingga membutuhkan waktu 20-60 menit. Telur ikan nila
berdiameter 2,8 mm, berwarna abu-abu, kadang-kadang berwarna kuning, tidak
lengket, dan tenggelam di dasar perairan. Telur-telur yang telah dibuahi
dierami di dalam mulut induk betina kemudian menetas setelah 4 hari dengan suhu
inkubasi sekitar 29°C. Telur yang sudah menetas disebut larva. Panjang larva
maksimal 1,3 cm. Larva yang baru menetas diasuh oleh induk betina hingga
mencapai umur 10 hari. Benih yang sudah tidak diasuh lagi oleh induknya akan
berenang bergerombol di bagian perairan yang dangkal atau di pinggir kolam
(Amri, 2003 dalam Aribowo, 2010).
Dengan berkembangnya metode induced spawning pada ikan dimana pembuahan telur dan sperma dapat dilakukan
secara manual di luar tubuh ikan, maka
memungkinkan untuk dapat memanipulasi perkembangan gamet untuk memproduksi
jenis ikan sesuai dengan tujuan budidaya (Rustidja, 1991 dalam Aribowo, 2010) seperti
yang dilakukan oleh Rozik dan Yasin (2007) dalam penelitiannya untuk membuat
ikan nila tetraploid.
2.
Laju pertumbuhan
Laju pertumbuhan tubuh ikan nila
yang dibudidayakan tergantung dari pengaruh fisika dan kimia perairan dan
interaksinya. Sebagai contoh, curah hujan
yang tinggi akan menganggu pertumbuhan tanaman air dan secara tidak langsung akan
mempengaruhi pertumbuhan ikan nila yang dipelihara di kolam. Berdasarkan hasil
penelitian, diketahui bahwa laju pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) lebih cepat jika dipelihara di kolam yang
airnya dangkal dibandingkan dengan di kolam yang airnya dalam. Penyebabnya
adalah di perairan yang dangkal, pertumbuhan tanaman air sangat cepat sehingga
ikan nila yang dipelihara di kolam yang dipupuk dengan pupuk organik, seperti
kotoran ternak, lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan kolam yang dipupuk
dengan pupuk anorganik/ pupuk buatan. Laju pertumbuhan berat ikan nila merah di
kolam lebih cepat dibandingkan dengan
yang dipelihara dalam karamba (Wirabakti,
2007 dalam Aribowo, 2010).
Hal lain yang menarik dari laju
pertumbuhan ini adalah ikan nila jantan mempunyai laju pertumbuhan lebih cepat
40% dari pada ikan nila betina, apalagi jika ikan ini dipelihara secara kelamin
tunggal (monosex), Artinya dalam satu kolam hanya dipelihara ikan nila jantan. Jika
sudah mencapai ukuran 200 gram, pertumbuhan ikan nila menjadi semakin lambat, namun
tidak demikian dengan ikan nila betina, jika sudah mencapai ukuran 200 gr, ikan
nila betina akan tetap tumbuh pesat (Amri, 2003 dalam Aribowo, 2012). Pertumbuhan ikan nila berhubungan dengan
jenis kelamin, dalam hal ini, pertumbuhan nila jantan relatif lebih cepat dibandingkan dengan nila
betina (Sucipto dkk., 2003 dalam Aribowo,
2010).
2.1.5
Pakan dan
Kebiasaan Makan
Nila adalah ikan yang tergolong
kedalam omnivor, yaitu pemakan segala jenis makanan. Makanan yang terdiri atas
plankton hewani, plankton nabati, daun – daunan tumbuhan halus, seperti
kangkung air, daun ubi jalar, dan petai cina, setritus dan lain – lain (Iskandar,
2003) dalam (Gusdi, 2012).
Pada habitatnya ikan nla bersifat
pemangsa segala jenis tumbuh-tumbuhan ataupun hancuran sampah yang ada didalam
air. Pada stadium larva ataupun benih mempunyai kebiasaan makan di perairan
yang dangkal, jenis makanan yang paling disukai larva atau benih ikan adalah zooplankton. Ikan nila dewasa atupun
induk pada umumnya mencari makan ditempat yang dalam. Jenis makanan yang
disukai induk adalah fitoplankton
(Rukmana, 1997) dalam (Gusdi, 2012).
Cara makan ikan nila adalah dengan
mengais menggunakan ujung mulutnya. Di kolam-kolam atau perairan umum ikan nila
sering kali mengais-ngais bagian tepi yang agak dangkal. Tetapi cara makan
demikian dapat berubah apabila dibudidayakan secara intensif. Ikan nila juga
sangat agresif terhadap pemberian pakan tambahan, bahkan dapat lebih afrisif
dibandingkan ikan jenis lainnya (Santoso, 1996) dalam (Gusdi, 2012).
2.2
Biologi
Ikan Lele (Clarias sp)
Saanin (1954) dalam Yustikasari (2004) menyatakan
klasifikasi ikan lele adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Klas : Pisces
Subklas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias
sp.
Gambar 2. Ikan Lele (Clarias sp)
Ikan lele memiliki
gonad satu pasang yang terlatek disekitar usus, lambungnya relative besar dan
panjang, hati dan gelembung renangnya berjumlah dua dan masing-masing sepasang,
alat pernafasannya berupa insang dan insang tambahan berupa arborescent organ. Di samping itu, patil
yang dimiliki tidak tajam dan geriginya tumpul.
Menurut Viveen dkk.
(1987) dalam Yustikasari (2004), ikan
lele (Clarias sp) memiliki cirri-ciri
sebagai berikut:
a)
Kulit berlendir dan tidak bersisik,
mempunyai pigmen hitam yang berubah menjadi pucat apabila terkena cahaya
matahari. Jika menderita stress akan timbul mozaik hitam putih.
b)
Mulutnya lebar, mampu memakan berbagai
makanan, dari zooplankton renik sampai ikan dan pemakan bangkai.
c)
Sekitar mulut ada delapan kumis, yaitu
nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam.
d)
Sirip tunggal terdapat pada punggung,
ekor dan dubur, sedangkan sirip-sirip yang berpasangan terdapat pada dada dan
perut.
e)
Mempunyai alat pernafasan tambahan
berupa arborescent organ.
Ikan lele biasa hidup
di perairan tawar, seperti air sungai, danau, rawa dan kolam. Ikan tersebut
tidak terlalu bermasalah dengan kualitas air sehingga lele mampu hidup di air
yang memiliki kualitas yang buruk, yang tidak disenangi oleh ikan lain, misalnya
comberan dan air keruh (Agus dkk.,2001 dalam
Yustikasari, 2004). Bahkan di air yang dangkal serta tempat yang tingkat
penebaran ikannya padat dan kurang oksigen terlarutnya. Kondisi ideal air bagi
hidup ikan lele dumbo adalah mengandung pH 6,5 sampai 9 dengan suhu 240C
sampai 260C (Najiyati, 2001 dalam
Yustikasari, 2004).
Secara
morfologi ikan lele jantan dan betina data dibedakan dari urogenital papilla
yang terletak di belakang anus. Ikan lele jantan memiliki urogenital papilla
yang lebih panjang dan menonjol (Anonimous, 2002 dalam Yustikasari, 2004). Induk ikan lele jantan tidak dapat
diambil spermanya dengan cara pengurutan (Stipping),
sehingga induk jantan harus dibunuh terlebih dahulu kemudian diambil testisnya
(Hernowo dan Suyanto, 2003 dalam Yustikasari,
2004).
2.3
Penyakit
Ikan
Penyakit ikan adalah
sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Gangguan terhadap ikan dapat disebabkan oleh organisme lain,
pakan, maupun kondisi lingkungan yang kurang menunjang kehidupan ikan (Suwarsito
dkk, 2014).
Penyakit ikan dapat
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan suatu
fungsi dan struktur dari alat tubuh, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pada prinsipnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang begitu
saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi
lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi inang (ikan), dan adanya jasad
pathogen (jasad penyakit). Dengan demikian timbulnya serangan penyakit itu
merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan, ikan, dan
jasad/organisme penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stress
pasa ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah
dan akhirnya mudah diserang oleh penyakit (Kordi, 2004).
Hubungan
antara parasit, ikan, dan faktor stres lingkungan terhadap proses terjadinya
penyakit dapat dilihat pada Gambar berikut :
Gambar 3. Proses Terjadinya Penyakit
pada Ikan
2.4
Parasit
Secara umum, parasit dapat didefinisikan sebagai organisme yang hidup pada organisme lain, yang disebut
inang, dan mendapat keuntungan dari inang yang ditempatinya hidup, sedangkan
inang menderita kerugian. Parasit memiliki habitat tertentu dalam tubuh
inangnya. Berdasarkan lingkungannya, parasit dibedakan menjadi ektoparasit,
yaitu parasit yang hidup pada permukaan tubuh inang dan yang memperoleh makanan dengan
mengirimkan haustorium masuk ke dalam sel-sel
tumbuh inang itu (Anshary, 2008 dalam Yuliartati,
2011).
Parasit adalah hewan
atau tumbuhan yang hidup di dalam atau pada tubuh organisme lain (berbeda
jenis), sehingga memperoleh makanan dari inangnya tanpa ada kompensasi apapun.
Jadi parasit itu adalah organisme yang hidup di atas jerih payah organisme lain
tanpa member imbalan apapun. Parasitisme adalah hubungan dengan salah satu
spesies parasit dimana inangnya sebagai habitat dan merupakan tempat untuk
memperoleh makanan atau nutrisi, tubuh inang adalah lingkungan utama dari
parasit sedangkan lingkungan sekitarnya merupakan lingkungan keduanya (Kordi,
2004 dalam Arbie, 2014).
Parasit memiliki
habitat tertentu dalam tubuh inangnya. Berdasarkan lingkungannya, parasit dibedakan
menjadi ektoparasit, yaitu parasit yang hidup pada permukaan tubuh inang.
Beberapa golongan parasit yang bersifat ektoparasit antara lain adalah ciliata,
beberapa flagellata, monogenea, copepod, isopod, branchiuran dan lintah, sedangkan endoparasit adalah
parasit yang ditemukan pada organ bagian
dalam inang. Golongan parasit yang masuk
kelompok endoparasit antara lain adalah digenea, cestoda, nematoda, acantocephala,
coccidia, microsporidia, dan amoeba
(Anshary, 2008 dalam Pujiantuti, 2015). Umumnya ikan-ikan yang hidup di alam dapat
terinfeksi oleh berbagai jenis parasit cacing-cacingan seperti Monogenea,
Digenea, Nematoda dan Acanthocepala. Monogenea
umumnya ektoparasit dan jarang bersifat endoparasit. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kabata (1985), dalam Pujiantuti (2015) bahwa monogenea
salah satu parasit yang sebagian besar menyerang bagian luar tubuh ikan (ektoparasit), jarang menyerang bagian dalam tubuh ikan (endoparasit)
biasanya menyerang kulit dan insang. Salah satu spesies dari kelas
monogenea yang paling sering muncul pada ikan air tawar adalah Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp. (Rukyani, 1990 dalam Pujiantuti, 2015).
BAB
III
METODELOGI
PRAKTIKUM
3.1
Waktu
dan Tempat
Praktikum
pengamatan dan identifikasi parasit pada ikan lele dan ikan nila dilaksanakan
pada hari Rabu 23 November 2016, pukul 09.30 WITA sampai selesai, bertempat di Laboratorium
Parasit Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Kelas 1 Gorontalo.
3.2
Alat
dan Bahan
Alat dan bahan yang
digunakan pada praktikum dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 1. Alat yang digunakan
pada praktikum
No
|
Alat
|
Fungsi
|
1
|
Gelas ukur
|
Sebagai tempat akuades
|
2
|
Pipet
|
Untuk meneteskan
akuades ke media uji
|
3
|
Kaca preparat
|
Untuk meletakkan
sampel yang diperiksa
|
4
|
Disetting set/alat
bedah
|
Untuk membedah hewan
uji/ikan
|
5
|
Timbangan
|
Untuk mengukur berat
ikan
|
6
|
Talenan
|
Untuk meletakkan ikan
yang akan diuji
|
7
|
Tissue
|
Untuk membersihkan
peralatan
|
8
|
Microscop
|
Untuk mengamati
parasit
|
9
|
ATM
|
Untuk mencatat hasil
|
10
|
Kamera
|
Sebagai dokumentasi
|
11
|
Cawan petri
|
Untuk meletakkan
sampel (insang) yang akan diperiksa
|
Tabel 2. Bahan yang
digunakan
No
|
Bahan
|
Kegunaan
|
1
|
Ikan Nila
|
Sebagai hewan uji
|
2
|
Ikan Lele
|
Sebagai hewan uji
|
3
|
Akuades
|
Untuk pengenceran
|
3.3
Prosedur
Kerja
Sebelum pemeriksaan ektoparasit,
terlebih dahulu sampel ikan diukur panjang dan beratnya. Pemeriksaan terhadap
ektoparasit pada ikan nila dan ikan lele dilakukan dengan metode preparat ulas.
Kerokan dilakukan pada permukaan sisik, ekor dan insang dengan menggunakan kaca
preparat, lendir hasil kerokan diletakkan diatas kaca preparat steril dan
ditetesi sedikit akuades untuk pengenceran, selanjutnya diamati di bawah mikroscop
yang dilengkapi dengan kamera. Pemeriksaan parasit pada insang dilakukan dengan
cara membuka tutup insang/overkulum
terlebih dahulu dan diambil lembaran-lembaran insang, diletakkan diatas cawan
petri kemudian dihaluskan dengan menggunakan gunting dan ditetesi sedikit
akuades untuk tujuan pengenceran setelah itu diletakkan diatas kaca preparat
dengan menggunakan pipet tetes, kemudian diamati di bawah mikroscop.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Berdasarkan praktikum
yang dilakukan tentang pengamatan parasit pada ikan nila dan ikan lele
didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil
pengukuran panjang dan berat ikan
No
|
Jenis Ikan
|
Pengukuran
|
|
Panjang
|
Berat
|
||
1
|
Ikan Nila
|
17,2 cm
|
93 Gram
|
2
|
Ikan Lele
|
21,5 cm
|
79 Gram
|
Tabel 4. Hasil pengamatan parasit pada ikan nila (Oreochromis niloticus)
No
|
Organ target
|
Jenis
|
Jumlah
|
1
|
Insang
|
Dactylogyrus sp
|
1
|
2
|
Lendir tubuh
|
-
|
-
|
3
|
Lendir Ekor
|
-
|
-
|
Tabel 5. Hasil
pengamatan parasit pada ikan lele (Clarias
sp)
No
|
Organ target
|
Jenis
|
Jumlah
|
1
|
Insang
|
-
|
-
|
2
|
Lendir tubuh
|
-
|
-
|
3
|
Lendir Ekor
|
-
|
-
|
4.2
Pembahasan
Dari hasil praktikum
yang telah dilaksanakan pada ikan nila (Oreochromis
niloticus) dan ikan lele (Clarias sp)
menunjukkan bahwa ikan nila terinfeksi oleh organisme parasit Dactylogyrus sp. Tetapi sampel yang
diperiksa tidak memperlihatkan kelainan patologis seperti peradangan dan
nekrosis meskipun ditemukan parasit pada tubuhnya. Dactylogyrus sp merupakan parasit yang menyerang insang. Hal ini
sesuai dengan pendapat Kusumah (1976) yang menyatakan bahwa parasit jenis ini
adalah parasit yang menyerang insang. Parasit ini mengambil sari-sari makanan
pada inang dengan menggunakan jangkar dan alat penghisap. Pada ophistaptor terdapat kait, jangkar, dan alat penghisap ini
menyebabkan kerusakan insang.
Dactylogyrus
sp. merupakan parasit yang sering menyerang
ikan air tawar dan air laut. Parasit ini termasuk dalam klas monogenea yang memiliki
sepasang bintik mata, saluran usus yang tidak jelas, sepasang jangkar yang
tidak memiliki penghubung. Parasit ini mempunyai cara adaptasi yang unik.
Sebagian tubuh, bagian anterior, tertanam ke dalam tubuh inang, sedangkan
bagian tubuh lainnya berada diluar tubuh inang dengan peran fisologis yang
berbeda. Bagian tubuh parasit yang berada di dalam tubuh inang berperan untuk
mengambil nutrient, sedangkan bagian tubuh yang berada di luar, termasuk
kantung telur berperan untuk salah satunya bereproduksi. Kantung yang berada di
luar tubuh tersebut memudahkan parasit ini melepaskan telurnya ke air.
Gambar 4. Parasit Dactylogyrus sp yang ditemukan di insang ikan nila
Sedangkan pada ikan
lele (Clarias sp) yang keadaan ikan
jika dilihat dari luar terdapat adanya gejala-gejala terinfeksinya penyakit
yang ditandai dengan gerakan ikan menjadi lamban, keadaan tubuhnya dipenuhi luka, insang terlihat pucat
dan tubuhnya banyak mengeluarkan lendir tetapi saat dilakukan pemeriksaan tidak
ditemukan parasit pada lendir maupun pada insang ikan lele (Clarias sp) tersebut.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ditemukan parasit jenis Dactylogyrus sp. pada ikan nila yang
diamati. Sedangkan pada ikan lele yang terlihat gejala-gejala terinfeksi
penyakit tidak ditemukan satupun jenis parasit pada tubuhnya.
5.2
Saran
Dalam melakukan pengamatan penyakit
khususnya parasit, sebaiknya dilakukan dengan prosedur yang baik dan benar agar
dapat menemukan jenis parasit yang menginfeksi ikan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Aribowo, J.
2010. Karakterisasi Varietas Unggulan Ikan Nila (Oreochromis sp.) Di Broodstock Center, Satker Pbiat Janti, Klaten
berdasarkan Ciri Morfologi dan Pola Pita Serta kandungan Protein. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas
Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret
Arbie, M. 2014.
Prevalensi dan Intensitas Ektoparasit Trichodina sp, Pada Kulit dan Insang Ikan Mas (Cyprinus carpio) di Balai Pengembangan Budidaya Ikan Air Tawar
(BPBIAT) Gorontalo. Skripsi. Program
Studi Budidaya Perairan. Jurusan Tehnologi Perikanan. Fakultas Ilmu-Ilmu
Pertanian. Universitas Negeri Gorontalo
Gusdi, A. 2012.
Pengembangan Usaha keramba Jaring Apung pada Petani Kelurahan Parit Mayor. Kota
Pontianan Kalimantan Barat. Tesis.
Ilmu Kelautan Bidang Manajemen Perikanan. Program Pasca Sarjana. Universitas
Tebuka. Jakarta
Jufrie, F, M. 2006. Efektivitas Aromatase Inhibitor pada Perendaman Embrio
Terhadap Sex Reversal Ikan Lele
Sangkuriang Clarias sp. Skripsi. Program Studi Teknologi dan
Manajemen Akuakultur. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor
Kordi K, M, G,
H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. PT Rineka Cipta dan Bina
Adiaksara, Jakarta
Lianda, N., Y,
Fahrimal., R, Daud., Rusli., D, Aliza., M, Adam. 2015. Identifikasi Parasit Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Irigasi Barabung Kecamatan Darussalam Aceh Besar. Jurnal.
Program
Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh. Vol. 9, No. 2
Pujiastuti, N.
2015. Identifikasi Dan Prevalensi Ektoparasit Pada Ikan Konsumsi Di Balai Benih
Ikan Siwarak. Skripsi. Jurusan
Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri
Semarang
Yuliarti, E.
2011. Tingkat Serangan Ektoparasit pada Ikan Patin (Pangasius djambal) pada Beberapa Pembudidaya Ikan Di Kota Makassar.
Skripsi. Rogram Studi Budidaya
Perairan. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin. Makassar
Yustikasari,
Y. 2004. Pengaruh Penyuntikan Ekstark Jaha Terhadap Perkembangan Diameter dan
Posisi Inti Sel Telur Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp). Skripsi.
Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor