Rabu, 21 September 2016

KOMODITAS BUDIDAYA PERIKANAN LAUT (IKAN DAN NON IKAN)

Publish: Suryaningrat Ana

KOMODITAS BUDIDAYA PERIKANAN LAUT (IKAN DAN NON IKAN)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Saat ini perikanan di Indonesia mulai dapat berkembang setelah mengalami keterpurukan akibat serangan hama penyakit, terutama perikanan budidaya yang semakin lama semakin diminati oleh banyak kalangan dan memiliki andil yang cukup besar dalam upaya peningkatan pendapatan. Budidaya perikanan merupakan salah satu sumber devisa Negara yang cukup besar dan menjanjikan. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan pembangunan di bidang sub sector perikanan, yaitu dengan pembangunan budidaya ikan air tawar, payau, maupun laut (Suyoto dan Mustahan, 2002 dalam Ramadani, 2010).
Salah satu usaha budidaya yang sedang berkembang ialah usaha budidaya perikanan laut. Ikan kerapu (Epinephelus sp), abalon (Holiotis squamata), dan rumput laut (Eucheuma cottonii). Merupakan komoditas sumber daya perairan yang memiliki nilai ekonomis penting di Indonesia, baik dipasarkan domestic maupun pasar internasional, dan selain itu nilai jualnya cukup tinggi.
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) memiliki beberapa keunggulan yaitu memiliki harga jual tinggi baik di pasar local maupun pasar ekspor, pertumbuhan yang cepat dan banyak diminati oleh masyarakat. Di Indonesia, pembenihan dan pembesaran ikan kerapu telah mulai dikembangkan sebagai usaha alternative dalam mengantisipasi kekurangan ikan kerapu akibat meningkatnya permintaan pasar (Wardana, 1994 dalam Sari, 2011).
Moluska merupakan kelompok yang mendominasi  perairan setelah kelompok ikan, jumlahnya mencapai 1500 jenis siput dan 1000 jenis kerang (Nontji, 1984 dalam Nurfajrie et al, 2014) .  Salah satu jenis siput yang dapat dijumpai di perairan Indonesia adalah abalon. Abalon merupakan kelompok moluska laut yang lebih dikenal sebagai “ker ang mata tujuh” atau “siput lapar kenyang” (Dharma, 1988)  dalam  (Susanto,  et al., 2010 dalam Nurfajrie et al, 2014). Beberapa jenisnya merupakan komoditi ekonomis. Daging abalon merupakan sumber makanan berprotein tinggi, rendah lemak, makanan tambahan (food suplement) dan di Jepang dianggap mampu menyembuhkan penyakit ginjal. Cangkang dari abalon juga memiliki nilai ekonomis yang tidak kalah tinggi dibandingkan dagingnya (Suwignyo, 2005 dalam Nurfajrie et al, 2014).
Rumput Laut Eucheuma cottonii merupakan makro alga yang hidup di laut, pada umumnya di dasar perairan dan menempel pada substrat atau benda lain dan juga hidupnya terapung di permukaan laut. Bagian – bagian rumput laut secara umum terdiri dari holdfast yaitu bagian dasar dari rumput laut yang berfungsi untuk menempel pada substrat dan thalus yaitu bentuk–bentuk pertumbuhan rumput laut yang menyerupai percabangan.
1.2        Tujuan dan Manfaat
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk melatih mahasiswa dan untuk mengetahui tekhnik-tekhnik budidaya perikanan laut, dan juga sebagai salah satu pembelajaran kepada mahasiswa tentang komoditas perikanan laut yang bernilai ekonomis tinggi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1        Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
2.1.1  Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Menurut Binohlan (2010) dalam Sutrisna (2011) ikan kerapu macan digolongkan pada :
Kelas      :   Chondrichthyes
Subkelas :  Ellasmobranchii
Ordo       :   Percomorphi
Divisi      :   Perciformes
Family    :  Serranidae
Genus    :  Epinephelus
Spesies   :   Epinepheus fuscoguttatus (Forsskal, 1775)


                                                                                                                                                              Gambar 1. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus Forsskal, 1775
Sumber : Binohlan CB (2010) dalam Sutrisna (2011)
Heemstra dan Randall (1993) dalam Sutrisna (2011) menyatakan, morfologi ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebagai berikut,  tinggi  ikan  kerapu macan  (Epinephelus fuscoguttatus Forsskal, 1775)  lebih  panjang dari  panjang kepalanya. Area  interorbitalnya datar atau sedikit  cekung, bagian Preoperculumnya membulat dan bergerigi halus,  ujung bagian atas operculumnya cembung,  ujung bagian depan tulang  preorbital  menekuk  cukup dalam  ke  arah lubang hidung dan rahang bagian atas memanjang dari posterior sampai mata.
Beberapa ciri morfologi yang lain dapat menjelaskan bentuk ikan ini secara jelas. Pada ikan ini terdapat sekitar  10 -  12 buah Gill rakers  di  bagian  atas dan  17  - 21 pada  bagian  bawah (tapi  pada dasarnya  sulit untuk  dihitung). Ikan  kerapu macan memiliki XI jari keras dan 14 atau 15 jari lunak duri sirip dorsal (jari kerasketiga atau keempat  biasanya terpanjang),  III jari keras dan 8 jari  lunak  sirip anal, dan  sirip  pectoral  sekitar 18-20  serta bentuk sirip  caudal  (ekor)  membundar. Warna tubuh ikan ini  coklat  pucat  kekuningan,  tubuh, kepala, dan sirip ditutupi dengan bintik-bintik coklat kecil, yang  mana bagian  bercak lebih gelap dari  area tubuh lainnya.
2.1.2  Distribusi, Habitat dan Lingkungan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Penyebaran ikan  kerapu macan  (Epinephelus fuscoguttatus  Forsskal, 1775) terdistribusi secara luas di wilayah Indo-Pasifik, Laut Merah,  kepulauan tropis India dan bagian barat-tengah Lautan Pasifik  (timur ke Samoa dan Kepulauan Phoenix).  Ikan kerapu macan tersebar juga di sepanjang pantai timur Afrika sampai Mozambik, Madagaskar, India, Thailand, Indonesia, pantai tropis Australia, Jepang, Filipina, New Guinea,  dan Kaledonia Baru (Heemstra & Randall 1993 dalam Sutrisna, 2011).
Distribusi ikan ini di berbagai kepulauan dunia tersebut  tidak terlepas dari habitatnya di perairan yang berasosiasi dengan karang. Ikan kerapu macan banyak ditemukan pada  daerah yang  kaya terumbu karangnya  serta air yang jernih, sampai kedalaman  60 m.  Habitat  ini termasuk  perairan dangkal terumbu karang, dasar laut berbatu,  puncak laguna,  kanal karang serta tubir (bagian terjal terluar terumbu karang)  (Binohlan 2010 dalam Sutrisna, 2011).  Namun pada umumnya ikan ini hidup pada kedalaman 5-20 meter di semua tipe terumbu karang  dengan  kondisi yang baik. Kebanyakan  ikan  kerapu macan  memanfaatkan  liang/lubang/rongga di terumbu karang sebagai tempat berlindung  dan biasanya menetap (sedentary).  (Yeeting  et al.  2001 dalam Sutrisna, 2011). Parameter  ekologis yang cocok bagi pertumbuhan ikan kerapu  macan  yaitu temperatur 24-31o C, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH 7,8 –  8, perairan seperti ini, pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang (Lembaga Penelitian Undana, 2006 dalam Sutrisna, 2011).
Terkait kebiasaan makan ikan ini dihabitatnya  Heemstra dan Randal (1993) dalam Sutrisna (2011) menyatakan  ikan  kerapu macan  (Epinephelus fuscoguttatus  Forsskal, 1775)  merupakan  ikan predator pemangsa ikan-ikan lain, krustase dan cephalopoda.  Ikan ini lebih aktif mencari makan di kolom perairan pada waktu fajar dan senja hari,  dibandingkan dengan  saat malam/siang hari (Maryati  2004 dalam Sutrisna, 2011).


2.1.3  Tekhnik Budidaya Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
1.      Penebaran Benih
Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan padat tebar per waring adalah 200-300 ekor dengan melihat ukuran dari keramba. Benih yang datang siap tebar langsung diadaptasikan di atas KJA. Dalam penebaran benih adaptasi dilakukan sebagai berikut:
a.       Membuka box/Styrofoam di tempat yang agak gelap agar ikan tidak terkejut.
b.      Meletakkan kantong ikan yang belum terbuka terendam dalam air pada lokasi pemelihaan selama 10-20 menit agar suhu di dalam kantong dan di luar menjadi sama.
c.       Melepaskan ikan melalui bukaan kantong plastic dan ditampung di box semula.
d.      Aliri box/Styrofoam dengan air sebanyak 200-300%.
e.       Ikan siap ditebar ke dalam wadah pemeliharaan.
2.      Pemberian Pakan
Pakan yang digunakan adalah dari jenis ikan rucah dan pakan buatan. Pakan dipotong kecil-kecil sesuai dengan bukaan mulut benih dengan jumlah potongan yang dikonversikan dengan jumlah ikan. Beberapa hal yang penting dalam penanganan pakan adalah:
a.       Pakan ikan rucah yang diberikan harus dalam keadaan segar
b.      Sisa potongan pakan harus segera dibekukan ke dalam freezer
c.       Pakan yang beku harus dicairkan terlebih dahulu secara benar sebelum diberikan pada ikan
d.      Pellet tidak boleh disimpan lebih dari 3 bulan
e.       Pellet yang sudah berubah bau dan warnanya sebaiknya tidak diberikan pada ikan.
3.      Pengamatan Pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan ikan dilakukan dengan pengukuran dan sampling setiap satu bulan sekali. Di samping itu, untuk pengamatan pertumbuhan ikan juga perlu melakukan monitoring kondisi ikan yang berguna untuk mencegah timbulnya penyakit dan penyakit dapat ditanggulangi secara dini sebelum parah. Untuk memastikan bahwa ikan sehat, pengawasan dan monitoring yang dilakukan meliputi pengawasan pakan dan lingkungannya serta membuat record yang baik tentang ukuran ikan, model kematian, perlakuan yang diberikan.
4.      Pengontrolan Parasit dan Penyakit
Hama menurut Kordi, (2002) mengatakan bahwa hama merupakan organisme yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan budidaya di kolam. Hama pada budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) ada 3 macam yaitu : predator dan kompotitor.
Penyakit yang sering menyerang ikan kerapu ada dua macam yaitu penyakit infeksi dan penyakit non infeksi. Penyakit infeksi adalah penyakit yang dapat menginfeksi ikan kerapu berupa jamur, bakteri dan virus, sedangkan penyakit non infeksi adalah penyakit pada ikan kerapu yang disebabkan oleh ketidak sesuaian media pemeliharaan ikan kerapu yang ada di KJA.
5.      Pemeliharaan Wadah Budidaya
-          Keadaan keramba harus dikontrol setiap saat
-          Penggantian jaring keramba dilakukan minimal setiap bulan
-          Jaring keramba yang kotor merupakan media penempelan parasit dan penyakit dan mengganggu sirkulasi air
6.      Panen
Panen biasanya dilakukan dan disesuaikan dengan ukuran ikan yang dikehendaki atau permintaan pasar. Untuk mencapai ukuran 600-800 gram per ekor dibutuhkan waktu pemeliharaan selama 6-8 bulan dengan survival rate 80-90%. Panen dilakukan secara total di dalam satu kurungan, bisa juga dilakukan secara persial tergantung dari ukuran panen yang dikehendaki. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas ikan kerapu yang dibudidayakan dengan KJA, antara lain: penentuan waktu panen, peralatan panen, teknik panen, serta penanganan pasca panen. Watu panen, biasanya ditentukan oleh ukuran permintaan pasar. Ukuran super biasanya berukuran 500-1000 gram dan merupakan ukuran yang mempunyai nilai jual tinggi. Panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari sehingga dapat mengurangi strees ikan pada saat panen.
Peralatan yang digunakan pada saat panen, berupa: scoop, keranjang, timbangan, alat tulis, perahu, bak pengangkut dan peralatan aerasi. Teknik pemanenan yang dilakukan pada usaha budidaya ikan kerapu dalam KJA dengan metode panen selektif dan panen total. Panen selektif adalah pemanenan terhadap ikan yang sudah mencapai ukuran tertentu sesuai keinginan pasar terutama pada saat harga tinggi. Sedang panen total adalah pemanenan secara keseluruhan dan biasanya dilakukan bila permintaan pasar sangat besar atau ukuran ikan seluruhnya sudah memenuhi criteria jual.
2.2        Abalon (Holiotis squamata)
2.2.1  Klasifikasi dan Morfologi Abalon (Holiotis squamata)
Klasifikasi abalone (Dawmawan, 2004 dalam Lamuda, 2010) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Molusca
Class : Gastropoda
Sub Class : Archaegastropoda
Super Famly : Pleuromariaceae
Family : Holiotidae
Genus : Holiotis
Species : Holiotis squamata





Gambar 2. Morfologi Abalon (Holiotis squamata)
Ciri utama abalon memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas. Pada cangkang abalon (Holiotis squamata­), semakin besar ukuran abalon (Holiotis squamata­) maka semakin banyak lubang yang terdapat pada cangkang. Lubang-lubang tersebut tertata rapi mulai seperti spiral dari ujung depan hingga belakang cangkang. Sebagian lubang di bagian depannya terbuka dan berfungsi untuk pernafasan, pembuangan dan reproduksi (Darmawan, 2004 dalam Lamuda, 2010).
Abalon (Holiotis squamata­) mempunyai mulut dan sungut yang terletak di bagian bawah cangkang serta sepasang mata. Bentuk cangkang rata berbentuk telinga, tidak memiliki operculum. Bagian cangkang sebelah dalam berwarna putih mengkilap seperti perak. Bervariasinya warna cangkang abalon (Holiotis squamata­) adalah tergantung dari jenis rumput laut yang dimakan (Darmawan, 2004 dalam Lamuda, 2010).
Abalon (Holiotis squamata­) tergolong hewan yang berumah dua atau Diocis, yaitu betina dan jantan terpisah. Kematangan gonad induk jantan maupun betina berlangsung sepanjang tahun dengan puncak musim memijah terjadi pada bulan-bulan juli dan oktober. Telur yang siap dipijahkan berdiameter rata-rata 183 µm (Cholik et al, 2006 dalam Lamuda, 2010). Siklus hidup abalon dapat dilihat pada gambar berikut:







 





Gambar 3. Siklus hidup abalon (http://siklus+hidup+abalon .blogspot.com//2016)
Sifat-sifat khas filum ini secara singkat diterangkan di bawah ini (Romimohtarto et al, 2007 dalam Lamuda, 2010).
1.      Bentuk simetris bilateral, tetapi pada gastropoda  dan beberapa Chephalopoda, Visera dan cangkang tergulung seperti gelung rambut wanita. Ada tiga lapisan benih, tidak beruas, apitelium satu lapis, sebagian besar berbulu getar dan dengan kelenjar lendir.
2.      Tubuh biasanya pendek, terbungkus dalam mantel dorsal tipis yang mengeluarkan bahan pembentuk cangkang berupa satu, dua atau delapan bagian. Pada beberapa kelompok, cangkang terdapat di dalam tubuh, mengecil atau tidak sama sekali. Bagian kepala membesar, kecuali pada Schapopoda dan Pelecypoda. Kaki berotot ventral yang berubah menjadi alat merayap, meliang atau berenang.
3.      Saluran pencernaan lengkap, sering berbentuk U atau melingkar. Mulut dengan radula yang mempunyai deretan gigi kitin kecil melintang untuk mengerus makanannya, kecuali Pelecypoda yang tidak mempunyai radula, anus membuka kerongga mantel, kelenjar pencernaan besar sering mempunyai kelenjar ludah.
4.      System sirkulasi mencakup jantung sebelah punggung dengan satu atau dua Auricle atau rongga atas dan satu Ventricle atau rongga bawah. Biasanya di dalam rongga pericardial atau selaput jantung, sebuah aorta anterior, dan pembuluh-pembuluh lain.
5.      Pernafasan dilakukan oleh satu atau banyak insang yang disebut Ctenidium atau sebuah paru-paru di dalam rongga mantel, oleh mantel atau epidermis.
6.      Ekskresi oleh ginjal yang disebut Nefridia, terdiri dari satu atau dua saja, menghubungkan rongga selaput jantung dan pembuluh darah. Rongga tubuh menjadi mengecil menjadi rongga-rongga atau Nefridia, gonad dan selaput jantung.
7.      System saraf tipikal terdiri dari tiga pasang genglian (selebral di atas mulut, pedel di kaki, visceral dan saraf-saraf banyak yang dengan alat untuk menyentuh, membawa atau merasakan, bintik mata atau mata majemuk, dan statosista untuk keseimbangan.
8.      Kelamin biasanya terpisah, beberapa jenis hermaprodit sedikit yang protandrik, yakni sel keelamin jantan masak dan ditebar lebih dahulu sebelum sel kelamin betina masak. Gonad dua atau satu dengan saluran fertilisasi eksternal atau internal, kebanyakan ovipar, pembelahan telur tertentu (determinate) tidak sama dan total (pada Chephalopoda, Diskoidal), larva veliger (trochopore), atau stadia parasit (Unionidae) atau perkembangan langsung (Pulmonata, chepalopoda), tidak ada perkembangbiakan aseksual.








            Gambar 4. Bagian-bagian tubuh abalon (Http://oceanlink.island.net//2010)
2.2.2  Distribusi Abalon (Holiotis squamata)
Abalon ditemukan hampir di semua perairan dunia, hidup pada perairan pantai berbatu, paparan karang, dan bersembunyi di celah-celah karang dan lubang batu. Jenis-jenis abalon yang berukuran besar ditemukan hidup di daerah subtropis, sedangkan jenis-jenis yang berukuran kecil ditemukan di daerah tropis dan dingin (Imai, 1982 dalam Faturrahman, 2015).
Siput mata tujuh (Holiotis squamata) dapat ditemukan di perairan laut mulai dari Jepang Selatan sampai New South Wales, Australia, dari Andaman sampai New Caledonia, dan dari Thailand sampai Fiji. Di perairan Asia Tenggara, siput mata tujuh banyak ditemukan di wilayah Thailand, Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Di Indonesia, perairan Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan tipe perairan berbatu yang ditumbuhi mikro dan makro algae merupakan habitat yang baik untuk abalon, khususnya siput mata tujuh (Haliotis squamata) (Setyono, 2008 dalam Faturrahman, 2015).
2.2.3  Tekhnik Pembesaran Abalon (Haliotis squamata)
1.      Persiapan Wadah Pembesaran
Wadah permbesaran benih harus dipersiapkan dengan baik. Bak yang digunakan harus menahan air dan tidak bocor. Tujuan dari persiapan bak adalah untuk menciptakan keadaan yang baik, memudahkan pengontrolan, serta mengatasi gangguan-gangguan yang mungkin timbul pada saat pembesaran nanti. Kegiatan yang dilakukan adalah pemasangan saringan pada pintu masuk dan pengeluaran air.
Adapun betnuk dan volume bak untuk penebarab benih abalon (Holiotis squamata) dapat berupa fiberglass ukuran 85 x 270 x 45 cm bervolume 1 m3 atau bek semen (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2010 dalam Lamuda, 2010). Pembesaran juvenil abalone (Holiotis squamata) dilakukan dalam bak beton ukuran 2 x 3 x 1 m3 dilengkapi dengan system aerasi dan system air mengalir. Di dalam bak tersebut ditempatkan wadah berupa waring berukuran 50 x 50 x 50 cm, tiap wadah diisi juvenile abalone (Holiotis squamata) dengan ukuran panjang cangkang 15-20 mm dengan kepadatan 100-300 ekor setiap wadah.
2.      Penebaran Abalon (Holiotis squamata)
Juvenile abalone (Holiotis squamata) ditebar dengan kepadatan 75-100 ind/liter. Pada minggu pertama pemeliharaan belum dilakukan pergantian air, kemuadian mulai hari ke-8 dilakukan sistem air mengalir. Air laut yang digunakan bersalinitas sekitar 32-35 ppt yang telah melalui seng filter (Stikcney, 2003 dalam Lamuda, 2010).
Pemeliharaan selanjutnya, juvenile abalon (Holiotis squamata) muda dimasukkan dalam waring (keranjang-keranjang plastic) dan diletakkan dalam bak pemeliharaan yang terbuat dari beton. Shelter buatan yang digunakan terbuat dari potongan pipa PVC dan diletakkan di setiap keranjang pemeliharaan (Minh, 2004 dalam Lamuda, 2010).
3.      Pemberian Pakan
Pakan atau makanan merupakan unsur yang sangat penting dalam usaha pembesaran abalon (Holiotis squamata). Zat makanan terpenting yang diperlukan abalon (Holiotis squamata) untuk pertumbuhan adalah zat protein. Jumlah dan kualitas protein sangat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan abalon (Holiotis squamata) karena protein bagi abalon (Holiotis squamata) merupakan sumber energy yang paling penting (Amonimity, 2006 dalam Lamuda, 2010).
Pertumbuhan abalon (Holiotis squamata) dapat dipercepat dengan pemberian pakan yang mengandung protein tinggi (30-40%) karena protein merupakan bagian dari daging abalon (Holiotis squamata) tersebut. Zat protein yang digunakan hewan untuk memelihara tubuh, pembentukan jaringan tubuh dan pergantian jaringan tubuh yang rusak.
Pemberian jumlah pakan yang kurang dapat menyebabkan pertumbuhan abalon (Holiotis squamata) itu jadi lambat. Jika pakan yang diberikan berlebihan dan tidak habis dikonsumsi oleh abalon (Holiotis squamata), maka dapat menurunkan kualitas air dan pemborosan. Jumlah pakan yang diberikan adalah berkisar 4-6% dari berat tubuh abalon (Holiotis squamata) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2010 dalam Lamuda, 2010).
Adapun jenis makanan yang diberikan pada abalon (Holiotis squamata) adalah jenis rumput laut atau microalga seperti Achanthopora sp, Gracillaria sp, dan Ulva sp. Yang mempunyai nilai protein yang sangat tinggi. Jenis rumput laut ini selain murah dan mudah di dapat dan juga mempunyai nilai protein yang sangat tinggi.
4.      Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam operasional pembesaran abalon (Holiotis squamata) khususnya dalam pemeliharaan larva, maka kualitas air perlu dijaga agar tetap dalam kondisi prima.
Menurut Fallu (2005) dalam Lamuda (2010), beberapa cara untuk meningkatkan kualitas air dalam pembesaran abalon (Holiotis squamata) diantaranya membuang semua kotoran dari media budidaya seperti bangkai abalon (Holiotis squamata)ataupun sisa rumput laut yang tidak termakan. Menerapkan sistem air mengalir dalam wadah budidaya seperti halnya di lautan dimana kualitas air selalu dalam kondisi sempurna. Beberapa parameter kualitas air yang sangat berpengaruh dalam budidaya abalon (Holiotis squamata) antara lain:
a)      Suhu
Penyebaran spesies ini juga dipengaruhi oleh suhu perairan, dimana populasi abalon (Holiotis squamata) banyak ditemui saat musim panas dengan suhu lebih dari 20o C. stadia larva juga banyak dipengaruhi suhu perairan tempat hidup. Sebagai contoh, suhu yang diperlukan mulai dari menetas sampai stadia penempelan (3-5 hari) adalah 20o C. sedangkan apabila waktu yang dibutuhkan berkisar 60-70 jam, maka suhu yang diperlukan berkisar 17,2-12,2o C (Hayashi, 1999 dalam Lamuda, 2010).
Menurut fallu (2005) dalam Lamuda (2010), suhu yang berlebihan dapat membuat abalon (Holiotis squamata) stress dimana larva akan tumbuh cepat apabila mempunyai suhu optimum. Jika berada di bawah suhu optimal maka pertumbuhannya akan lambat, namun bila suhu berada 2 s/d 3o C di atas suhu optimum akan berakibat fatal bahkan dapat menyebabkan kematian.
Factor lain yang mempengaruhi pertumbuhan pada system budidaya antara lain suhu, kepadatan (densitas), periode penyinaran, salinitas, oksigen, serta pasokan pakan. Suhu perairan yang stabil meningkatkan pertumbuhan beberapa spesies abalon (Holiotis squamata). Holiotis tuberculata tumbuh 18 mm/tahun pada suhu perairan 20o C. Holiotis fulgens memperlihatkan peningkatan pertumbuhan pada suhu perairan di atas 20oC (Stickney, 2003 dalam Lamuda, 2010).
Menurut peck (1999) dalam Lamuda, (2010), suhu berkisar 8,5-9,0 o C merupakan batas suhu terendah bagi kehidupan  Holiotis tuberculata. Apabila suhu lebih rendah dari batas tersebut maka abalon (Holiotis squamata) akan sulit untuk menyerap makanan dan pertumbuhannya akan menjadi lambat. Berdasarkan penelitian di Laboratorium bahwa pertumbuhan maksimum abalon (Holiotis squamata) berada pada kisaran suhu 20o C.
Suhu perairan berada pada kisaran lebih dari 20oC maka tingkat pertumbuhan abalon (Holiotis squamata) akan lamban disebabkan oleh nafsu makan abalon (Holiotis squamata) tersebut menurun dan dapat menyebabkan tingkat kualitas abalone (Holiotis squamata) akan menjadi kurang baik (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2010 dalam Lamuda, 2010).
b)      Salinitas
Abalon (Holiotis squamata) banyak ditemukan di perairan yang bersalinitas tinggi seperti air laut yang berkisar antara 30-35 ‰. Sebagai contoh Holiotis tuberculata tidak dapat hidup pada perairan payau (Fretter dan Graham, 1998 dalam Lamuda, 2010). Hal ini juga dinyatakan Jeffreys (19977) dalam  Lamuda (2010) bahwa Holiotis tuberculata biasanya mudah terserang penyakit pada salinitas rendah yaitu di bawah 14‰.
Kisaran salinitas normal yang cocok untuk pertumbuhan abalon (Holiotis squamata) yaitu berkisar 33-35‰ dan pertumbuhan hewan laut tidak optimal pada salinitas di atas 35o‰ (Fallu, 2005 dalam Lamuda, 3010).
Menurut Stickney (2003) dalam Lamuda (2010), pertumbuhan optimum abalon (Holiotis squamata) tergantung pada kualitas air serta spesies, dan salinitas harus selalu dijaga pada kisaran 32 dan 35 ‰.
Berdasarkan penelitian Peck (1999) dalam Lamunsa (2010) di laboratorium bahwa tingkat kelangsungan hidup abalon (Holiotis squamata) sangan kecil pada salinitas mencapai 14‰. Sedangkan pertumbuhannya baik apabila salinitas berkisar 24‰.


c)      Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia. Pada perairan yang memiliki pH rendah banyak yang ditemukan senyawa ammonium yang tidak toksit (innocuous). Namun, pada saat alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammoniak yang tidak terionisasi (unionized) dan bersifat toksit. Amoniak yang tidak terionisasi ini lebih mudah terserap dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan ammonium (Tebbut, 1998 dalam Lamuda, 2010).
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH sekitar 7-0-8,5 (Novotny dan Olem, 2000 dalam Lamuda, 2010). Sedangkan menurut Stickney (2003) dalam Lamuda (2010), abalone (Holiotis squamata) memerlukan kualitas air yang bagus untuk pertumbuhannya dibutuhkan air laut yang bersih. Derajar keasaman atau pH yang diperlukan abalon (Holiotis squamata) untuk tumbuh optimal yaitu sekitar 8,0.
d)     Pengelolaan Kesehatan
Salah satu faktor penting dalam pembesaran adalah mengurangi stress pada biota budidaya. Pada budidaya abalon (Holiotis squamata) hal yang harus diperhatikan antara lain tersedianya sumber air yang bersih, kadar oksigen terlarut cukup, suhu stabil, bebas amoniak dan bebas beracun lainnya. Pakan yang berkualitas juga perlu diberikan dan ditambhakan secara rutin. Pakan rumput laut yang sudah terlalu lama dan tidak segar. Bak pembesaran harus selalu dibersihkan untuk mencegah pertumbuhan Copepoda, nematode serta bakteri lain yang membahayakan pengontrolan bak pembesaran perlu dicek agar tidak ada organisme pengganggu yang menempel dan dapat mengganggu sirkulasi air (Stickney, 2003 dalam Lamuda, 2010).
e)      Penanggulangan Hama
Predator merupakan salah satu kendala dalam budidaya dan pembesaran abalon (Holiotis squamata). Juvenile yang ditebar pada KJA (Keramba Jaring apung) memiliki beberapa jenis predator seperti bintang laut, kepiting, ikan serta moluska. Predator-predator ini merupakan penyebab utama kematian dalam budidaya abalone (Holiotis squamata) di Korea yang mencapai angka lebih dari 80% (Yoo, 2003 dalam Lamuda, 2010). Penanggulangan hama dilakukan dengan cara sebelum pakan diberikan, terlebih dahulu pakan direndam dengan air tawar selama 10-15 menit agar hama yang terdapat dalam rumput laut tersebut mati.
2.3        Rumput Laut (Eucheuma cottonii)
2.3.1  Morfologi (Eucheuma cottonii)
Dari segi morfologi, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus belaka. Morfologi Eucheuma cottonii adalah, permukaan licin, Cartilogeneus, Thalli (kerangka tubuh tumbuhan) bulat silindris atau gepeng, warnanya merah, abu-abu, hijau kuning, dan hijau, bercabang berselang tidak teratur, Dichotomous atau trikhoyomous, memiliki benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri atau spines, dan substansil thalli ”gelatinus” dan “kartilagenus” (lunak seperti tulang rawan). Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena factor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 1998 dalam Hamid, 2009).
Penampilan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke arah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan cirri khusus mengarah kearah datangnya sina matahari (Atmadja, 1996 dalam Hamid, 2009).
2.3.2  Klasifikasi Eucheuma cottonii
Dawes (1981) dalam Mamang (2008), menjelaskan sistematika klasifikasi Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut :
Divisio : Thallophyta
Filum : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigarnitales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cattonii



 





Gambar 5. Rumput laut (Eucheuma cottonii)
(sumber : Rachimin R, Budidaya Rumput Laut, 2014 dalam Listiyana, 2014)
Alga laut termasuk dalam kelompok tumbuhan yang dikenal sebagai ganggang laut. Alga laut berbeda dengan tanaman tingkat tinggi. Struktur alga laut secara keseluruhan merupakan batang yang disebut  thallus, tidak memiliki akar sejati, batang dan daun seperti pada tanaman tingkat tinggi. Bentuk akar alga laut disebut holdfast, yang berfungsi sebagai alat untuk melekat pada dasar perairan. Bagian yang menyerupai daun pada alga laut tertentu seperti Sargassum sp. disebut dengan blade. Fungsi utama blade adalah menyediakan permukaan yang luas untuk penyerapan sinar matahari dalam proses fotosintesis (Chapman 1970 dalam Mamang, 2008 ).
2.3.3  Reproduksi Rumput Laut
Reproduksi rumput laut umumnya dilakukan melalui tiga cara yaitu secara vegetatif (seksual dengan gamet), generatif (aseksual dengan spora) dan pembelahan sel. Secara generatif terjadi dengan adanya peleburan antara gamet-gamet yang berbeda yaitu antara spermatozoid yang dihasilkan dalam antheridia dengan sel telur atau ovum yang dihasilkan dalam oogenium. Reproduksi secara fragmentasi terjadi pada alga uniseluler yaitu dengan cara pembelahan sel sedangkan pada alga multiseluler, thallus akan patah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil kemudian tiap bagian tersebut akan tumbuh menjadi individu baru. Reproduksi secara vegetatif yaitu  mula- mula tanaman tetrasporofit yang hidup bebas (diploid) sel-selnya menjalani proses meiosis. Tetraspora kemudian dilepaskan dan berkembang menjadi gametofit jantan dan betina yang haploid. Gametofit jantan yang telah dewasa menghasilkan sel-sel spermatangial yang nantinya menjadi sel spermatangia, sedangkan gametofit betina menghasilkan sel khusus yang disebut karpogonia yang dihasilkan dari cabang-cabang karpogonial.Proses fertilisasi terjadi setelah spermatium mencapai trikogin dan karpogonium, meleburkan intinya dan bersatu dengan inti telur. Zygot yang dihasilkan mengalami pembelahan menjadi sel-sel yang bersifat diploid. Kelompok sel yang diploid tersebut dinamakan karposporofit. Karposporofit dapat dianggap sebagai gametofit betina karena mengambil makanan darinya. Inti-inti diploid tersebut dapat terbawa ke sel-sel lain dalam gametofit betina melalu filamen coblast. Akibatnya dalam satu kali fertilisasi dapat terbentuk karposporofit diploid yang akan tumbuh menjadi tetrasporofit ( Dawes, 1981 dalam Mamang, 2008)
Menurut Kadi dan Atmadja (1988) dalam Mamang (2008) menyatakan bahwa berbagai faktor-faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rumput laut  seperti suhu, salinitas, cahaya, gerakan air (arus) dan unsur hara (nitrat dan fosfat).


2.3.4  Habitat Rumput Laut
Dawson (1966) dalam Mamang (2008) menyatakan, bahwa pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir. Sedangkan substrat yang paling umum tempat hidup rumput laut adalah kapur atau bentuk lain dari kalsium karbonat dimana bahan ini memiliki tingkat kesuburan yang tinggi, mudah tererosi dan warna yang jelas sehingga sinar matahari terpantul.
Mubarak dan Wahyuni (1981) dalam Mamang (2008) juga mengatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut. Eucheuma sp. kebanyakan terdapat di daerah (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam oleh air (subtidal) dengan melekat pada substrat dasar perairan yang berupa batu karang mati, batu karang hidup, batu gamping atau  cangkang molusca. Umumnya Eucheuma sp. tumbuh dengan baik dengan daerah pantai terumbu karena persyaratan untuk pertumbuhan banyak terpenuhi seperti kedalaman, pencahayaan, substrat dan pergerakan air (Kadi dan Atmadja, 1988 dalam Mamang, 2008).
Doty (1985) dalam Mamang (2008) menyebutkan bahwa jenis Eucheuma sp. menyukai perairan terumbu karang karena jernih dan kaya akan cahaya.



2.3.5  Budidaya Rumput Laut
Seiring dengan kebutuhan rumput laut yang semakin meningkat, maka cara terbaik untuk tidak selalu menggantungkan pada persediaan di alam adalah dengan kegiatan budidaya rumput laut.  Budidaya adalah langkah yang tepat alam usaha meningkatkan buidaya rumput laut, sehingga diharapkan suplai dapat lebih teratur baik dalam jumlah maupun mutunya.
Usaha budidaya laut, termasuk didalamnya adalah usaha budidaya rumput  laut didukung oleh keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep.2/MEN/2004 Tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan, sebagai Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan. Dalam Keputusan Menteri tersebut yang dimaksudkan dengan usaha pembudidayaan ikan meliputi kegiatan pembenihan, pembesaran, penanganan dan pengelolaan yang dapat dilakukan secara terpisah maupun secara terpadu (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2005 dalam  Khasanah, 2013).
Menurut  Restiana  dan Diana (2009) dalam  Khasanah (2013), peluang budidaya rumput laut didorong beberapa faktor :
1        Rumput Laut yang dikeringkan dengan proses yang berbeda-beda mempunyai komposisi nutrisi yang berbeda pula.
2        Rumput laut banyak mengandung zat-zat nutrisi penting yang diperlukan bagi tubuh manusia, seperti protein, karbohidrat, energi dan serat kasar.
3        Kandungan lemaknya yang rendah dan serat kasarnya yang cukup tinggi menyebabkan rumput laut baik untuk dikonsumsi sehari-hari. Faktor utama penunjang keberhasilan budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi untuk budidaya. Pertumbuhan  rumput laut ditentukan kondisi ekologi setempat. Penentuan lokasi yang telah ditetapkan harus sesuai dengan metode yang akan digunakan. Penentuan lokasi yang salah akan berakibat fatal bagi usaha yang dilakukan (Winarno, 1990 dalam  Khasanah, 2013). Dalam perkembangan budidaya  rumput laut dapat dilakukan beberapa metode. Rumput laut jenis  Eucheuma cottonii dapat dibudidayakan dengan 5 metode yaitu metode lepas dasar, metode rakit apung, metode jalur (kombinasi), dan metode kantong jaring (Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, 2005 dalam  Khasanah, 2013).
2.3.6  Kondisi Fisika-Kimia Perairan
Kondisi perairan sangat menentukan keberhasilan budidaya rumput laut. Pemilihan perairan yang tepat akan berdampak pada pertumbuhan rumput laut yang baik, begitupun sebaliknya. Berikut beberapa faktor fisika-kimia yang harus diperhatikan dalam budidaya rumput laut :
1.      Gelombang
Gelombang atau ombak yang timbul akibat adanya tiupan angin di atas permukaan perairan. Nybakken (1992) dalam  Khasanah (2013) mengemukakan bahwa ombak berperan langsung dalam proses difusi gas-gas di atmosfer ke perairan, sehingga perairan tidak akan kekurangan gas-gas esensial terutama oksigen.
Gelombang atau ombak sangat berpengaruh dalam kegiatan budidaya rumput laut. Menurut Aslan (1991) dalam  Khasanah (2013) untuk kegiatan budidaya rumput laut tinggi ombak tidak lebih dari 40 cm. Ombak yang terlalu besar dapat menyebabkan kekeruhan perairan sehingga dapat menghambat fotosintesis, selain itu ombak yang besar dapat menyulitkan tanaman untuk menyerap nutrisi sehingga dapat menghambat pertumbuhan.
Kerugian yang ditimbulkan bila ombak cukup deras menurut Aslan (1991) dalam  Khasanah (2013) yaitu :
a.       Tanaman kesulitan menyerap nutrisi (makan) yang berguna bagi
b.      Pertumbuhan Perairan akan keruh sehingga akan menghalangi fotointesis
c.       Thallus dari rumput laut akan patah
d.      Ombak yang tinggi akan menghalangi penanganan tanaman, baik sebelum pemanenan maupun setelah pemanenan, perawatan dan saat panen
2.      Arus
Menurut Nybakken (1992) dalam  Khasanah (2013) arus adalah gerakan air laut yang mengakibatkan perpindahan massa air secara horizontal. Sedangkan Nontji (1993) dalam  Khasanah (2013) mengatakan bahwa arus merupakan gerak mengalir suatu massa air yang disebabkan beberapa faktor yaitu, oleh tiupan angin, adanya perubahan densitas air laut, adanya gerakan gelombang panjang, serta dapat pula disebabkan oleh pasang surut.  Oleh karena itu, arus mempunyai pengaruh langsung dalam penyebaran organisme hidup dari satu tempat ke tempat .
Manfaat arus adalah menyuplai nutrien, melarutkan oksigen, menyebarkan plankton, dan menghilangkan lumpur, detritus dan produk eksresi biota laut (Prud’homme van Reine and Trono, 2001 dalam  Khasanah, 2013). Kuat maupun lemahnya arus berpengaruh dalam kegiatan budidaya rumput laut (Dahuri, 2003 dalam  Khasanah, 2013).
Arus merupakan faktor yang harus diutamakan dalam pemilihan lokasi  budidaya rumput laut karena arus akan mempengaruhi sedimentasi dalam perairan, yang pada akhirnya mempengaruhi cahaya (Doty, 1985 dalam  Khasanah, 2013). Menurut Sidjabat (1976) dalam  Khasanah (2013) proses pertukaran oksigen antara udara yang terjadi pada saat turbulensi karena adanya arus. Adanya ketersediaan oksigen yang cukup dalam perairan maka rumput laut dapat melakukan respirasi dengan baik secara optimal pada malam hari.
Arus dianggap penting diantara faktor-faktor oseanografi lainya karena massa air dapat menjadi homogen dan pengangkutan zat-zat hara berlangsung dengan baik dan lancar. Pergerakan air dapat menghalangi butiran-butiran sedimen dan  epifit  pada  thallus  sehingga tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Menurut Indriani dan Sumiarsih (1991) dalam  Khasanah (2013) arus yang baik untuk budidaya rumput laut berkisar antara 0,2    0,4 m/detik, bila arus yang tinggi dapat dimungkinkan terjadi kerusakan tanaman budidaya, seperti dapat patah, robek, ataupun terlepas dari subtratnya. Selain itu penyerapan zat hara akan terhambat karena belum sempat terserap.
3.      Total Solid Suspended (TSS)
Total Solid Suspended  (TSS) merupakan  limbah pertanian dan tambak organik dan anorganik yang berasal dari pengikisan tebing dan dasar sungai, buangan industri, bangunan rumah tangga dan tanah pertanian yang kesemuanya dapat terakumulasi dalam perairan. Padatan suspensi yang tinggi dapat mengganggu proses fotosintesis rumput laut disebabkan karena pertikel-partikel tersebut dapat menutupi thallus dari rumput laut, sehingga dapat menghalangi cahaya matahari yang berperan membantu fotosintesis. Padatan tersuspensi yang baik untuk usaha budidaya laut adalah 5-25 ppm (KLH,1988 dalam  Khasanah, 2013).
Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan yang tersuspensi yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0.45 µm. Keberadaan muatan padatan tersuspensi di perairan dapat berupa pasir, lumpur, tanah liat, koloid serta bahan-bahan organik seperti plankton dan organisme lain (Effendi, 2003 dalam  Khasanah, 2013). Konsentrasi dan komposisi MPT bervariasi secara temporal dan spatial tergantung pada faktor-faktor fisik yang mempengaruhi distribusi MPT terutama adalah pola sirkulasi air, deposis, dan tersuspensi sedimen.  Namun faktor yang paling dominan adalah sirkulasi air (Wardjan, 2005 dalam  Khasanah, 2013).
4.      salinitas
Salinitas menurut Nybakken (1992) adalah garam-garam terlarut dalam satu kilogram air laut dan dinyatakan dalam satuan perseribu. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam air laut terlarut macam-macam garam terutama NaCl, selain itu terdapat pula garam-garam magnesium, kalium dan sebagainya (Nontji, 1993 dalam  Khasanah, 2013). Kebanyakan makroalga atau rumput laut mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan salinitas  (Prud’homme van Reine and  Trono, 2001 dalam  Khasanah, 2013).  Begitu pula dengan spesies Eucheuma cottonii atau K. alvarezii merupakan jenis rumput laut yang bersifat  stenohaline. Tumbuhan ini tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas dapat berpengaruh terhadap proses osmoregulasi pada tumbuhan rumput laut (Aslan, 1991 dalam  Khasanah, 2013). Salinitas yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Selanjutnya Aslan (1991) dalam  Khasanah (2013) merekomendasikan salinitas yang cocok untuk budidaya rumput laut jenis ini berkisar antara 30 – 37 ‰.
5.      Suhu
Suhu merupakan  salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses fisiologis dan penyebaran organisme laut (Nybakken, 1992;  Tait and Dipper 1998 dalam  Khasanah, 2013). Suhu perairan bervariasi secara horizontal sesuai dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman perairan (Lobban and Harrison, 1997 dalam  Khasanah, 2013).
Suhu air permukaan perairan di Indonesia umumnya berkisar antara 28  – 310 C. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya matahari. Oleh karena itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pola arus musiman (Nontji, 1993 dalam  Khasanah, 2013).
Suhu merupakan salah satu faktor untuk menentukan kelayakan lokasi budidaya rumput laut. Menurut Aslan (1991) dalam  Khasanah (2013) suhu yang baik untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii berkisar antara 270C – 300C.
6.      Nitrat (NO3)
Nitrat  (NO3)  merupakan  bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien bagi pertumbuhan  rumput laut. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa  ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan  (Kramer  et al., 1994 dalam  Khasanah, 2013). Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi  aerob. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0    5 mg/l, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1    5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5 – 50 mg/L (Effendi, 2003 dalam  Khasanah, 2013).
Kadar nitrat dan  fosfat  mempengaruhi reproduksi alga bila zat tersebut melimpah di perairan. Menurut Aslan (1991) dalam  Khasanah (2013) kadar nitrat dan fosfat di perairan akan berpengaruh terhadap kesuburan gametofit alga. Setiap jenis  alga, untuk keperluan pertumbuhannya memerlukan kandungan nitrat yang berbeda-beda. Agar fitoplankton dapat tumbuh optimal diperlukan kandungan nitrat antara 0.9    3.5 ppm, tetapi apabila kandungan nitrat di bawah 0.1 atau di atas 4.5 ppm maka nitrat menjadi faktor pembatas (Sulistijo, 1996 dalam  Khasanah, 2013).
7.      Fosfat
Tumbuhan yang berada di perairan memerlukan fosfor (P) sebagai ion fosfat (PO4-) untuk pertumbuhan yang disebut dengan nutrien atau unsur hara makro. Sumber alami  fosfat  di perairan adalah pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan-bahan organik. Sumber antropogenik fosfor berasal dari limbah industri, domestik, dan limbah pertanian (Hutagalung dan Rozak, 1997 dalam  Khasanah, 2013). Ernanto (1994) dalam  Khasanah (2013) mengemukakan pembagian tipe  perairan berdasarkan kandungan fosfat di perairan yaitu :
1)      Perairan yang tingkat kesuburan rendah memiliki kandungan  fosfat  kurang  dari 0.02 ppm. Perairan yang tingkat kesuburan cukup subur memiliki kandungan  fosfat 0.021 ppm sampai 0.05 ppm.
2)      Perairan dengan tingkat kesuburan yang baik memiliki kandungan  fosfat 0.051 ppm sampai 1.00 ppm.
Fosfat  dapat menjadi faktor pembatas baik secara temporal maupun spasial karena sumber fosfat yang sedikit di perairan. Kisaran fosfat yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0.051 ppm    1.00 ppm (Indriani dan Sumiarsih, 1991  dalam  Khasanah, 2013).
8.      Derajat Keasaman (pH)
Jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan suatu tolak ukur keasaman. Derajat keasaman menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut  dan dinyatakan sebagai konsentasi ion hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu atau pH =  -  log (H+). Kosentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik (Nybakken, 1992 dalam  Khasanah, 2013).
Derajat keasaman (pH) adalah ukuran tentang besarnya kosentrasi ion hidrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau  basah  dalam reaksinya (Wardoyo, 1975 dalam  Khasanah, 2013). Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan masih tergantung pada faKtor-faktor lain.
Menurut Aslan (1991), kisaran pH yang sesuai untuk budidaya rumput  laut adalah yang cenderung  basah, pH yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut adalah berkisar antara 7,0 – 8,5.
9.      Kedalaman
Kedalaman suatu perairan berhubungan erat dengan produktivitas, suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas, kandungan oksigen, serta unsur hara (Hutabarat dan Evans, 2008 dalam  Khasanah, 2013). Kedalaman perairan sangat berpengaruh terhadap biota yang dibudidayakan. Hal ini berhubungan dengan tekanan yang yang diterima di dalam air, sebab tekanan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman (Nybakken, 1992 dalam  Khasanah, 2013).
Kedalaman menjadi faktor penentuan lokasi budidaya rumput laut karena kedalaman berhubungan dengan daya tembus sinar matahari yang berpengaruh penting pada pertumbuhan. Menurut Indriani dan Sumiarsih (1991) dalam  Khasanah (2013) kedalaman perairan yang ideal untuk budidaya rumput laut jenis  Eucheuma cottonii  adalah sekitar 0.3 –  0.6 meter pada surut terendah (lokasi yang berarus kencang) untuk budidaya metode lepas dasar dan 2 – 5 meter untuk metode rakit apung, metode rawai dan metode sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.


10.  Kecerahan
Banyak sedikitnya sinar matahari yang menembus ke dalam perairan sangat bergantung dari kecerahan air. Semakin cerah perairan tersebut akan semakin dalam cahaya yang menembus ke dalam perairan. Penetrasi cahaya menjadi rendah ketika tingginya kandungan partikel tersuspensi di perairan dekat pantai, akibat aktivitas pasang surut dan juga tingkat kedalaman (Hutabarat dan Evans, 2008 dalam  Khasanah, 2013).
Berkas cahaya yang jatuh ke permukaan air, sebagiannya akan dipantulkan dan sebagian lagi akan diteruskan ke dalam air. Jumlah cahaya yang dipantulkan  tergantung pada sudut jatuh dari sinar dan keadaan perairan. Air yang senantiasa  bergerak menyebabkan pantulan sinar menyebar kesegala arah. Sinar yang  melewati media air sebagian diabsorbsi dan sebagian dipencarkan (scatter)  (Sidjabat,  1976 dalam  Khasanah, 2013). Rumput laut membutuhkan cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis, kurangnya cahaya yang masuk akan berpengaruh pada proses fotosintesis (Lobban and Harrison, 1997 dalam  Khasanah, 2013).
11.  Pasang Surut
Pasang surut adalah gerak naik turunnya muka air laut secara berirama yang disebabkan adanya gaya tarik bulan dan matahari (Nybakken, 1992 dalam  Khasanah, 2013). Pasang surut tidak berpengaruh secara langsung dalam kegiatan budidaya namun pasut berpengaruh dalam penentuan kedalaman suatu perairan. Penentuan ini dapat mencegah terjadinya kekeringan pada daerah budidaya. Dalam menentukan lokasi budidaya rumput laut, lokasi yang dipilih sebaiknya pada waktu surut masih digenangi air sedalam 30-60 cm. Keuntungan dari genangan air tersebut yaitu penyerapan makanan dapat berlangsung terus menerus  dan tanaman terhindar dari kerusakan akibat sengatan sinar matahari langsung (Winarno, 1990 dalam  Khasanah, 2013).
12.  Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen  =DO) dibutuhkan oleh semua jasad  hidup untuk  pernapasan, proses metabolisme atau  pertukaran zat yang kemudian menghasilkan  energi untuk pertumbuhan dan pembiakan.  Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk  oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen  dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut  (Salmin, 2000 dalam  Khasanah, 2013).  Oksigen terlarut adalah kandungan oksigen yang terlarut dalam perairan yang merupakan suatu komponen utama bagi metabolisme organisme perairan yang digunakan untuk pertumbuhan, reproduksi, dan kesuburan alga (Lobban and Harrison, 1997 dalam  Khasanah, 2013).
Faktor-faktor yang menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi (khusus pada malam hari), adanya lapisan minyak di atas permukaan laut dan masuknya limbah  organik yang mudah terurai ke lingkungan laut.  Untuk pertumbuhan rumput laut jenis  Eucheuma cottonii dibutuhkan jumlah oksigen terlarut dalam perairan sebanyak 2    4 ppm, tetapi pertumbuhan lebih baik jika oksigen terlarut berada di atas 4 ppm (Indriani  dan Sumiarsih, 1991 dalam  Khasanah, 2013).
BAB III
PENUTUP
3.1        Kesimpulan
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) memiliki beberapa keunggulan yaitu memiliki harga jual tinggi baik di pasar local maupun pasar ekspor.
Abalon (Holiotis squamata­) tergolong hewan yang berumah dua atau Diocis, yaitu betina dan jantan terpisah. Ciri utama abalon memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas. Pada cangkang abalon (Holiotis squamata­), semakin besar ukuran abalon (Holiotis squamata­) maka semakin banyak lubang yang terdapat pada cangkang.
Alga laut termasuk dalam kelompok tumbuhan yang dikenal sebagai ganggang laut. Struktur alga laut secara keseluruhan merupakan batang yang disebut  thallus, tidak memiliki akar sejati, batang dan daun seperti pada tanaman tingkat tinggi.
3.2        Saran
Melihat harga dan kualitas perikanan laut yang bernilai ekonomis tinggi maka perlu dilakukan kegiatan untuk mengembangkan budidaya laut khususnya ikan atau non ikan seperti, ikan kerapu, Abalon (Holiotis squamata) dan rumput laut (Eucheuma cottonii).



DAFTAR PUSTAKA
Faturrahman, I. S. Rohyani, Sukiman. 2015. Budidaya Abalon-Lobster Sistem Multi Tropic Sea Farming Dengan Metode Keramba Jaring Apung. Portal Creative. Gomong Mataram NTB
Hamid, A. 2009. Pengaruh Berat Bibit Awal dengan Metode Apung (Floating method) terhadap Persentase Pertumbuhan Harian Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri (UIN). Maulanan Malik Ibrahim
Khasanah, U. 2013. Analisis Kesesuaian Untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii Di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar
Lamuda, A. 2010. Teknik Pembesaran Abalon (Holiotis squamata) di Bali Besar Riset Perikanan Budidaya laut (BBRPBL) Gondol-Bali. Program Studi D-111 Budidaya Perikanan.Jurusan Teknologi Perikanan. Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian. Universitas Negeri Gorontalo.
Mamang, N. 2008. Laju pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Asal thallus Terhadap Bobot Bibit di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulteng. Skripsi. Program Study Ilmu Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Nurfajrie, Suminto, S. Rejeki. 2014. Pemanfaatan Berbagai Jenis Makroalga Untuk Pertumbuhan Abalon (Holiotis squamata) Dalam Budidaya Pembesaran.Jurnal Vol 3 No 4.
Ramadhani, B. V. 2010. Manajemen Pemeliharaan Benih Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Balai Budidaya Air Payau Situbondo Propinsi Jawa Timur. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Aerlangga. Surabaya
Sari, T. W. 2011. Tekhnik Pembenihan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) da Balai Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Kabupaten Singaraja, Propinsi Bali. Fakultas Perikanan dan kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya
Setianto, D. Usaha Budidaya Ikan Kerapu. Pustaka Baru Press. Bantul, Yogyakarta
Sutrisna, A. 2011. Pertumbuhan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus Forsskal, 1775) Di Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar