Publish: Suryaningrat Ana
KOMODITAS
BUDIDAYA PERIKANAN LAUT (IKAN DAN NON IKAN)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Saat ini perikanan di
Indonesia mulai dapat berkembang setelah mengalami keterpurukan akibat serangan
hama penyakit, terutama perikanan budidaya yang semakin lama semakin diminati
oleh banyak kalangan dan memiliki andil yang cukup besar dalam upaya peningkatan
pendapatan. Budidaya perikanan merupakan salah satu sumber devisa Negara yang
cukup besar dan menjanjikan. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan
pembangunan di bidang sub sector perikanan, yaitu dengan pembangunan budidaya
ikan air tawar, payau, maupun laut (Suyoto dan Mustahan, 2002 dalam Ramadani, 2010).
Salah satu usaha
budidaya yang sedang berkembang ialah usaha budidaya perikanan laut. Ikan
kerapu (Epinephelus sp), abalon (Holiotis squamata), dan rumput laut (Eucheuma cottonii). Merupakan komoditas
sumber daya perairan yang memiliki nilai ekonomis penting di Indonesia, baik
dipasarkan domestic maupun pasar internasional, dan selain itu nilai jualnya
cukup tinggi.
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) memiliki
beberapa keunggulan yaitu memiliki harga jual tinggi baik di pasar local maupun
pasar ekspor, pertumbuhan yang cepat dan banyak diminati oleh masyarakat. Di
Indonesia, pembenihan dan pembesaran ikan kerapu telah mulai dikembangkan
sebagai usaha alternative dalam mengantisipasi kekurangan ikan kerapu akibat
meningkatnya permintaan pasar (Wardana, 1994 dalam Sari, 2011).
Moluska merupakan
kelompok yang mendominasi perairan
setelah kelompok ikan, jumlahnya mencapai 1500 jenis siput dan 1000 jenis
kerang (Nontji, 1984 dalam Nurfajrie et al, 2014) . Salah satu jenis siput
yang dapat dijumpai di perairan Indonesia adalah abalon. Abalon merupakan
kelompok moluska laut yang lebih dikenal sebagai “ker ang mata tujuh” atau
“siput lapar kenyang” (Dharma, 1988) dalam (Susanto,
et al., 2010 dalam Nurfajrie et al, 2014). Beberapa jenisnya merupakan komoditi ekonomis. Daging
abalon merupakan sumber makanan berprotein tinggi, rendah lemak, makanan
tambahan (food suplement) dan di Jepang dianggap mampu menyembuhkan penyakit
ginjal. Cangkang dari abalon juga memiliki nilai ekonomis yang tidak kalah
tinggi dibandingkan dagingnya (Suwignyo, 2005 dalam Nurfajrie et al,
2014).
Rumput Laut Eucheuma cottonii merupakan makro alga
yang hidup di laut, pada umumnya di dasar perairan dan menempel pada substrat
atau benda lain dan juga hidupnya terapung di permukaan laut. Bagian – bagian
rumput laut secara umum terdiri dari holdfast yaitu bagian dasar dari rumput
laut yang berfungsi untuk menempel pada substrat dan thalus yaitu bentuk–bentuk
pertumbuhan rumput laut yang menyerupai percabangan.
1.2
Tujuan
dan Manfaat
Pembuatan
makalah ini bertujuan untuk melatih mahasiswa dan untuk mengetahui
tekhnik-tekhnik budidaya perikanan laut, dan juga sebagai salah satu
pembelajaran kepada mahasiswa tentang komoditas perikanan laut yang bernilai
ekonomis tinggi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Ikan
Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan
Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Menurut
Binohlan (2010) dalam Sutrisna (2011)
ikan kerapu macan digolongkan pada :
Kelas : Chondrichthyes
Subkelas
: Ellasmobranchii
Ordo
:
Percomorphi
Divisi : Perciformes
Family :
Serranidae
Genus
: Epinephelus
Spesies : Epinepheus fuscoguttatus (Forsskal,
1775)
Gambar 1. Ikan kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus Forsskal,
1775
Sumber : Binohlan CB
(2010) dalam Sutrisna (2011)
Heemstra dan Randall
(1993) dalam Sutrisna (2011)
menyatakan, morfologi ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) sebagai berikut, tinggi
ikan
kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus Forsskal,
1775) lebih panjang dari panjang kepalanya. Area interorbitalnya datar atau sedikit cekung, bagian Preoperculumnya membulat dan
bergerigi halus, ujung bagian atas operculumnya
cembung, ujung bagian depan tulang preorbital
menekuk cukup dalam ke
arah lubang hidung dan rahang bagian atas memanjang dari posterior
sampai mata.
Beberapa ciri morfologi
yang lain dapat menjelaskan bentuk ikan ini secara jelas. Pada ikan ini
terdapat sekitar 10 - 12 buah Gill rakers di
bagian atas dan 17 -
21 pada bagian bawah (tapi
pada dasarnya sulit untuk dihitung). Ikan kerapu macan memiliki XI jari keras dan 14
atau 15 jari lunak duri sirip dorsal (jari kerasketiga atau keempat biasanya terpanjang), III jari keras dan 8 jari lunak
sirip anal, dan sirip pectoral
sekitar 18-20 serta bentuk
sirip caudal (ekor)
membundar. Warna tubuh ikan ini
coklat pucat kekuningan,
tubuh, kepala, dan sirip ditutupi dengan bintik-bintik coklat kecil,
yang mana bagian bercak lebih gelap dari area tubuh lainnya.
2.1.2 Distribusi, Habitat dan Lingkungan
Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus)
Penyebaran ikan kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus Forsskal, 1775) terdistribusi secara luas di
wilayah Indo-Pasifik, Laut Merah,
kepulauan tropis India dan bagian barat-tengah Lautan Pasifik (timur ke Samoa dan Kepulauan Phoenix). Ikan kerapu macan tersebar juga di sepanjang
pantai timur Afrika sampai Mozambik, Madagaskar, India, Thailand, Indonesia,
pantai tropis Australia, Jepang, Filipina, New Guinea, dan Kaledonia Baru (Heemstra & Randall
1993 dalam Sutrisna, 2011).
Distribusi ikan ini di
berbagai kepulauan dunia tersebut tidak
terlepas dari habitatnya di perairan yang berasosiasi dengan karang. Ikan
kerapu macan banyak ditemukan pada
daerah yang kaya terumbu
karangnya serta air yang jernih, sampai kedalaman 60 m.
Habitat ini termasuk perairan dangkal terumbu karang, dasar laut
berbatu, puncak laguna, kanal karang serta tubir (bagian terjal
terluar terumbu karang) (Binohlan 2010 dalam Sutrisna, 2011). Namun pada umumnya ikan ini hidup pada
kedalaman 5-20 meter di semua tipe terumbu karang dengan
kondisi yang baik. Kebanyakan
ikan kerapu macan memanfaatkan
liang/lubang/rongga di terumbu karang sebagai tempat berlindung dan biasanya menetap (sedentary). (Yeeting
et al. 2001 dalam
Sutrisna, 2011). Parameter ekologis
yang cocok bagi pertumbuhan ikan kerapu
macan yaitu temperatur 24-31o
C, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH 7,8
– 8, perairan seperti ini, pada umumnya
terdapat di perairan terumbu karang (Lembaga Penelitian Undana, 2006 dalam Sutrisna, 2011).
Terkait kebiasaan makan
ikan ini dihabitatnya Heemstra dan
Randal (1993) dalam Sutrisna (2011)
menyatakan ikan kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus Forsskal, 1775) merupakan
ikan predator pemangsa ikan-ikan lain, krustase dan cephalopoda. Ikan ini lebih aktif mencari makan di kolom
perairan pada waktu fajar dan senja hari,
dibandingkan dengan saat
malam/siang hari (Maryati 2004 dalam Sutrisna, 2011).
2.1.3 Tekhnik Budidaya Ikan Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus)
1. Penebaran
Benih
Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan padat
tebar per waring adalah 200-300 ekor dengan melihat ukuran dari keramba. Benih
yang datang siap tebar langsung diadaptasikan di atas KJA. Dalam penebaran
benih adaptasi dilakukan sebagai berikut:
a. Membuka
box/Styrofoam di tempat yang agak gelap agar ikan tidak terkejut.
b. Meletakkan
kantong ikan yang belum terbuka terendam dalam air pada lokasi pemelihaan
selama 10-20 menit agar suhu di dalam kantong dan di luar menjadi sama.
c. Melepaskan
ikan melalui bukaan kantong plastic dan ditampung di box semula.
d. Aliri
box/Styrofoam dengan air sebanyak 200-300%.
e. Ikan
siap ditebar ke dalam wadah pemeliharaan.
2. Pemberian
Pakan
Pakan yang digunakan
adalah dari jenis ikan rucah dan pakan buatan. Pakan dipotong kecil-kecil
sesuai dengan bukaan mulut benih dengan jumlah potongan yang dikonversikan
dengan jumlah ikan. Beberapa hal yang penting dalam penanganan pakan adalah:
a.
Pakan ikan rucah yang diberikan harus
dalam keadaan segar
b.
Sisa potongan pakan harus segera
dibekukan ke dalam freezer
c.
Pakan yang beku harus dicairkan terlebih
dahulu secara benar sebelum diberikan pada ikan
d.
Pellet tidak boleh disimpan lebih dari 3
bulan
e.
Pellet yang sudah berubah bau dan
warnanya sebaiknya tidak diberikan pada ikan.
3. Pengamatan
Pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan
ikan dilakukan dengan pengukuran dan sampling setiap satu bulan sekali. Di
samping itu, untuk pengamatan pertumbuhan ikan juga perlu melakukan monitoring
kondisi ikan yang berguna untuk mencegah timbulnya penyakit dan penyakit dapat
ditanggulangi secara dini sebelum parah. Untuk memastikan bahwa ikan sehat,
pengawasan dan monitoring yang dilakukan meliputi pengawasan pakan dan
lingkungannya serta membuat record yang baik tentang ukuran ikan, model
kematian, perlakuan yang diberikan.
4. Pengontrolan
Parasit dan Penyakit
Hama menurut Kordi,
(2002) mengatakan bahwa hama merupakan organisme yang dapat menimbulkan
gangguan pada ikan budidaya di kolam. Hama pada budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) ada 3 macam
yaitu : predator dan kompotitor.
Penyakit yang sering
menyerang ikan kerapu ada dua macam yaitu penyakit infeksi dan penyakit non
infeksi. Penyakit infeksi adalah penyakit yang dapat menginfeksi ikan kerapu
berupa jamur, bakteri dan virus, sedangkan penyakit non infeksi adalah penyakit
pada ikan kerapu yang disebabkan oleh ketidak sesuaian media pemeliharaan ikan
kerapu yang ada di KJA.
5. Pemeliharaan
Wadah Budidaya
-
Keadaan keramba harus dikontrol setiap
saat
-
Penggantian jaring keramba dilakukan minimal
setiap bulan
-
Jaring keramba yang kotor merupakan
media penempelan parasit dan penyakit dan mengganggu sirkulasi air
6. Panen
Panen biasanya dilakukan
dan disesuaikan dengan ukuran ikan yang dikehendaki atau permintaan pasar.
Untuk mencapai ukuran 600-800 gram per ekor dibutuhkan waktu pemeliharaan
selama 6-8 bulan dengan survival rate 80-90%. Panen dilakukan secara total di
dalam satu kurungan, bisa juga dilakukan secara persial tergantung dari ukuran
panen yang dikehendaki. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga
kualitas ikan kerapu yang dibudidayakan dengan KJA, antara lain: penentuan
waktu panen, peralatan panen, teknik panen, serta penanganan pasca panen. Watu
panen, biasanya ditentukan oleh ukuran permintaan pasar. Ukuran super biasanya
berukuran 500-1000 gram dan merupakan ukuran yang mempunyai nilai jual tinggi.
Panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari sehingga dapat mengurangi
strees ikan pada saat panen.
Peralatan yang
digunakan pada saat panen, berupa: scoop, keranjang, timbangan, alat tulis,
perahu, bak pengangkut dan peralatan aerasi. Teknik pemanenan yang dilakukan
pada usaha budidaya ikan kerapu dalam KJA dengan metode panen selektif dan
panen total. Panen selektif adalah pemanenan terhadap ikan yang sudah mencapai
ukuran tertentu sesuai keinginan pasar terutama pada saat harga tinggi. Sedang
panen total adalah pemanenan secara keseluruhan dan biasanya dilakukan bila
permintaan pasar sangat besar atau ukuran ikan seluruhnya sudah memenuhi
criteria jual.
2.2
Abalon
(Holiotis squamata)
2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Abalon (Holiotis squamata)
Klasifikasi abalone
(Dawmawan, 2004 dalam Lamuda, 2010)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Molusca
Class : Gastropoda
Sub Class : Archaegastropoda
Super Famly : Pleuromariaceae
Family : Holiotidae
Genus : Holiotis
Gambar 2. Morfologi Abalon (Holiotis squamata)
Ciri utama abalon memiliki
satu cangkang yang terletak pada bagian atas. Pada cangkang abalon (Holiotis squamata), semakin besar
ukuran abalon (Holiotis squamata)
maka semakin banyak lubang yang terdapat pada cangkang. Lubang-lubang tersebut
tertata rapi mulai seperti spiral dari ujung depan hingga belakang cangkang.
Sebagian lubang di bagian depannya terbuka dan berfungsi untuk pernafasan,
pembuangan dan reproduksi (Darmawan, 2004 dalam
Lamuda, 2010).
Abalon (Holiotis squamata) mempunyai mulut dan
sungut yang terletak di bagian bawah cangkang serta sepasang mata. Bentuk
cangkang rata berbentuk telinga, tidak memiliki operculum. Bagian cangkang
sebelah dalam berwarna putih mengkilap seperti perak. Bervariasinya warna
cangkang abalon (Holiotis squamata)
adalah tergantung dari jenis rumput laut yang dimakan (Darmawan, 2004 dalam Lamuda, 2010).
Abalon (Holiotis squamata) tergolong hewan yang
berumah dua atau Diocis, yaitu betina
dan jantan terpisah. Kematangan gonad induk jantan maupun betina berlangsung
sepanjang tahun dengan puncak musim memijah terjadi pada bulan-bulan juli dan
oktober. Telur yang siap dipijahkan berdiameter rata-rata 183 µm (Cholik et al, 2006 dalam Lamuda, 2010). Siklus hidup abalon dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 3. Siklus
hidup abalon (http://siklus+hidup+abalon .blogspot.com//2016)
Sifat-sifat khas filum ini secara
singkat diterangkan di bawah ini (Romimohtarto et al, 2007 dalam Lamuda,
2010).
1.
Bentuk simetris bilateral, tetapi pada gastropoda
dan beberapa Chephalopoda,
Visera dan cangkang tergulung seperti gelung rambut wanita. Ada tiga lapisan
benih, tidak beruas, apitelium satu
lapis, sebagian besar berbulu getar dan dengan kelenjar lendir.
2.
Tubuh biasanya pendek, terbungkus dalam
mantel dorsal tipis yang mengeluarkan bahan pembentuk cangkang berupa satu, dua
atau delapan bagian. Pada beberapa kelompok, cangkang terdapat di dalam tubuh,
mengecil atau tidak sama sekali. Bagian kepala membesar, kecuali pada Schapopoda dan Pelecypoda. Kaki berotot ventral yang berubah menjadi alat merayap,
meliang atau berenang.
3.
Saluran pencernaan lengkap, sering
berbentuk U atau melingkar. Mulut dengan radula yang mempunyai deretan gigi
kitin kecil melintang untuk mengerus makanannya, kecuali Pelecypoda yang tidak mempunyai radula, anus membuka kerongga
mantel, kelenjar pencernaan besar sering mempunyai kelenjar ludah.
4.
System sirkulasi mencakup jantung
sebelah punggung dengan satu atau dua Auricle
atau rongga atas dan satu Ventricle atau
rongga bawah. Biasanya di dalam rongga pericardial
atau selaput jantung, sebuah aorta anterior, dan pembuluh-pembuluh lain.
5.
Pernafasan dilakukan oleh satu atau
banyak insang yang disebut Ctenidium atau
sebuah paru-paru di dalam rongga mantel, oleh mantel atau epidermis.
6.
Ekskresi oleh ginjal yang disebut Nefridia, terdiri dari satu atau dua
saja, menghubungkan rongga selaput jantung dan pembuluh darah. Rongga tubuh
menjadi mengecil menjadi rongga-rongga atau Nefridia,
gonad dan selaput jantung.
7.
System saraf tipikal terdiri dari tiga
pasang genglian (selebral di atas mulut, pedel di kaki, visceral dan
saraf-saraf banyak yang dengan alat untuk menyentuh, membawa atau merasakan,
bintik mata atau mata majemuk, dan statosista untuk keseimbangan.
8.
Kelamin biasanya terpisah, beberapa
jenis hermaprodit sedikit yang protandrik, yakni sel keelamin jantan masak dan
ditebar lebih dahulu sebelum sel kelamin betina masak. Gonad dua atau satu
dengan saluran fertilisasi eksternal atau internal, kebanyakan ovipar,
pembelahan telur tertentu (determinate)
tidak sama dan total (pada Chephalopoda,
Diskoidal), larva veliger (trochopore),
atau stadia parasit (Unionidae) atau
perkembangan langsung (Pulmonata,
chepalopoda), tidak ada perkembangbiakan aseksual.
2.2.2 Distribusi Abalon (Holiotis squamata)
Abalon ditemukan hampir
di semua perairan dunia, hidup pada perairan pantai berbatu, paparan karang,
dan bersembunyi di celah-celah karang dan lubang batu. Jenis-jenis abalon yang
berukuran besar ditemukan hidup di daerah subtropis, sedangkan jenis-jenis yang
berukuran kecil ditemukan di daerah tropis dan dingin (Imai, 1982 dalam Faturrahman, 2015).
Siput
mata tujuh (Holiotis squamata) dapat
ditemukan di perairan laut mulai dari Jepang Selatan sampai New South Wales,
Australia, dari Andaman sampai New Caledonia, dan dari Thailand sampai Fiji. Di
perairan Asia Tenggara, siput mata tujuh banyak ditemukan di wilayah Thailand,
Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Di Indonesia, perairan Kuta, Lombok Tengah,
Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan tipe perairan berbatu yang ditumbuhi mikro dan
makro algae merupakan habitat yang baik untuk abalon, khususnya siput mata
tujuh (Haliotis squamata) (Setyono,
2008 dalam Faturrahman, 2015).
2.2.3 Tekhnik Pembesaran Abalon (Haliotis squamata)
1.
Persiapan
Wadah Pembesaran
Wadah permbesaran benih
harus dipersiapkan dengan baik. Bak yang digunakan harus menahan air dan tidak
bocor. Tujuan dari persiapan bak adalah untuk menciptakan keadaan yang baik,
memudahkan pengontrolan, serta mengatasi gangguan-gangguan yang mungkin timbul
pada saat pembesaran nanti. Kegiatan yang dilakukan adalah pemasangan saringan
pada pintu masuk dan pengeluaran air.
Adapun betnuk dan
volume bak untuk penebarab benih abalon (Holiotis
squamata) dapat berupa fiberglass
ukuran 85 x 270 x 45 cm bervolume 1 m3 atau bek semen (Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2010 dalam Lamuda,
2010). Pembesaran juvenil abalone (Holiotis
squamata) dilakukan dalam bak beton ukuran 2 x 3 x 1 m3
dilengkapi dengan system aerasi dan system air mengalir. Di dalam bak tersebut
ditempatkan wadah berupa waring berukuran 50 x 50 x 50 cm, tiap wadah diisi
juvenile abalone (Holiotis squamata)
dengan ukuran panjang cangkang 15-20 mm dengan kepadatan 100-300 ekor setiap
wadah.
2.
Penebaran
Abalon (Holiotis squamata)
Juvenile abalone (Holiotis squamata) ditebar dengan
kepadatan 75-100 ind/liter. Pada minggu pertama pemeliharaan belum dilakukan
pergantian air, kemuadian mulai hari ke-8 dilakukan sistem air mengalir. Air
laut yang digunakan bersalinitas sekitar 32-35 ppt yang telah melalui seng
filter (Stikcney, 2003 dalam Lamuda,
2010).
Pemeliharaan
selanjutnya, juvenile abalon (Holiotis
squamata) muda dimasukkan dalam waring (keranjang-keranjang plastic) dan
diletakkan dalam bak pemeliharaan yang terbuat dari beton. Shelter buatan yang
digunakan terbuat dari potongan pipa PVC dan diletakkan di setiap keranjang
pemeliharaan (Minh, 2004 dalam Lamuda,
2010).
3.
Pemberian
Pakan
Pakan atau makanan
merupakan unsur yang sangat penting dalam usaha pembesaran abalon (Holiotis squamata). Zat makanan
terpenting yang diperlukan abalon (Holiotis
squamata) untuk pertumbuhan adalah zat protein. Jumlah dan kualitas protein
sangat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan abalon (Holiotis squamata) karena protein bagi abalon (Holiotis squamata) merupakan sumber energy yang paling penting
(Amonimity, 2006 dalam Lamuda, 2010).
Pertumbuhan abalon (Holiotis squamata) dapat dipercepat
dengan pemberian pakan yang mengandung protein tinggi (30-40%) karena protein
merupakan bagian dari daging abalon (Holiotis
squamata) tersebut. Zat protein yang digunakan hewan untuk memelihara
tubuh, pembentukan jaringan tubuh dan pergantian jaringan tubuh yang rusak.
Pemberian jumlah pakan
yang kurang dapat menyebabkan pertumbuhan abalon (Holiotis squamata) itu jadi lambat. Jika pakan yang diberikan
berlebihan dan tidak habis dikonsumsi oleh abalon (Holiotis squamata), maka dapat menurunkan kualitas air dan
pemborosan. Jumlah pakan yang diberikan adalah berkisar 4-6% dari berat tubuh
abalon (Holiotis squamata)
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2010 dalam
Lamuda, 2010).
Adapun jenis makanan
yang diberikan pada abalon (Holiotis
squamata) adalah jenis rumput laut atau microalga seperti Achanthopora sp, Gracillaria sp, dan Ulva sp.
Yang mempunyai nilai protein yang sangat tinggi. Jenis rumput laut ini selain
murah dan mudah di dapat dan juga mempunyai nilai protein yang sangat tinggi.
4.
Pengelolaan
Kualitas Air
Pengelolaan kualitas
air merupakan salah satu faktor penting dalam operasional pembesaran abalon (Holiotis squamata) khususnya dalam
pemeliharaan larva, maka kualitas air perlu dijaga agar tetap dalam kondisi
prima.
Menurut Fallu (2005) dalam Lamuda (2010), beberapa cara untuk
meningkatkan kualitas air dalam pembesaran abalon (Holiotis squamata) diantaranya membuang semua kotoran dari media
budidaya seperti bangkai abalon (Holiotis
squamata)ataupun sisa rumput laut yang tidak termakan. Menerapkan sistem
air mengalir dalam wadah budidaya seperti halnya di lautan dimana kualitas air
selalu dalam kondisi sempurna. Beberapa parameter kualitas air yang sangat
berpengaruh dalam budidaya abalon (Holiotis
squamata) antara lain:
a) Suhu
Penyebaran spesies ini
juga dipengaruhi oleh suhu perairan, dimana populasi abalon (Holiotis squamata) banyak ditemui saat
musim panas dengan suhu lebih dari 20o C. stadia larva juga banyak
dipengaruhi suhu perairan tempat hidup. Sebagai contoh, suhu yang diperlukan
mulai dari menetas sampai stadia penempelan (3-5 hari) adalah 20o C.
sedangkan apabila waktu yang dibutuhkan berkisar 60-70 jam, maka suhu yang
diperlukan berkisar 17,2-12,2o C (Hayashi, 1999 dalam Lamuda, 2010).
Menurut fallu (2005) dalam Lamuda (2010), suhu yang
berlebihan dapat membuat abalon (Holiotis
squamata) stress dimana larva akan tumbuh cepat apabila mempunyai suhu
optimum. Jika berada di bawah suhu optimal maka pertumbuhannya akan lambat,
namun bila suhu berada 2 s/d 3o C di atas suhu optimum akan
berakibat fatal bahkan dapat menyebabkan kematian.
Factor lain yang
mempengaruhi pertumbuhan pada system budidaya antara lain suhu, kepadatan
(densitas), periode penyinaran, salinitas, oksigen, serta pasokan pakan. Suhu
perairan yang stabil meningkatkan pertumbuhan beberapa spesies abalon (Holiotis squamata). Holiotis tuberculata tumbuh 18 mm/tahun pada suhu perairan 20o
C. Holiotis fulgens memperlihatkan
peningkatan pertumbuhan pada suhu perairan di atas 20oC (Stickney,
2003 dalam Lamuda, 2010).
Menurut peck (1999) dalam Lamuda, (2010), suhu berkisar
8,5-9,0 o C merupakan batas suhu terendah bagi kehidupan Holiotis
tuberculata. Apabila suhu lebih rendah dari batas
tersebut maka abalon (Holiotis squamata)
akan sulit untuk menyerap makanan dan pertumbuhannya akan menjadi lambat.
Berdasarkan penelitian di Laboratorium bahwa pertumbuhan maksimum abalon (Holiotis squamata) berada pada kisaran
suhu 20o C.
Suhu perairan berada
pada kisaran lebih dari 20oC maka tingkat pertumbuhan abalon (Holiotis squamata) akan lamban
disebabkan oleh nafsu makan abalon (Holiotis
squamata) tersebut menurun dan dapat menyebabkan tingkat kualitas abalone (Holiotis squamata) akan menjadi kurang
baik (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2010 dalam Lamuda, 2010).
b) Salinitas
Abalon (Holiotis squamata) banyak ditemukan di
perairan yang bersalinitas tinggi seperti air laut yang berkisar antara 30-35
‰. Sebagai contoh Holiotis tuberculata tidak
dapat hidup pada perairan payau (Fretter dan Graham, 1998 dalam Lamuda, 2010). Hal ini juga dinyatakan Jeffreys (19977) dalam Lamuda (2010) bahwa Holiotis tuberculata biasanya mudah terserang penyakit pada
salinitas rendah yaitu di bawah 14‰.
Kisaran salinitas
normal yang cocok untuk pertumbuhan abalon (Holiotis
squamata) yaitu berkisar 33-35‰ dan pertumbuhan hewan laut tidak optimal pada
salinitas di atas 35o‰ (Fallu, 2005 dalam Lamuda, 3010).
Menurut Stickney (2003)
dalam Lamuda (2010), pertumbuhan
optimum abalon (Holiotis squamata)
tergantung pada kualitas air serta spesies, dan salinitas harus selalu dijaga
pada kisaran 32 dan 35 ‰.
Berdasarkan penelitian
Peck (1999) dalam Lamunsa (2010) di
laboratorium bahwa tingkat kelangsungan hidup abalon (Holiotis squamata) sangan kecil pada salinitas mencapai 14‰.
Sedangkan pertumbuhannya baik apabila salinitas berkisar 24‰.
c) Derajat
Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau
pH berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia. Pada perairan yang
memiliki pH rendah banyak yang ditemukan senyawa ammonium yang tidak toksit (innocuous). Namun, pada saat alkalis (pH
tinggi) lebih banyak ditemukan ammoniak yang tidak terionisasi (unionized) dan bersifat toksit. Amoniak
yang tidak terionisasi ini lebih mudah terserap dalam tubuh organisme akuatik
dibandingkan dengan ammonium (Tebbut, 1998 dalam
Lamuda, 2010).
Sebagian besar biota
akuatik sensitif terhadap perubahan pH sekitar 7-0-8,5 (Novotny dan Olem, 2000 dalam Lamuda, 2010). Sedangkan menurut
Stickney (2003) dalam Lamuda (2010),
abalone (Holiotis squamata)
memerlukan kualitas air yang bagus untuk pertumbuhannya dibutuhkan air laut
yang bersih. Derajar keasaman atau pH yang diperlukan abalon (Holiotis squamata) untuk tumbuh optimal
yaitu sekitar 8,0.
d) Pengelolaan
Kesehatan
Salah satu faktor
penting dalam pembesaran adalah mengurangi stress pada biota budidaya. Pada
budidaya abalon (Holiotis squamata)
hal yang harus diperhatikan antara lain tersedianya sumber air yang bersih,
kadar oksigen terlarut cukup, suhu stabil, bebas amoniak dan bebas beracun
lainnya. Pakan yang berkualitas juga perlu diberikan dan ditambhakan secara
rutin. Pakan rumput laut yang sudah terlalu lama dan tidak segar. Bak
pembesaran harus selalu dibersihkan untuk mencegah pertumbuhan Copepoda, nematode serta bakteri lain
yang membahayakan pengontrolan bak pembesaran perlu dicek agar tidak ada
organisme pengganggu yang menempel dan dapat mengganggu sirkulasi air
(Stickney, 2003 dalam Lamuda, 2010).
e) Penanggulangan
Hama
Predator merupakan
salah satu kendala dalam budidaya dan pembesaran abalon (Holiotis squamata). Juvenile yang ditebar pada KJA (Keramba Jaring
apung) memiliki beberapa jenis predator seperti bintang laut, kepiting, ikan
serta moluska. Predator-predator ini merupakan penyebab utama kematian dalam
budidaya abalone (Holiotis squamata)
di Korea yang mencapai angka lebih dari 80% (Yoo, 2003 dalam Lamuda, 2010). Penanggulangan hama dilakukan dengan cara
sebelum pakan diberikan, terlebih dahulu pakan direndam dengan air tawar selama
10-15 menit agar hama yang terdapat dalam rumput laut tersebut mati.
2.3
Rumput
Laut (Eucheuma cottonii)
2.3.1 Morfologi (Eucheuma cottonii)
Dari segi morfologi,
rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun.
Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun
sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus belaka. Morfologi Eucheuma cottonii adalah, permukaan
licin, Cartilogeneus, Thalli (kerangka tubuh tumbuhan) bulat
silindris atau gepeng, warnanya merah, abu-abu, hijau kuning, dan hijau,
bercabang berselang tidak teratur, Dichotomous
atau trikhoyomous, memiliki
benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri atau spines, dan substansil thalli ”gelatinus”
dan “kartilagenus” (lunak seperti
tulang rawan). Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau,
hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena
factor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu
penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan,
1998 dalam Hamid, 2009).
Penampilan thallus bervariasi mulai dari bentuk
sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus
runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah
dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke arah basal (pangkal).
Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang
pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan cirri
khusus mengarah kearah datangnya sina matahari (Atmadja, 1996 dalam Hamid, 2009).
2.3.2 Klasifikasi Eucheuma cottonii
Dawes (1981) dalam Mamang (2008), menjelaskan
sistematika klasifikasi Eucheuma cottonii
adalah sebagai berikut :
Divisio : Thallophyta
Filum : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigarnitales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma
cattonii
Gambar 5. Rumput laut (Eucheuma cottonii)
(sumber : Rachimin R, Budidaya Rumput
Laut, 2014 dalam Listiyana, 2014)
Alga laut termasuk
dalam kelompok tumbuhan yang dikenal sebagai ganggang laut. Alga laut berbeda
dengan tanaman tingkat tinggi. Struktur alga laut secara keseluruhan merupakan
batang yang disebut thallus, tidak memiliki
akar sejati, batang dan daun seperti pada tanaman tingkat tinggi. Bentuk akar
alga laut disebut holdfast, yang berfungsi sebagai alat untuk melekat pada
dasar perairan. Bagian yang menyerupai daun pada alga laut tertentu seperti Sargassum sp. disebut dengan blade.
Fungsi utama blade adalah menyediakan permukaan yang luas untuk penyerapan
sinar matahari dalam proses fotosintesis (Chapman 1970 dalam Mamang, 2008 ).
2.3.3 Reproduksi Rumput Laut
Reproduksi rumput laut
umumnya dilakukan melalui tiga cara yaitu secara vegetatif (seksual dengan
gamet), generatif (aseksual dengan spora) dan pembelahan sel. Secara generatif
terjadi dengan adanya peleburan antara gamet-gamet yang berbeda yaitu antara
spermatozoid yang dihasilkan dalam antheridia dengan sel telur atau ovum yang
dihasilkan dalam oogenium. Reproduksi secara fragmentasi terjadi pada alga
uniseluler yaitu dengan cara pembelahan sel sedangkan pada alga multiseluler,
thallus akan patah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil kemudian tiap bagian
tersebut akan tumbuh menjadi individu baru. Reproduksi secara vegetatif
yaitu mula- mula tanaman tetrasporofit
yang hidup bebas (diploid) sel-selnya menjalani proses meiosis. Tetraspora
kemudian dilepaskan dan berkembang menjadi gametofit jantan dan betina yang
haploid. Gametofit jantan yang telah dewasa menghasilkan sel-sel spermatangial
yang nantinya menjadi sel spermatangia, sedangkan gametofit betina menghasilkan
sel khusus yang disebut karpogonia yang dihasilkan dari cabang-cabang
karpogonial.Proses fertilisasi terjadi setelah spermatium mencapai trikogin dan
karpogonium, meleburkan intinya dan bersatu dengan inti telur. Zygot yang
dihasilkan mengalami pembelahan menjadi sel-sel yang bersifat diploid. Kelompok
sel yang diploid tersebut dinamakan karposporofit. Karposporofit dapat dianggap
sebagai gametofit betina karena mengambil makanan darinya. Inti-inti diploid
tersebut dapat terbawa ke sel-sel lain dalam gametofit betina melalu filamen
coblast. Akibatnya dalam satu kali fertilisasi dapat terbentuk karposporofit
diploid yang akan tumbuh menjadi tetrasporofit ( Dawes, 1981 dalam Mamang, 2008)
Menurut Kadi dan
Atmadja (1988) dalam Mamang (2008) menyatakan
bahwa berbagai faktor-faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses
reproduksi rumput laut seperti suhu,
salinitas, cahaya, gerakan air (arus) dan unsur hara (nitrat dan fosfat).
2.3.4 Habitat Rumput Laut
Dawson (1966) dalam Mamang (2008) menyatakan, bahwa
pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah
besar spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir.
Sedangkan substrat yang paling umum tempat hidup rumput laut adalah kapur atau
bentuk lain dari kalsium karbonat dimana bahan ini memiliki tingkat kesuburan
yang tinggi, mudah tererosi dan warna yang jelas sehingga sinar matahari
terpantul.
Mubarak dan Wahyuni
(1981) dalam Mamang (2008) juga
mengatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut
adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan
dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi
pertumbuhan rumput laut. Eucheuma sp.
kebanyakan terdapat di daerah (intertidal) atau pada daerah yang selalu
terendam oleh air (subtidal) dengan melekat pada substrat dasar perairan yang
berupa batu karang mati, batu karang hidup, batu gamping atau cangkang molusca. Umumnya Eucheuma sp. tumbuh dengan baik dengan daerah pantai terumbu karena
persyaratan untuk pertumbuhan banyak terpenuhi seperti kedalaman, pencahayaan,
substrat dan pergerakan air (Kadi dan Atmadja, 1988 dalam Mamang, 2008).
Doty (1985) dalam Mamang (2008) menyebutkan bahwa
jenis Eucheuma sp. menyukai perairan
terumbu karang karena jernih dan kaya akan cahaya.
2.3.5 Budidaya Rumput Laut
Seiring dengan
kebutuhan rumput laut yang semakin meningkat, maka cara terbaik untuk tidak selalu
menggantungkan pada persediaan di alam adalah dengan kegiatan budidaya rumput
laut. Budidaya adalah langkah yang tepat
alam usaha meningkatkan buidaya rumput laut, sehingga diharapkan suplai dapat
lebih teratur baik dalam jumlah maupun mutunya.
Usaha budidaya laut,
termasuk didalamnya adalah usaha budidaya rumput laut didukung oleh keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor : Kep.2/MEN/2004 Tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan
Ikan, sebagai Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2002 Tentang Usaha
Perikanan. Dalam Keputusan Menteri tersebut yang dimaksudkan dengan usaha
pembudidayaan ikan meliputi kegiatan pembenihan, pembesaran, penanganan dan
pengelolaan yang dapat dilakukan secara terpisah maupun secara terpadu
(Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2005 dalam Khasanah, 2013).
Menurut Restiana
dan Diana (2009) dalam Khasanah (2013), peluang budidaya rumput
laut didorong beberapa faktor :
1
Rumput Laut yang dikeringkan dengan
proses yang berbeda-beda mempunyai komposisi nutrisi yang berbeda pula.
2
Rumput laut banyak mengandung zat-zat
nutrisi penting yang diperlukan bagi tubuh manusia, seperti protein,
karbohidrat, energi dan serat kasar.
3
Kandungan lemaknya yang rendah dan serat
kasarnya yang cukup tinggi menyebabkan rumput laut baik untuk dikonsumsi
sehari-hari. Faktor utama penunjang keberhasilan budidaya rumput laut adalah
pemilihan lokasi untuk budidaya. Pertumbuhan
rumput laut ditentukan kondisi ekologi setempat. Penentuan lokasi yang
telah ditetapkan harus sesuai dengan metode yang akan digunakan. Penentuan
lokasi yang salah akan berakibat fatal bagi usaha yang dilakukan (Winarno, 1990
dalam Khasanah, 2013). Dalam perkembangan
budidaya rumput laut dapat dilakukan
beberapa metode. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii dapat dibudidayakan
dengan 5 metode yaitu metode lepas dasar, metode rakit apung, metode jalur
(kombinasi), dan metode kantong jaring (Direktorat Jendral Perikanan Budidaya,
2005 dalam Khasanah, 2013).
2.3.6 Kondisi Fisika-Kimia Perairan
Kondisi perairan sangat
menentukan keberhasilan budidaya rumput laut. Pemilihan perairan yang tepat
akan berdampak pada pertumbuhan rumput laut yang baik, begitupun sebaliknya.
Berikut beberapa faktor fisika-kimia yang harus diperhatikan dalam budidaya
rumput laut :
1. Gelombang
Gelombang atau ombak
yang timbul akibat adanya tiupan angin di atas permukaan perairan. Nybakken
(1992) dalam Khasanah (2013) mengemukakan bahwa ombak
berperan langsung dalam proses difusi gas-gas di atmosfer ke perairan, sehingga
perairan tidak akan kekurangan gas-gas esensial terutama oksigen.
Gelombang atau ombak
sangat berpengaruh dalam kegiatan budidaya rumput laut. Menurut Aslan (1991) dalam Khasanah (2013) untuk kegiatan budidaya
rumput laut tinggi ombak tidak lebih dari 40 cm. Ombak yang terlalu besar dapat
menyebabkan kekeruhan perairan sehingga dapat menghambat fotosintesis, selain
itu ombak yang besar dapat menyulitkan tanaman untuk menyerap nutrisi sehingga
dapat menghambat pertumbuhan.
Kerugian yang
ditimbulkan bila ombak cukup deras menurut Aslan (1991) dalam Khasanah (2013) yaitu
:
a. Tanaman
kesulitan menyerap nutrisi (makan) yang berguna bagi
b. Pertumbuhan
Perairan akan keruh sehingga akan menghalangi fotointesis
c. Thallus
dari rumput laut akan patah
d. Ombak
yang tinggi akan menghalangi penanganan tanaman, baik sebelum pemanenan maupun
setelah pemanenan, perawatan dan saat panen
2. Arus
Menurut Nybakken (1992)
dalam Khasanah (2013) arus adalah gerakan air
laut yang mengakibatkan perpindahan massa air secara horizontal. Sedangkan
Nontji (1993) dalam Khasanah (2013) mengatakan bahwa arus
merupakan gerak mengalir suatu massa air yang disebabkan beberapa faktor yaitu,
oleh tiupan angin, adanya perubahan densitas air laut, adanya gerakan gelombang
panjang, serta dapat pula disebabkan oleh pasang surut. Oleh karena itu, arus mempunyai pengaruh
langsung dalam penyebaran organisme hidup dari satu tempat ke tempat .
Manfaat arus adalah
menyuplai nutrien, melarutkan oksigen, menyebarkan plankton, dan menghilangkan
lumpur, detritus dan produk eksresi biota laut (Prud’homme van Reine and Trono,
2001 dalam Khasanah, 2013). Kuat maupun lemahnya arus
berpengaruh dalam kegiatan budidaya rumput laut (Dahuri, 2003 dalam Khasanah, 2013).
Arus merupakan faktor
yang harus diutamakan dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut karena arus akan
mempengaruhi sedimentasi dalam perairan, yang pada akhirnya mempengaruhi cahaya
(Doty, 1985 dalam Khasanah, 2013). Menurut Sidjabat (1976) dalam Khasanah (2013) proses pertukaran oksigen
antara udara yang terjadi pada saat turbulensi karena adanya arus. Adanya
ketersediaan oksigen yang cukup dalam perairan maka rumput laut dapat melakukan
respirasi dengan baik secara optimal pada malam hari.
Arus dianggap penting
diantara faktor-faktor oseanografi lainya karena massa air dapat menjadi
homogen dan pengangkutan zat-zat hara berlangsung dengan baik dan lancar.
Pergerakan air dapat menghalangi butiran-butiran sedimen dan epifit
pada thallus sehingga tidak mengganggu pertumbuhan
tanaman. Menurut Indriani dan Sumiarsih (1991) dalam Khasanah (2013) arus
yang baik untuk budidaya rumput laut berkisar antara 0,2 – 0,4
m/detik, bila arus yang tinggi dapat dimungkinkan terjadi kerusakan tanaman
budidaya, seperti dapat patah, robek, ataupun terlepas dari subtratnya. Selain
itu penyerapan zat hara akan terhambat karena belum sempat terserap.
3. Total Solid Suspended
(TSS)
Total Solid
Suspended (TSS) merupakan limbah pertanian dan tambak organik dan
anorganik yang berasal dari pengikisan tebing dan dasar sungai, buangan
industri, bangunan rumah tangga dan tanah pertanian yang kesemuanya dapat
terakumulasi dalam perairan. Padatan suspensi yang tinggi dapat mengganggu
proses fotosintesis rumput laut disebabkan karena pertikel-partikel tersebut
dapat menutupi thallus dari rumput laut, sehingga dapat menghalangi cahaya
matahari yang berperan membantu fotosintesis. Padatan tersuspensi yang baik
untuk usaha budidaya laut adalah 5-25 ppm (KLH,1988 dalam Khasanah, 2013).
Padatan tersuspensi
adalah bahan-bahan yang tersuspensi yang tertahan pada saringan millipore
dengan diameter pori 0.45 µm. Keberadaan muatan padatan tersuspensi di perairan
dapat berupa pasir, lumpur, tanah liat, koloid serta bahan-bahan organik
seperti plankton dan organisme lain (Effendi, 2003 dalam Khasanah, 2013).
Konsentrasi dan komposisi MPT bervariasi secara temporal dan spatial tergantung
pada faktor-faktor fisik yang mempengaruhi distribusi MPT terutama adalah pola
sirkulasi air, deposis, dan tersuspensi sedimen. Namun faktor yang paling dominan adalah
sirkulasi air (Wardjan, 2005 dalam Khasanah, 2013).
4. salinitas
Salinitas menurut
Nybakken (1992) adalah garam-garam terlarut dalam satu kilogram air laut dan
dinyatakan dalam satuan perseribu. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam air laut
terlarut macam-macam garam terutama NaCl, selain itu terdapat pula garam-garam
magnesium, kalium dan sebagainya (Nontji, 1993 dalam Khasanah, 2013). Kebanyakan
makroalga atau rumput laut mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan
salinitas (Prud’homme van Reine and Trono, 2001 dalam Khasanah, 2013). Begitu pula dengan spesies Eucheuma cottonii atau K. alvarezii merupakan jenis rumput laut
yang bersifat stenohaline. Tumbuhan ini
tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas dapat
berpengaruh terhadap proses osmoregulasi pada tumbuhan rumput laut (Aslan, 1991
dalam Khasanah, 2013). Salinitas yang tinggi
dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Selanjutnya Aslan (1991) dalam Khasanah (2013) merekomendasikan salinitas
yang cocok untuk budidaya rumput laut jenis ini berkisar antara 30 – 37 ‰.
5. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
mengatur proses fisiologis dan penyebaran organisme laut (Nybakken, 1992; Tait and Dipper 1998 dalam Khasanah, 2013). Suhu
perairan bervariasi secara horizontal sesuai dengan garis lintang dan secara
vertikal sesuai dengan kedalaman perairan (Lobban and Harrison, 1997 dalam Khasanah, 2013).
Suhu air permukaan
perairan di Indonesia umumnya berkisar antara 28 – 310 C. Suhu air di permukaan
dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban
udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya matahari. Oleh karena itu suhu di
permukaan biasanya mengikuti pola arus musiman (Nontji, 1993 dalam Khasanah, 2013).
Suhu merupakan salah
satu faktor untuk menentukan kelayakan lokasi budidaya rumput laut. Menurut
Aslan (1991) dalam Khasanah (2013) suhu yang baik untuk
budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii berkisar antara 270C –
300C.
6. Nitrat
(NO3)
Nitrat (NO3)
merupakan bentuk utama nitrogen
di perairan alami dan merupakan nutrien bagi pertumbuhan rumput laut. Nitrat sangat mudah larut dalam
air dan bersifat stabil. Senyawa ini
dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Kramer
et al., 1994 dalam Khasanah, 2013). Nitrifikasi yang
merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang
penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Nitrat dapat digunakan untuk
mengelompokan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik memiliki kadar
nitrat antara 0 – 5 mg/l, perairan mesotrofik memiliki kadar
nitrat antara 1 – 5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar
nitrat yang berkisar antara 5 – 50 mg/L (Effendi, 2003 dalam Khasanah, 2013).
Kadar nitrat dan fosfat
mempengaruhi reproduksi alga bila zat tersebut melimpah di perairan.
Menurut Aslan (1991) dalam Khasanah (2013) kadar nitrat dan fosfat di
perairan akan berpengaruh terhadap kesuburan gametofit alga. Setiap jenis alga, untuk keperluan pertumbuhannya
memerlukan kandungan nitrat yang berbeda-beda. Agar fitoplankton dapat tumbuh
optimal diperlukan kandungan nitrat antara 0.9
– 3.5 ppm, tetapi apabila
kandungan nitrat di bawah 0.1 atau di atas 4.5 ppm maka nitrat menjadi faktor
pembatas (Sulistijo, 1996 dalam Khasanah, 2013).
7. Fosfat
Tumbuhan yang berada di
perairan memerlukan fosfor (P) sebagai ion fosfat (PO4-) untuk pertumbuhan yang
disebut dengan nutrien atau unsur hara makro. Sumber alami fosfat
di perairan adalah pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan-bahan
organik. Sumber antropogenik fosfor berasal dari limbah industri, domestik, dan
limbah pertanian (Hutagalung dan Rozak, 1997 dalam Khasanah, 2013). Ernanto
(1994) dalam Khasanah (2013) mengemukakan pembagian
tipe perairan berdasarkan kandungan
fosfat di perairan yaitu :
1)
Perairan yang tingkat kesuburan rendah
memiliki kandungan fosfat kurang dari 0.02 ppm. Perairan yang tingkat kesuburan
cukup subur memiliki kandungan fosfat 0.021
ppm sampai 0.05 ppm.
2)
Perairan dengan tingkat kesuburan yang
baik memiliki kandungan fosfat 0.051 ppm
sampai 1.00 ppm.
Fosfat dapat menjadi faktor pembatas baik secara
temporal maupun spasial karena sumber fosfat yang sedikit di perairan. Kisaran
fosfat yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0.051 ppm – 1.00
ppm (Indriani dan Sumiarsih, 1991 dalam Khasanah, 2013).
8. Derajat
Keasaman (pH)
Jumlah ion hidrogen
dalam suatu larutan merupakan suatu tolak ukur keasaman. Derajat keasaman
menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentasi ion
hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu atau pH =
- log (H+). Kosentrasi pH mempengaruhi
tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik (Nybakken,
1992 dalam Khasanah, 2013).
Derajat keasaman (pH)
adalah ukuran tentang besarnya kosentrasi ion hidrogen dan menunjukkan apakah
air itu bersifat asam atau basah dalam reaksinya (Wardoyo, 1975 dalam Khasanah, 2013). Derajat keasaman (pH)
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan sehingga
dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan
masih tergantung pada faKtor-faktor lain.
Menurut Aslan (1991),
kisaran pH yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah yang cenderung basah, pH yang sangat sesuai untuk budidaya
rumput laut adalah berkisar antara 7,0 – 8,5.
9. Kedalaman
Kedalaman suatu
perairan berhubungan erat dengan produktivitas, suhu vertikal, penetrasi
cahaya, densitas, kandungan oksigen, serta unsur hara (Hutabarat dan Evans,
2008 dalam Khasanah, 2013). Kedalaman perairan sangat
berpengaruh terhadap biota yang dibudidayakan. Hal ini berhubungan dengan
tekanan yang yang diterima di dalam air, sebab tekanan bertambah seiring dengan
bertambahnya kedalaman (Nybakken, 1992 dalam
Khasanah, 2013).
Kedalaman menjadi
faktor penentuan lokasi budidaya rumput laut karena kedalaman berhubungan
dengan daya tembus sinar matahari yang berpengaruh penting pada pertumbuhan.
Menurut Indriani dan Sumiarsih (1991) dalam
Khasanah (2013) kedalaman perairan
yang ideal untuk budidaya rumput laut jenis
Eucheuma cottonii adalah sekitar 0.3 – 0.6 meter pada surut terendah (lokasi yang berarus
kencang) untuk budidaya metode lepas dasar dan 2 – 5 meter untuk metode rakit
apung, metode rawai dan metode sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari
rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.
10. Kecerahan
Banyak sedikitnya sinar
matahari yang menembus ke dalam perairan sangat bergantung dari kecerahan air.
Semakin cerah perairan tersebut akan semakin dalam cahaya yang menembus ke
dalam perairan. Penetrasi cahaya menjadi rendah ketika tingginya kandungan
partikel tersuspensi di perairan dekat pantai, akibat aktivitas pasang surut
dan juga tingkat kedalaman (Hutabarat dan Evans, 2008 dalam Khasanah, 2013).
Berkas cahaya yang
jatuh ke permukaan air, sebagiannya akan dipantulkan dan sebagian lagi akan
diteruskan ke dalam air. Jumlah cahaya yang dipantulkan tergantung pada sudut jatuh dari sinar dan
keadaan perairan. Air yang senantiasa
bergerak menyebabkan pantulan sinar menyebar kesegala arah. Sinar
yang melewati media air sebagian
diabsorbsi dan sebagian dipencarkan (scatter)
(Sidjabat, 1976 dalam Khasanah, 2013). Rumput laut membutuhkan
cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis, kurangnya cahaya yang masuk akan
berpengaruh pada proses fotosintesis (Lobban and Harrison, 1997 dalam Khasanah, 2013).
11. Pasang
Surut
Pasang surut adalah
gerak naik turunnya muka air laut secara berirama yang disebabkan adanya gaya
tarik bulan dan matahari (Nybakken, 1992 dalam
Khasanah, 2013). Pasang surut tidak
berpengaruh secara langsung dalam kegiatan budidaya namun pasut berpengaruh
dalam penentuan kedalaman suatu perairan. Penentuan ini dapat mencegah
terjadinya kekeringan pada daerah budidaya. Dalam menentukan lokasi budidaya
rumput laut, lokasi yang dipilih sebaiknya pada waktu surut masih digenangi air
sedalam 30-60 cm. Keuntungan dari genangan air tersebut yaitu penyerapan
makanan dapat berlangsung terus menerus
dan tanaman terhindar dari kerusakan akibat sengatan sinar matahari
langsung (Winarno, 1990 dalam Khasanah, 2013).
12. Oksigen
Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen =DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk
pernapasan, proses metabolisme atau
pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan
untuk oksidasi bahan-bahan organik dan
anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu
proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam
perairan tersebut (Salmin, 2000 dalam Khasanah, 2013). Oksigen terlarut adalah kandungan oksigen
yang terlarut dalam perairan yang merupakan suatu komponen utama bagi
metabolisme organisme perairan yang digunakan untuk pertumbuhan, reproduksi,
dan kesuburan alga (Lobban and Harrison, 1997 dalam Khasanah, 2013).
Faktor-faktor yang
menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi
(khusus pada malam hari), adanya lapisan minyak di atas permukaan laut dan
masuknya limbah organik yang mudah
terurai ke lingkungan laut. Untuk
pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma cottonii dibutuhkan jumlah
oksigen terlarut dalam perairan sebanyak 2
– 4 ppm, tetapi pertumbuhan lebih
baik jika oksigen terlarut berada di atas 4 ppm (Indriani dan Sumiarsih, 1991 dalam Khasanah, 2013).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) memiliki
beberapa keunggulan yaitu memiliki harga jual tinggi baik di pasar local maupun
pasar ekspor.
Abalon (Holiotis squamata) tergolong hewan yang
berumah dua atau Diocis, yaitu betina
dan jantan terpisah. Ciri utama abalon memiliki satu cangkang yang terletak
pada bagian atas. Pada cangkang abalon (Holiotis
squamata), semakin besar ukuran abalon (Holiotis squamata) maka semakin banyak lubang yang terdapat pada
cangkang.
Alga laut termasuk
dalam kelompok tumbuhan yang dikenal sebagai ganggang laut. Struktur alga laut
secara keseluruhan merupakan batang yang disebut thallus, tidak memiliki akar sejati, batang
dan daun seperti pada tanaman tingkat tinggi.
3.2
Saran
Melihat
harga dan kualitas perikanan laut yang bernilai ekonomis tinggi maka perlu
dilakukan kegiatan untuk mengembangkan budidaya laut khususnya ikan atau non
ikan seperti, ikan kerapu, Abalon (Holiotis
squamata) dan rumput laut (Eucheuma
cottonii).
DAFTAR
PUSTAKA
Faturrahman,
I. S. Rohyani, Sukiman. 2015. Budidaya Abalon-Lobster Sistem Multi Tropic Sea Farming Dengan Metode Keramba Jaring Apung. Portal Creative.
Gomong Mataram NTB
Hamid,
A. 2009. Pengaruh Berat Bibit Awal dengan Metode Apung (Floating method) terhadap Persentase Pertumbuhan Harian Rumput Laut
(Eucheuma cottonii). Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Sains
dan Teknologi. Universitas Islam Negeri (UIN). Maulanan Malik Ibrahim
Khasanah,
U. 2013. Analisis Kesesuaian Untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii Di Perairan Kecamatan
Sajoanging Kabupaten Wajo. Skripsi.
Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin. Makassar
Lamuda,
A. 2010. Teknik Pembesaran Abalon (Holiotis
squamata) di Bali Besar Riset Perikanan Budidaya laut (BBRPBL) Gondol-Bali.
Program Studi D-111 Budidaya Perikanan.Jurusan Teknologi Perikanan. Fakultas
Ilmu-ilmu Pertanian. Universitas Negeri Gorontalo.
Mamang,
N. 2008. Laju pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma
cottonii dengan Perlakuan Asal thallus
Terhadap Bobot Bibit di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulteng. Skripsi. Program Study Ilmu Teknologi
Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Nurfajrie,
Suminto, S. Rejeki. 2014. Pemanfaatan Berbagai Jenis Makroalga Untuk Pertumbuhan
Abalon (Holiotis squamata) Dalam
Budidaya Pembesaran.Jurnal Vol 3 No
4.
Ramadhani,
B. V. 2010. Manajemen Pemeliharaan Benih Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Balai
Budidaya Air Payau Situbondo Propinsi Jawa Timur. Fakultas Perikanan dan
Kelautan. Universitas Aerlangga. Surabaya
Sari,
T. W. 2011. Tekhnik Pembenihan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) da Balai Riset Perikanan Budidaya Laut
Gondol Kabupaten Singaraja, Propinsi Bali. Fakultas Perikanan dan kelautan.
Universitas Airlangga. Surabaya
Setianto,
D. Usaha Budidaya Ikan Kerapu. Pustaka Baru Press. Bantul, Yogyakarta
Sutrisna,
A. 2011. Pertumbuhan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus Forsskal, 1775) Di Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.
Skripsi. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian
Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar