
Minggu, 13 Desember 2015
Laporan Biologi Perikanan (kakap merah)
HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN KAKAP MERAH
(Lutjanus argntimaculatus)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Biologi Perikanan merupakan salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari seluk beluk dan cara pertumbuhan ikan. Biologi perikanan itu sendiri terbagi lagi menjadi dua bagian yakni biologi ikan dan dinamika populasi ikan. Biologi ikan khusus mempelajari tentang kehidupan ikan-ikan yang berupa pertumbuhan ikan, tentang bagaimana ikan-ikan dalam suatu populasi melakukan pemijahan, tumbuh dan makan. Dinamika populasi ikan khusus mempelajari perubahan populasi ikan, tentang bagaimana kecepatan populasi ikan tumbuh, mati dan memperbanyak keturunan (Molamahu, 2015).
Biologi Perikanan adalah studi mengenai ikan sebagai sumberdaya yang dapat dipanen oleh manusia. Kadang pengertian istilah biologi ikan ditujukan kepada pengertian fisiologi, reproduksi, pertumbuhan, kebiasaan makanan, tingkah laku, dan sebagainya. Usaha mengembangkan dan memajukan perikanan, pengetahuan mengenai habitat, penyebaran dan aspek biologi dari ikan menjadi dasar utama dalam usaha ini, dimana kematangan gonad sangat berhubungan dengan pemijahan. Tak terkecuali dengan fekunditas yang juga memegang peranan penting dalam penentuan kelangsungan populasi dan dinamika kehidupan. Hubungan panjang berat akan bermanfaat dalam menentukan nilai faktor kondisi dan sifat pertumbuhan ikan (Molamahu, 2015).
Hubungan panjang-berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Tetapi hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda (Molamahu, 2015).
Melihat besarnya potensi sumberdaya hayati khususnya yang berasal dari lautan di Indonesia maka perlu dilakukan suatu usaha untuk dapat mengetahui berbagai aspek biologi perikanan, hal tersebut dapat dimulai dengan melakukan praktikum yang membahas mengenai aspek biologi perikanan tersebut (Molamahu, 2015).
Atas dasar tersebut praktikum biologi perikanan dilaksanakan dengan komposisi materi meliputi hubungan panjang dan berat. Ikan yang digunakan adalah Ikan Kakap merah (Lutjanus argentimaculatus).
1.2 Tujuan
Tujuan prakikum ini yaitu untuk mengetahui hubungan panjang berat ikan kakap merah (Lutjanus argentimaculatus).
1.3 Manfaat
Untuk mengetahui karakteristik ikan kakap merah (Latjanus argentimaculatus) ditinjau dari aspek biologi perikanan, yaitu bagaimana hubungan antara panjang berat tubuh ikan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Kakap Merah (Lutjanus argentimaculatus)
Kakap merah (Lutjanus argentimaculatus) jenis ikan demersal, umumnya ikan ini mendiami perairan berdasar karang, dan yuwana kakap merah sering ditemukan menempati perairan hutan bakau atau di daerah yang banyak di tumbuhi rumput laut. Ikan demersal adalah ikan yang hidup dan makan di dasar laut dan danau (zona demersal). Lingkungan mereka pada umumnya berupa lumpur, pasir, dan bebatuan, jarang sekali terdapat terumbu karang. Sehingga berdasarkan definisi ini, ikan demersal dapat ditemukan dari lingkungan pantai hingga zona laut dalam (abyssal zone), dan terbanyak ditemukan di lingkungan dekat punggung laut. Istilah demersal berasal dari bahasa latin, demergere yang berarti "tenggelam" (Direktorat Jenderal Perikanan, 1983).
Ikan demersal berlawanan dengan ikan pelagis yang hidup dekat dengan permukaan air. Ikan demersal mengandung sedikit minyak (satu sampai empat persen massa tubuhnya), jika dibandingkan dengan ikan pelagis yang dapat mencapai 30 persen. Sehingga ikan demersal termasuk ikan daging putih (Gunarso, 1995).
Ikan demersal dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu ikan benthic yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di dasar laut, dan ikan benthopelagic yang dapat berenang naik namun tetap berada dekat dengan dasar laut. Ikan benthic memiliki massa jenis yang lebih berat dari air laut sehingga terus tenggelam, sedangkan ikan benthopelagic memiliki kemampuan untuk melayang di air. Sebagian besar ikan demersal merupakan benthopelagic (Djamal dan Marzuki, 1992).
Ikan kakap merah umumnya menghuni daerah perairan karang ke daerah pasang surut di muara, bahkan beberapa spesies cenderung menembus sampai ke perairan tawar. Jenis kakap merah berukuran besar umumnya membentuk gerombolan yang tidak begitu besar dan beruaya ke dasar perairan menempati bagian yang lebih dalam daripada jenis yang berukuran kecil. Selain itu biasanya kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antara 40–50 meter dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30–33 ppt serta suhu antara 5-32ºC (Djamal dan Marzuki, 1992).
Menurut Saanin (1984), klasifikasi kakap merah adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Ikan kakap merah (Lutjanus argentimaculatus)
(http://Fishworld.trademarket.co.htm)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub Ordo : Perciodea
Famili : Lutjanidae
Genus : Lutjanus
Spesies : Lutjanus argentimaculatus
2.2 Morfologi dan Anatomi Ikan Kakap Merah (Lutjanus argntimaculatus)
Ikan kakap merah (Lutjanus argntimaculatus) yaitu mempunyai tubuh yang memanjang dan melebar, gepeng atau lonjong, kepala cembung atau sedikit cekung. Jenis ikan ini umumnya bermulut lebar dan agak menjorok ke muka, gigi konikel pada taring-taringnya tersusun dalam satu atau dua baris dengan serangkaian gigi caninnya yang berada pada bagian depan (Gunarso, 1995).
Bagian bawah pra penutup insang bergerigi dengan ujung berbentuk tonjolan yang tajam. sirip punggung berjari-jari keras 11 dan lemah 14, sirip dubur berjari-jari keras 3 lemah 8-9. Sirip punggung umumnya berkesinambungan dan berlekuk pada bagian antara yang berduri keras dan bagian yang berduri lunak. Batas belakang ekornya agak cekung dengan kedua ujung sedikit tumpul (Djamal dan Marzuki, 1992).
Warna sangat bervariasi, mulai dari yang kemerahan, kekuningan, kelabu hingga kecoklatan. Ada yang mempunyai garis-garis berwarna gelap dan terkadang dijumpai adanya bercak kehitaman pada sisi tubuh sebelah atas tepat di bawah awal sirip punggung berjari lunak. Pada umumnya berukuran panjang antara 25 – 50 cm, walaupun tidak jarang mencapai 90 cm. Ikan kakap merah menerima berbagai informasi mengenai keadaan sekelilingnya melalui beberapa inderanya, seperti melalui indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, peraba, linea lateralis dan sebagainya (Gunarso, 1995).
Ikan kakap merah tergolong diecious yaitu ikan ini terpisah antara jantan dan betinanya. Hampir tidak dijumpai seksual dimorfisme atau beda nyata antara jenis jantan dan betina baik dalam hal struktur tubuh maupun dalam hal warna. Pola reproduksinya gonokorisme, yaitu setelah terjadi diferensiasi jenis kelamin, maka jenis seksnya akan berlangsung selama hidupnya, jantan sebagai jantan dan betina sebagai betina. Jenis ikan ini rata-rata mencapai tingkat pendewasaan pertama saat panjang tubuhnya telah mencapai 41–51% dari panjang tubuh total atau panjang tubuh maksimum. Jantan mengalami matang kelamin pada ukuran yang lebih kecil dari betinanya. Kelompok ikan yang siap memijah, biasanya terdiri dari sepuluh ekor atau lebih, akan muncul ke permukaan pada waktu senja atau malam hari di bulan Agustus dengan suhu air berkisar antara 22,2–25,2ºC. Ikan kakap jantan yang mengambil inisiatif berlangsungnya pemijahan yang diawali dengan menyentuh dan menggesek-gesekkan tubuh mereka pada salah seekor betinanya. Setelah itu baru ikan-ikan lain ikut bergabung, mereka berputar-putar membentuk spiral sambil melepas gamet sedikit di bawah permukaan air (Djamal dan Marzuki, 1992).
Secara umum ikan kakap merah yang berukuran besar akan bertambah pula umur maksimumnya dibandingkan yang berukuran kecil. Ikan kakap merah yang berukuran besar akan mampu mencapai umur maksimum berkisar antara 15–20 tahun, umumnya menghuni perairan mulai dangkal hingga kedalaman 60–100 meter (Gunarso, 1995).
2.3 Habitat dan Penyebaran Ikan Kakap Merah (Lutjanus argntimaculatus)
Selama siklus hidupnya, kakap merah melakukan dua kali ruaya, satu ruaya ke wilayah pantai dari daerah pemijahan pada fase larva atau pada awal fase benih, ruaya yang kedua yaitu migrasi ke lepas pantai pada fase remaja atau pada fase dewasa. Perairan yang ditetapkan untuk lokasi budidaya harus memenuhi persyaratan fisika, kimia dan biologi. Parameter fisika yang harus dipertimbangkan adalah arus, suhu, kecerahan. Beberapa parameter kimia yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi pembenihan meliputi oksigen terlarut (DO), salinitas, pH, BOD, COD, amoniak, nitrit, dan nitrat (Adriani, 2014).
Ikan kakap merah umumnya menghuni daerah perairan karang ke daerah pasang surut di muara, bahkan beberapa spesies cenderung menembus sampai ke perairan tawar. Jenis kakap merah berukuran besar umumnya membentuk gerombolan yang tidak begitu besar dan beruaya ke dasar perairan menempati bagian yang lebih dalam daripada jenis yang berukuran kecil. Selain itu biasanya kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antara 40–50 meter dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30–33 ppt serta suhu antara 5-32ºC (Sonhero, 2012).
.
BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum dilaksanakan pada setiap hari selasa. selama tiga kali, dimulai tanggal 14, 21 dan 28 April 2015, pukul 06.00 WITA sampai dengan selesai. Bertempat di Pelelangan Ikan (TPI) Kota Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum.
Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan
No Alat Bahan
1. Timbangan Ikan Kakap Merah
2. Mistar
3. Alat tulis menulis (ATM)
4. Camera
3.3 Prosedur kerja
Prosedur kerja pada praktikum biologi perikanan adalah sebagai berikut:
1. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada praktikum
2. Sediakan sampel ikan sejumlah yang dibutuhkan
3. Sampel ikan diletakkan diatas nampan untuk diukur panjang totalnya (TL) dengan menggunakan mistar, dan mencacat hasilnya.
4. Selanjutnya mengukur berat sampel (W) dengan menggunakan timbangan, dan mencatat hasilnya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan hasil praktikum terhadap Pengukuran panjang dan berat ikan yang dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pabean Kota Gorontalo selama tiga kali pengukuran dimulai tanggal 14, 21 dan 28 April sampai dengan selesai. Hasil pengukuran yang diperoleh disajikan pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Hasil pengukuran panjang dan berat ikan Kakap merah (Lutjanus argntimaculatus)
No Hasil Pengukuran No Hasil Pengukuran
Panjang (mm) Berat (gr) Panjang (mm) Berat (gr)
1 550 1000 26 200 190
2 300 600 27 260 250
3 280 300 28 240 230
4 220 200 29 190 170
5 300 600 30 210 200
6 590 3000 31 340 640
7 580 2600 32 290 280
8 290 400 33 150 140
9 570 2400 34 330 630
10 180 160 35 210 200
11 210 190 36 350 650
12 170 150 37 470 750
13 440 720 38 270 260
14 270 260 39 300 600
15 240 230 40 410 680
16 310 610 41 270 260
17 430 700 42 230 220
18 180 160 43 400 700
19 220 200 44 320 610
20 580 2600 45 360 650
21 300 600 46 200 190
22 290 280 47 250 240
23 190 170 48 310 590
24 210 200 49 220 210
25 330 630 50 290 280
4.2 Pembahasan
Pembahasan dari hasil yang telah diperoleh di atas akan di bahas dengan dua cara, yakni secara langsung dan cara tidak langsung :
a. Secara Langsung
Tekhnik perhitungan secara langsung ini baik digunakan jika jumlah ikan yang akan diteliti tidak terlalu banyak. Jika ikan terlalu banyak maka agak sulit dilakukan karena dapat menimbulkan banyak kesalahan dalam pencatatan.
Untuk melakukan tekhnik perhitungan secara langsung terlebih dahulu dibuat suatu daftar yang tersusun dari harga-harga L, W, Log W, Log L, Log L x Log W, (Log w)2 dan (Log L)2 seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengukuran panjang dan berat ikan beserta perhitungan selanjutnya
Dari tabel diatas didapatkan data sebagai berikut:
∑N = 50
∑(LogL)2 = 303,4077
∑ Log L = 122,9417
∑ (Log L x Log W) = 321,5708
∑(LogW)2 = 342,8001
∑ Log W = 129,7918
Maka didapatkan nilai-nilai :
b = 0,0002
a = 2,5954
r = 0,9508
b. Secara tidak langsung
Tabel 2 diatas menerangkan batas kisaran panjang adalah antara 150-590 mm, dan batas kisaran berat adalah antara 140 – 3000 gr.
1. Untuk kelas panjang
Logaritma harga terbesar = log 590 = 2,7709
Logaritma harga terkecil = log 150 = 2,1761 -
Beda logaritma = 0,5948
Banyaknya kelas yang dikendaki = 6
Beda logaritma tengah-tengah kelas = 0,5948 / 6 = 0,0991
Logaritma tengah-tengah kelas pertama = 2,1761 + ½ (0,0991) = 2,2257
Harga – harga yang terdapat dalam kelas panjang, terlihat pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Logaritma dan Antilog Kelas Panjang
Kelas Logaritma Antilog
Harga terendah Tengah Kelas Harga terendah Tengah Kelas
1 2,1761 2,2257 150 168
2 2,27523 2,32479 188 211
3 2,37435 2,42392 237 265
4 2,47348 2,5230 297 333
5 2,57261 2,62217 374 419
6 2,67173 2,7213 470 526
Kelas-kelas panjang yang terbentuk adalah :
1. 150 – 187
2. 188 – 236
3. 237 – 296
4. 297 – 373
5. 374 – 469
6. 470 – 590
2. Untuk kelas berat
Logaritma harga terbesar = log 3000 = 3,4771
Logaritma harga terkecil = log 140 = 2,1461
Beda logaritma = 1,3310
Banyaknya kelas yang dikendaki = 6
Beda logaritma tengah-tengah kelas = 1,3310 / 6 = 0,2218
Logaritma tengah-tengah kelas pertama = 2,1461 + ½ (0,2218) = 2,2570
Harga – harga yang terdapat dalam kelas panjang, terlihat pada Tabel 5 berikut :
Tabel 5. Logaritma dan Antilog Kelas Berat
Kelas Logaritma Antilog
Harga terendah Tengah Kelas Harga terendah Tengah Kelas
1 2,14613 2,2570 140 181
2 2,3680 2,47888 233 301
3 2,5898 2,70071 389 502
4 2,8116 2,9225 648 837
5 3,0335 3,14437 1080 1394
6 3,2553 3,36621 1800 2324
Kelas-kelas berat yang terbentuk adalah :
1. 140 – 232
2. 233 – 388
3. 389 – 647
4. 648 – 1079
5. 1080 - 1799
6. 1800 – 3000
Setelah kelas-kelas panjang dan berat terbentuk, selanjutnya setiap ekor ikan dimasukkan ke dalam kolom-kolom yang sesuai pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengelompokkan Ikan Ke dalam Kelasnya dan Perhitungan Selanjutnya
Keterangan yang berhubungan dengan tabel 5 adalah :
Kolom-kolom disebelah kanan adalah kolom kelas berat ikan : Kolom-kolom disebelah bawah adalah kolom kelas panjang ikan
n = Banyaknya ikan pada kolom horizontal n = Banyaknya ikan pada kolom vertikal
X = Tengah-tengah kelas logaritma panjang Y = Tengah-tengah kelas logaritma berat
nX = Perkalian n dengan X nY = Perkalian n dengan Y
nX2 = Perkalian nX dengan X nY2 = Perkalian nY dengan Y
nY = Jumlah perkalian ikan-ikan yang terdapat dalam kolom nX = Jumlah perkalian ikan-ikan yang terdapat didalam kolom severtikal
sehorizontal dengan masing-masing tengah-tengah kelas dengan masing-masing tengah-tengah kelas panjang ikan tersebut
berat ikan tersebut
nXY = perkalian nY dengan X nXY = perkalian nX dengan Y
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa analisa hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Hubungan panjang dan berat ikan memberikan suatu petunjuk keadaan ikan baik itu dari kondisi ikan itu sendiri dan kondisi luar yang berhubungan dengan ikan tersebut.
5.2 Saran
Pada kegiatan praktikum ini, sebaiknya alat dan bahan yang akan digunakan di persiapkan terlebih dahulu, agar praktikum dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiani. 2014. Lutjanus argntimaculatus. http://rodhiatul-a-fpk11.web.unair.ac.id/ artikel_detail-106243-Umum-lutjanus%20argentimaculatus.html. (Diakses 04 April 2015).
Direktorat Jenderal Perikanan. 1983. Hasil Ealuasi Potensi Sumberdaya Hayati Perikanan di Perairan Indonesia dan Perairan ZEE Indonesia. Direktorat Sumberdaya Hayati. Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian Jakarta.
Djamal R. dan S. Marzuki. 1992. Analisis Usaha Penangkapan Kakap Merah dan Kerapu dengan Pancing Prawe, Jaring Nylon, Pancing Ulur dan Bubu. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Balitbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.
Molamahu. 2015. Biologi Perikanan. https://andriperikanan.wordpress.com /2015/01/24/makalah-biologi-perikanan/. (Diakses 04 April 2015).
Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kuntji Indentifikasi Ikan. Bandung: Binatjipta.
Sonhero. 2012. Ikan Kakap Merah. http://aghresonhero.blogspot.com/2012/10/ ikan-kakap-merah.html. (Diakses 04 April 2015).
LAMPIRAN
Laporan Penangkapan (Gillnet)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penangkapan merupakan kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah atau mengawetkannya.
Jaring insang adalah satu jenis alat tangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama besar, jumlah mata jaring ke arah panjang jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah vertikal, pada bagian atas dilengkapi beberapa pelampung dan di bagian bawah dilengkapi beberapa pemberat sehingga memungkinkan jarring dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak (Martasuganda, 2002). Menurut King (1995) salah satu alat tangkap yang selektif adalah gillnet atau jaring insang. Jaring insang merupakan alat tangkap yang selektif terhadap ukuran dan jenis ikan dimana ukuran mata jaring (mesh size) bisa diperkirakan sesuai dengan ukuran ikan yang akan ditangkap. Pada prinsipnya, cara penangkapan ikan dengan jaring insang ini adalah menghadang ikan yang sedang beruaya, sehingga ikan akan menabrak jaring dan terjerat pada mata jaring (gilled) ataupun terpuntal pada tubuh jaring (entangled).
Gillnet sering diterjemahkan juga sebagai dengan jaring insang, karna pada dasar pemikiran nya ikan-ikan yang tertangkap atau terjerat pada insangnya. Dan pada umum nya ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah jenis ikan yang horizontal migrasinya dan vertikal migrasinya tidak seberapa aktif. Dan jenis ikan yang tertangkap dengan gillnet ini adalah jenis ikan-ikan yang berenang dekat permukaan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan laporan praktikum ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui pengertian alat tangkap gillnet (jaring insang).
2. Untuk mengetahui metode pengoperasian jaring insan (gillnet).
3. Untuk mengetahui hasil dan jenis tangkapan dengan menggunakan gillnet (jaring insang).
4. Unuk mengetahui jenis-jenis ikan hasil tangkapan dengan menggunakan gillnet.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat penyusunan laporan praktikum ini yakni agar mahasiswa mampu memenuhi tugas praktikum yang diberikan dan agar mahasiswa dapat mengetahui tentang alat tangkap gillnet (jaring insang).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Klasifikasi Alat Tangkap Gillnet (Jaring Insang)
Jaring insang adalah satu jenis alat tangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama besar, jumlah mata jaring ke arah panjang jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah vertikal, pada bagian atas dilengkapi beberapa pelampung dan di bagian bawah dilengkapi beberapa pemberat sehingga memungkinkan jarring dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak (Martasuganda, 2002). Menurut King (1995) salah satu alat tangkap yang selektif adalah gillnet atau jaring insang. Jaring insang merupakan alat tangkap yang selektif terhadap ukuran dan jenis ikan dimana ukuran mata jaring (mesh size) bisa diperkirakan sesuai dengan ukuran ikan yang akan ditangkap. Pada prinsipnya, cara penangkapan ikan dengan jaring insang ini adalah menghadang ikan yang sedang beruaya, sehingga ikan akan menabrak jaring dan terjerat pada mata jaring (gilled) ataupun terpuntal pada tubuh jaring (entangled).
Gillnet (jarring insang) adalah salah satu dari jenis alat penangkap ikan dari bahan jarring monofilament atau multifilament yang dibentuk menjadi empat persegi panjang, kemudian pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan pemberat (singkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jarring insang dapat dipasang di daerah penangkapan (pemukiman, kolom perairan, atau di dasar perairan) dalam keadaan tegak menghadang ikan. Jumlah mata jarring ke arah horizontal atau ke arah mesh length (ML) jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mata jarring ke arah vertikal atau ke arah mesh depth (MD). Martasuganda Sulaeman, 2009 dalam Bakpas, 2011).
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Jaring insang (gillnet) merupakan jaring berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata yang sama di sepanjang jaring. Dinamakan jaring insang karena berdasarkar cara tertangkapnya, ikan terjerat di bagian insangnya pada mata jaring. Menurut Subani dan Barus (1999) Gillnet atau jaring insang adalah suatu alat tangkap yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat ris atas-bawah (kadang tanpa ris bawah sebagian dari jaring udang barong). Menurut PERMEN. KP Nomor. PER.08/MEN/2008. Tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Jaring Insang (Gillnet) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Gillnet adalah alat penangkapan ikan yang jaring yang berbentuk empat persegi panjang dilengkapi dengan pelampung, pemberat, tali ris atas dan tali ris bawah atau tanpa tali ris bawah untuk menghadang ikan sehingga ikan tertangkap dengan cara terjerat dan atau terpuntal dioperasikan di permukaan, pertengahan dan dasar secara menetap, hanyut dan melingkar dengan tujuan menangkap ikan pelagis dan demersal.
Gillnet atau jaring insang adalah suatu alat tangkap yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat ris atas bawah (kadang tanpa ris bawah : sebagian dari jaring udang barong). (Subani dan Barus ,1999 dalam Bakpas,2011).
2.2 Sejarah Alat Tangkap Gillnet
Dalam bahasa Jepang gill net disebut dengan istilah “sasi ami”, yang berdasarkan pemikiran bahwa tertangkapnya ikan-ikan pada gill net ialah dengan proses bahwa ikan-ikan tersebut “menusukkan diri-sasu” pada “jaring-ami”. Di Indonesia penamaan gill net ini beraneka ragam, ada yang menyebutkan nya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap (jaring kuro, jaring udang dsb nya), ada pula yang disertai dengan nama tempat (jaring udang Bayeman), dan lain sebagainya. Tertangkapnya ikan ikan-ikan dengan gill net ialah dengan cara bahwa ikan-ikan tersebut terjerat (gilled) pada mata jaring atupun terbelit-belit (entangled) pada tubuh jaring.
2.3 Kontruksi Gillnet
Konstruksi umum, yang disebutkan dengan gillnet ialah jaring yang berbentuk persegi panjang yang mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan kata lain, jumlah mezh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mezh size pada arah panjang jaring. Pada lembaran-lembaran jaring, pada bagian atas dilekatkan pelampung (float) dan pada bagian bawah diletakkan pemberat (sinker). Dengan menggunakan gaya yang berlawanan arah, yaitu bouyancy dari float yang bergerak menuju ke atas dan sinking force dari sinker ditambah dengan berat jaring di dalam air yang bergerak menuju ke bawah, maka jaring akan terlentang. Detail konstruksi, kedua ujung jaring diikatkan pemberat. Posisi jaring dapat diperkirakan pada float berbendera atau bertanda yang dilekatkan pada kedua belah pihak ujung jaring. Karakteristik, gillnet berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari plastik, pemberat pemberat yang terbuat dari timah, tali ris atas dan tali ris bawah yang bahannya terbuat dari plastik. Besarnya mata jaring bervariasi tergantung sasaran yang akan ditangkap baik udang maupun ikan. (Ayodhyoa, 1974 dalam Bakpas, 2011).
Warna jaring pada gillnet harus disesuaikan dengan warna perairan tempat gillnet dioperasikan, kadang dipergunakan bahan yang transparan seperti monofilament agar jaring tersebut tidak dapat dilihat oleh ikan bila dipasang diperairan (Sadhori, 1985 dalam Bakpas, 2011).
Klasifikasi jaring insang berdasarkan jumlah lembar jaring utama dibedakan menjadi tiga, yaitu jaring insang satu lembar (single gillnet), jaring insang dua lembar (double gillnet atau semi trammel net), dan jaring insang tiga lembar (trammel net) (Martasuganda, 2002). Berdasarkan kedudukan jaring di dalam perairan dan metode pengoperasiannya jaring insang dibedakan menjadi empat, yaitu jaring insang permukaan (surface gillnet), jaring insang dasar (bottom gillnet), jaring insang hanyut (drift gillnet), dan jaring lingkar (encircling gillnet/ surrounding gillnet) (Ayodhyoa, 1981). Sedangkan menurut Subani dan Barus (1989) berdasarkan cara pengoperasiannya dibedakan menjadi lima, yaitu jaring insang hanyut (drift gillnet), jaring insang labuh (set gillnet), jaring insang karang (coral reef gillnet), jaring insang lingkar (encircling gillnet), dan jaring insang tiga lapis (trammel net).
Klasifikasi jaring insang berdasarkan metode pengoperasian:
1. Jaring insang menetap (set gillnet/fixed gillnet)
2. Jaring insang giring (frightening gillnet/drive gillnet)
3. Jaring insang hanyut (drift gillnet)
4. Jaring insang lingkar (encircling gillnet)
5. Jaring insang giring (frightening gillnet/drive gillnet)
6. Jaring insang sapu (rowed gillnet)
2.4 Metode Pengoperasian Gillnet (jaring insang)
A. Setting
Pada saat melakukan setting, kapal diarahkan ke tengah kemudian dilakukan pemasangan jaring insang tetap oleh anak buah kapal (ABK). Jaring insang tetap dipasang tegak lurus terhadap arus sehingga nantinya akan dapat menghadang gerombolan ikan, akhirnya ikan tertangkap karena terjerat pada bagian operculum (penutup insang) atau dengan cara terpuntal. Pemasangan jaring insang tetap sebaiknya bukan pada alur pelayaran. Pertama yang diturunkan pada saat pengoperasian adalah pelampung tanda, kemudian jangkar (pemberat) (Sudirman dan Mallawa, 2004 dalam Bakpas, 2011).
B. Hauling
Setelah jaring terentang dengan sempurna, maka dalam waktu tertentu, umumnya 2-5 jam dilakukan penarikan jaring. Pada saat penarikan jaring, jaring diatur dengan baik agar memudahkan pengoperasian selanjutnya ( Sudirman dan Mallawa, 2004 dalam Bakpas, 2011). Setelah dilakukan setting dan ikan yang telah terkumpul sudah cukup banyak, maka dilakukan hauling dengan menarik jaring insang tetap dari perairan ke permukaan (jaring ditarik keatas kapal). Setelah semua hasil tangkap dan jaring ditarik kemudian baru dilakukan kegiatan penyortiran terhadap hasil tangkapan.
2.5 Daerah Penangkapan
Daerah penangkapan ikan merupakan suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis. Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah penangkapan ikan” apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan.
Hal ini dapat diterangkan bahwa walaupun pada suatu areal perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat dioperasikan yang dikarenakan berbagai faktor, seperti antara lain keadaan cuaca, maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula jika terjadi sebaliknya. Pengetahuan mengenai daerah penangkapan ikan meliputi kelimpahan, kepadatan stok, sifat fisik lingkungan, pola migrasi dan distribusi jenis-jenis ikan sangat penting, seperti daerah terumbu karang (Nelwan, 2004) .
2.6 Jenis-Jenis Ikan Yang Tertangkap
karena jaring ini direntang pada permukaan perairan (surfice gillnet), maka hasil yang di peroleh adalah jenis-jenis ikan yaitu Ikan Layang (Decapterus russelli), Layang deles (Decapterus macrosoma) dan ikan Tongkol (Auxis Thazard), Musa Hi. Suleman (2012). Ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah ikan-ikan yang bergelombolan dan berenag di atas permukaan ataupun ikan-ikan damersal.
Karena jaring ini direntangkan dekat pada dasar laut, berarti jenis – jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah ikan – ikan dasar atau ikan – ikan demersal. Operasi peangkapannya sama dengan surface gillnet. Perbedaannya hanya posisi jaringan dalam air. Pada umumnya menjadi fishing ground adalah daerah pantai, teluk, muara yang menyebabkan pula jenis ikan yang tertangkap dapat berbagai jenis, misalnya hering, cod, flat fish, halbur, mackarel, sea bream, dan sebagainya.
Tertangkapnya ikan – ikan dengan gillnet ialah dengan cara ikan – ikan tersebut terjerat pada mata jaring atau terbelit pada tubuh jaring. Pada umumnya ikan – ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah jenis ikan horizontal migration dan vertikal migration (Malawa dan Sudirman, 2002).
Adapun 3 cara ikan tertangkap pada alat tangkap gillnet, seperti yang diilustrasikan dalam gambar berikut :
1. Snagged
Dimana mata jaring mengelilingi ikan tepat di belakang mata ikan.
2. Gilled
Dimana mata jaring mengelilingi ikan tepat di belakang tutup insang.
3. Wedged
Dimana mata jaring mengelilingi badan sejauh sirip punggung.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
4.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari kamis tanggal 04 Juni 2015 bertempat di Desa Iluta, Kecamatan Kecamatan Batudaa, Kabupaten Bonebolango, Propinsi Gorontalo.
4.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini sebagaimana yang disajikan pada tabel berikut:
No Alat dan Bahan Fungsi
1 Kuisisoner Sebagai pertanyaan yang disajikan kepada responden
2 Pulpen Untuk mencatat data
3 Camera Untuk pengambilan gambar dokumentasi
4 Gillnet Sebagai bahan praktek
4.3 Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja pada praktikum ini yaitu dengan terjun langsung ke lokasi dan melakukan wawancara pada masyarakat nelayan yang mempunyai alat tangkap gillnet (Jaring Insang), selanjutnya membuat laporan hasil wawancara yang dilalukan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil wawancara terhadap tiga (3) responden nelayan alat tangkap gill net adalah sebagai berikut:
1. Responden Pertama
A. Identitas Responden
1. Nama : Harton Budion
2. Umur : 48 Tahun
3. Status : pemilik
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Asal daerah : Desa Olele, Kabupaten Gorontalo
6. Jumlah anggota keluarga : 5 orang
7. Jumlah anggota keluarga yang bekerja : 3 orang
8. Jumlah anak yang sekolah : 1 orang
9. Pendidikan tertinggi : SD
10. Jumlah ABK yang bekerja : -
11. Hubungan pemilik dengan ABK : -
12. Pengalaman ABK : -
B. Investasi / Modal (FC)
1. Cara memperoleh modal : Modal sendiri
2. Biaya tetap :
a. Pengadaan kapal :Rp 8.000.000, - Daya Tahan 3,5 Tahun
b. Mesin Penggerak Kapal : Rp 3.500.000,- Daya Tahan 6 tahun
b. Pengadaan alat tangkap : Rp 1.000.000,- Daya Tahan 3 tahun
c. Mesin bantu : -
3. Kapal ukuran panjang = 6 m; Lebar = 0,95 m; tinggi = 0,85 m dan terbuat dari bahan kayu/papan
C. Biaya Operasional
1. Biaya akomodasi / ransum : -
2. Biaya bahan bakar : Rp. 70.000,- / trip
3. Air : Rp 100.000 / trip / bulan
5. Oil Rp 40.000/trip; Es/Garam Rp 9000/balok/trip
D. Produksi
1. Apa motifasi Bapak menggunakan alat tangkap :
Disamping untuk ekspor juga konsumsi masyarakat lokal
2. Berapa trip anda melaut perbulannya :
3. Musim penangkapan puncak : 15 Kg/trip. pada dari bln Agustus s/d bln September
4. Musim penangkapan sedang : 10 Kg/trip. pada dari bulan Januari s/d bulan juni
5. Musim penangkapan paceklik : 7 Kg/trip. pada dari bulan …….,. s/d bulan tidak menentu
6. Penerimaan upah ABK Rp.....,-/trip/orang; penerimaan kotor per trip ABK
Rp. 25.000,-/orang; pendapatan bersih per trip ABK Rp 2.000.000,-
7. Biaya eksploitasi gill net (Musim puncak) Rp 7.000.000./trip/bln;
8. Trip per bulan (puncak 20 hari; biasa.............hari; paceklik...................hari;
9. Harga jual musim puncak : Rp.10.000/ kg Rp 5.000/ 12 ekor
10. Harga jual musim sedang : Rp 15.000/ kg Rp 5.000/10 ekor
11. Harga jual musim paceklik : Rp 25.000/ kg Rp ..../ ekor
12. Jumlah produksi :
E. Aspek Teknik
1. Pengaruh lingkungan perairan terhadap pengoperasian alat penangkap ikan. Semakin besar pengaruh lingkungan maka skor semakin kecil.
(-) Pengaruh lingkungan sedang
2. Tingkat keterampilan nelayan yang diperlukan dalam pengoperasian alat tangkap.
(-) Terampil
1. Tingkat teknologi yang digunakan nelayan. Tingkat teknologi dicirikan oleh alat bantu yang digunakan :
(-) Lampu listrik
4. Kapasitas muat kapal (ton) 32 jumlah hari per trip G. Persepsi nelayan terhadap keberadaan ikan cakalang :
(-) Tidak tahu
F. Kecenderungan jumlah hasil tangkapan dari waktu ke waktu merupakan salah satu indicator kondisi sumberdaya ikan yang ada dalam suatu perairan :
(-) Tetap
G. Kecenderungan ukuran ikan yg tertangkap dari waktu ke waktu :
(-) Tetap
H. Penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap ikan yg ada di wilayahnya yaitu:
(-) Sebagian besar nelayan menerima
I. Persaingan dalam penentuan daerah penangkapan ikan :
(-) Kecil
J. Rincian aspek sosial :
Jumlah tenaga kerja per unit alat (orang):
Penerimaan nelayan terhadap jenis alat tangkap
Persepsi tentang kehabisan ikan
Kecenderungan jumlah hasil tangkapan (skor)
Kecenderungan ukuran ikan tertangkap (skor)
Kemungkinan pemilikan alat
2. Responden Kedua
A. Identitas Responden
1. Nama : Iklan Budion
2. Umur : 28 tahun
3. Status : Pemilik
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Asal daerah : Desa Olele, Kabupaten Gorontalo
6. Jumlah anggota keluarga : 2 orang
7. Jumlah anggota keluarga yang bekerja : 1 orang
8. Jumlah anak yang sekolah : -
9. Pendidikan tertinggi : SD
10. Jumlah ABK yang bekerja : -
11. Hubungan pemilik dengan ABK :
12. Pengalaman ABK : Mampu menjalankan dan mengerti tentang cara penangkapan dengan menggunakan gillnet
B. Investasi / Modal (FC)
1. Cara memperoleh modal : Modal sendiri
2. Biaya tetap :
a. Pengadaan Kapal : Rp 6.000.000,-Daya Tahan 2 Tahun
b. Mesin Penggerak Kapal : Rp 2.500.000,- Daya Tahan 6 tahun
c. Pengadaan alat tangkap : Rp 1.500.000,- Daya Tahan 1,5 tahun
d. Mesin bantu : Rp -
3. Kapal ukuran panjang = 3,2 m; Lebar = 42 cm; tinggi = 80 cm dan terbuat dari bahan Kayu
C. Biaya Operasional
1. Biaya akomodasi / ransum : Rp
2. Biaya bahan bakar : Rp. 54.000
3. Air : Rp 100.000 / trip / bulan
5. Oil 40.000 /trip; Es/Garam Rp 3.000/trip
D. Produksi
10. Apa motifasi Bapak menggunakan alat tangkap :
Disamping untuk ekspor juga konsumsi masyarakat lokal
11. Berapa trip anda melaut perbulannya : 2 kali/minggu
12. Musim penangkapan puncak : 50 Kg/trip. pada dari bln ..s/d bln..
13. Musim penangkapan sedang : 20 Kg/trip. pada dari bulan.. s/d bulan..
14. Musim penangkapan paceklik : 100 Kg/trip. pada dari bulan …….,. s/d bulan ….…
15. Penerimaan upah ABK Rp. ....-/trip/orang; penerimaan kotor per trip ABK
Rp. ...,-/orang; pendapatan bersih per trip ABK Rp ....,-
16. Biaya eksploitasi gill net (Musim puncak) Rp ..../trip/bln; ... Trip per bulan; biasa.............hari; paceklik...................hari;
9. Harga jual musim puncak : Rp. 15.000/ kg Rp ../ ekor
10. Harga jual musim sedang : Rp 20.000/ kg Rp ../ekor
11. Harga jual musim paceklik : Rp 30.000/ kg Rp .../ ekor
12. Jumlah produksi :
E. Aspek Teknik
1. Pengaruh lingkungan perairan terhadap pengoperasian alat penangkap ikan. Semakin besar pengaruh lingkungan maka skor semakin kecil.
(-) Pengaruh lingkungan sedang
2. Tingkat keterampilan nelayan yang diperlukan dalam pengoperasian alat tangkap.
(-) Terampil
3. Tingkat teknologi yang digunakan nelayan. Tingkat teknologi dicirikan oleh alat bantu yang digunakan :
(-) Bamboo
4. Kapasitas muat kapal (ton)... jumlah hari per trip G. Persepsi nelayan terhadap keberadaan ikan cakalang :
(-) Tidak tahu
F. Kecenderungan jumlah hasil tangkapan dari waktu ke waktu merupakan salah satu indicator kondisi sumberdaya ikan yang ada dalam suatu perairan :
(-) Tetap
G. Kecenderungan ukuran ikan yg tertangkap dari waktu ke waktu :
(-) Tetap
H. Penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap ikan yg ada di wilayahnya yaitu:
(-) Sebagaian kecil nelayan menerima
I. Persaingan dalam penentuan daerah penangkapan ikan :
(-) Besar
J. Rincian aspek sosial :
Jumlah tenaga kerja per unit alat (orang)
Penerimaan nelayan terhadap jenis alat tangkap
Persepsi tentang kehabisan ikan
Kecenderungan jumlah hasil tangkapan (skor)
Kecenderungan ukuran ikan tertangkap (skor)
Kemungkinan pemilikan alat
3. Responden Ketiga
A. Identitas Responden
1. Nama : Opan Ali
2. Umur : 38 tahun
3. Status : Sewaan.
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Asal daerah : Gorontalo
6. Jumlah anggota keluarga : 5 orang
7. Jumlah anggota keluarga yang bekerja : 1 orang
8. Jumlah anak yang sekolah : 2 orang
9. Pendidikan tertinggi : SD
10. Jumlah ABK yang bekerja : 15 orang
11. Hubungan pemilik dengan ABK : Orang lain
12. Pengalaman ABK : Menangkap Ikan
B. Investasi / Modal (FC)
1. Cara memperoleh modal : Meminjam kepada orang
2. Biaya tetap :
a. Mesin Penggerak Kapal : Rp 150. 000. 000,- Daya Tahan 1 tahun
b. Pengadaan alat tangkap : Rp 50. 000.000,- Daya Tahan 3 tahun
c. Mesin bantu : Rp 3. 000.000,- Daya Tahan 1 tahun
3. Kapal ukuran panjang = 15 m; Lebar = 5 m; tinggi = 3 m dan terbuat dari bahan kayu/papan
C. Biaya Operasional
1. Biaya akomodasi / ransum : Rp 3.000.000,-/ trip
2. Biaya bahan bakar : Rp. 200.000,- / trip
3. Air : Rp 100.000 / trip / bulan
5. Oil Rp 250.000/trip; Es/Garam Rp 200.000/trip
D. Produksi
17. Apa motifasi Bapak menggunakan alat tangkap :
Sangat bagus untuk mendapatkan ikan
18. Berapa trip anda melaut perbulannya : tergantung keadaan cuaca biasanya hampr setiap hari menangkap ikan
19. Musim penangkapan puncak : 4000 Kg/trip. pada dari bln juli s/d bln desember
20. Musim penangkapan sedang : 400 Kg/trip. pada dari bulan april s/d bulan juni
21. Musim penangkapan paceklik : 100 Kg/trip. pada dari bulan …….,. s/d bulan ….…
22. Penerimaan upah ABK Rp. 150.000,-/trip/orang; penerimaan kotor per trip ABK
Rp. 25.000,-/orang; pendapatan bersih per trip ABK Rp 1.500.000,-
23. Biaya eksploitasi gill net (Musim puncak) Rp 5.000.000./trip/bln; 8. Trip per bulan (puncak 20 hari; biasa.............hari; paceklik...................hari;
9. Harga jual musim puncak : Rp. 8.000/ kg Rp 3.000/ ekor
10. Harga jual musim sedang : Rp 15.000/ kg Rp 6.000/ekor
11. Harga jual musim paceklik : Rp 20.000/ kg Rp 8.000/ ekor
12. Jumlah produksi : ± 300 kg / trip / bulan
E. Aspek Teknik
2.1 Pengaruh lingkungan perairan terhadap pengoperasian alat penangkap ikan. Semakin besar pengaruh lingkungan maka skor semakin kecil.
(-) Pengaruh lingkungan sedang
2. Tingkat keterampilan nelayan yang diperlukan dalam pengoperasian alat tangkap.
(-) Terampil
2. Tingkat teknologi yang digunakan nelayan. Tingkat teknologi dicirikan oleh alat bantu yang digunakan :
(-) Lampu genset
4. Kapasitas muat kapal (ton) 20 jumlah hari per trip G. Persepsi nelayan terhadap keberadaan ikan cakalang :
(-) Tidak tahu
F. Kecenderungan jumlah hasil tangkapan dari waktu ke waktu merupakan salah satu indicator kondisi sumberdaya ikan yang ada dalam suatu perairan :
(-) Tetap
G. Kecenderungan ukuran ikan yg tertangkap dari waktu ke waktu :
(-) Tetap
H. Penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap ikan yg ada di wilayahnya yaitu:
(-) Rata-rata nelayan menerima
I. Persaingan dalam penentuan daerah penangkapan ikan :
(-) Kecil
J. Rincian aspek sosial :
Jumlah tenaga kerja per unit alat 22 orang (1 Nakoda, 2 Mesin, 1 KKM, 18 ABK)
Penerimaan nelayan terhadap jenis alat tangkap
(-) Lebih banyak
Persepsi tentang kehabisan ikan
(-) Tidak habis
Kecenderungan jumlah hasil tangkapan (skor)
(-) Tetap
Kecenderungan ukuran ikan tertangkap (skor)
(-) Tetap
Kemungkinan pemilikan alat
(-) Mungkin/boleh
4.2 Pembahasan
Sesuai hasil yang diperoleh dari ketiga responden tersebut tidak berbeda jauh presepsi atau pendapat mereka tentang alat tangkap gill net diantaranya :
a. Investasi / Modal (FC)
Biaya investasi termasuk komponen biaya tetap yang besarnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produk yang dihasilkan. Biaya investasi untuk penangkapan ikan dengan alat gill net dari ketiga responden terdiri dari cara memperoleh modal ada yang diperoleh dari bantuan lunak pemerintah dan ada yang meminjam uang dari orang, biaya pengadaan kapal seperti mesin penggerak kapal ± Rp 200.000.000 - Rp 250.000.000,- pengadaan alat tangkapnya ± Rp 500.000.000 – Rp 750.000.000,- dan mesin bantunya ± Rp 7.000.000 – Rp 75.000.000,-.
Pada tahun-tahun tertentu dilakukan reinvestasi untuk pembelian mesin atau peralatan yang umur ekonomisnya kurang dari 5 tahun yang seluruhnya dibiayai dari dana sendiri pengusaha (pemilik kapal). Komponen terbesar untuk biaya investasi ini adalah pembelian jaring, komponen terbesar kedua adalah biaya pembelian Kapal, kemudian disusul oleh biaya pembelian peralatan pendukung.
b. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan penjumlahan dari biaya variabel dan biaya tetap. Besar biaya variabel sangat tergantung pada jumlah produksi, dalam hal ini banyaknya trip. Komponen dari biaya operasional antara lain: bahan bakar, perbekalan. Sementara itu, besar biaya tetap tidak dipengaruhi oleh banyaknya trip.
Berdasarkan wawancara di lapangan kepada tiga (3) orang responden, biaya operasional yang diperlukan selama satu tahun mencapai ± Rp 5.000.000 – 9.000.000,- /trip, jenis biayanya seperti biaya akomodasi ± Rp 3.000.000 – Rp 7.000.000,-/trip, biaya bahan bakar ± Rp 500.000 – 7.000.000,-/ trip, harga pembelian air ± Rp 100.000,- pembelian oli ± Rp 250.000 – Rp 1.500.000,- dan pembelian Es serta garam untuk ikan ± Rp 150.000 – 200.000,-.
c. Produksi
Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan.
Hasil wawancara yang ditanyakan kepada tiga (3) responden, terkait motivasi untuk menggunakan alat tangkap gill net adalah sangat baik dan efektif untuk mendapatkan ikan. Trip yang dilakukan para nelayan untuk melaut tergantung keadaan cuaca serta ada yang perbulannya melakukan penangkapan.
Potensi perikanan tangkap yang ada di Provinsi Gorontalo khususnya di perairan Teluk Tomini untuk jumlah ikan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal mencapai 32.560 ton/tahun (Bappeda, 2005). Sedangkan sesuai hasil wawancara untuk sekali trip ikan pada musim penangkapan puncak yang diperoleh mencapai ± 5000 – 10.000 kg/trip terjadi pada bulan juli – desember, musim penangkapan sedang terjadi pada bulan april – juni ± 500 – 1000 kg/trip, dan musim penangkapan paceklik ikan yang tertangkap ± 100 kg/trip.
Penerimaan upah anak buah kapal (ABK) sesuai wawancara yang di peroleh untuk sekali tripnya mendapatkan ±Rp 200.000/trip/orang, penerimaan kotornya mendapatkan ± Rp 25.000/trip/orang, dan pendapatan bersihnya bisa mencapai ± Rp 2.000.000,-.
Biaya eksploitasi untuk alat tangkap gill net pada musim puncaknya mencapai ± Rp 7.000.000,-. Hasil tangkapan yang diperoleh nantinya akan berbeda setiap harinya, karena berdasarkan wawancara dari salah satu responden mengatakan hasil tangkapan yang didapat tergantung faktor kemujuran atau faktor baik.
Berdasarkan hasil wawancara harga jual yang diperoleh saat musim penangkapan puncak lebih murah ± Rp 8.000/kg dan 3.000/ekor karena akan banyak persaingan untuk munjualnya, pada musim sedang harga jualnya mencapai ± Rp 15.000/kg dan 6.000/ekor, serta pada musim paceklik harga ikan terbilang mahal ± Rp 20.000 – 40.000/kg dan ± Rp 8.000/ekor karena untuk mendapatkan ikan saat penangkapan cukup sedikit. Sedangkan jumlah produksi perbulannya mencapai ± 300 kg/trip/bulan.
d. Aspek Teknis
Aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan proyek secara teknis dilapangan dan pengoperasiannya setelah proyek tersebut selesai dibangun. Aspek teknis pada nelayan gill net berupa pengaruh lingkungan perairan terhadap pengoperasian alat penangkapan ikan gill net sesuai hasil wawancara bahwa pengaruhnya ke lingkungan sangat kecil.
Tingkat keterampilan nelayan yang diperlukan pada pengoperasian alat tangkap terbilang termpil. Tingkat teknologi yang digunakan nelayan saat melakukan penangkapan ada yang menggunakan lampu listrik dan genset. Kapasitas muat kapal penangkapan gill net ± 10 - 32 ton.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap presepsi nelayan terhadap keberadaan ikan cakalang tidak tahu. Namun, kecenderungan jumlah hasil tangkapan dari waktu ke waktu terbilang tetap, kecenderungan ukuran yang tertangkap pun tetap sama. Penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap ikan gill net rata-rata nelayan menerima karena persaingan dalam penentuan daerah penangkapan ikan sangat kecil.
e. Rincian Aspek Sosial
Berdasarkan wawancara dari ketiga responden nelayan gill net untuk jumlah tenaga kerja mencapai ± 20 – 25 orang yang terbagi 1 Nahkoda, 1-2 orang bagian mesin, 1 orang KKM, dan sisanya ABK untuk melakukan penangkapan ikan. Penerimaan nelayan terhadap jenis alat tangkap semakin banyak, presepsi responden tentang kehabisan ikan mengatakan bahwa ikan yang ada tidak akan habis karena kecenderungan hasil tangkapan dan ukuran ikan terbilang tetap sehingga kemungkinan untuk memiliki alat tangkap sendiri terbilang mungkin.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan :
Biaya investasi termasuk komponen biaya tetap yang besarnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produk yang dihasilkan.
Biaya operasional merupakan penjumlahan dari biaya variabel dan biaya tetap. Besar biaya variabel sangat tergantung pada jumlah produksi, dalam hal ini banyaknya trip.
Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan.
Aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan proyek secara teknis dilapangan dan pengoperasiannya setelah proyek tersebut selesai dibangun. Aspek teknis pada nelayan gill net berupa pengaruh lingkungan perairan terhadap pengoperasian alat penangkapan ikan gill net sesuai hasil wawancara bahwa pengaruhnya ke lingkungan sangat kecil.
Berdasarkan wawancara dari ketiga responden nelayan gill net untuk jumlah tenaga kerja mencapai ± 20 – 25 orang yang terbagi 1 Nahkoda, 1-2 orang bagian mesin, 1 orang KKM, dan sisanya ABK untuk melakukan penangkapan ikan.
5.2 Saran
Praktikum ini sebaiknya dilakukan sendiri dengan melihat langsung atau terjun langsung kelapangan agar lebih mudah dalam mempelajari dan memahami tekhnik pengoperasia dari gillnet (jaring insang) tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2015.http://cobaberbagidenganteman-teman.blogspot.com/2011/12/alat-tangkap-insang-dasar-bottom-gill.html (Diakses 5 April 2015)
Alim. G. 2013.http://gazalialim0.blogspot.com/2013/03/laporan-praktikum-gillnet.html (Diakses 5 April 2015)
Bakpas,A.L.2011.Variabilitas hasil tangkapan jaring insang tetap hubungannya dengan kondisi oseanografi. Skripsi.fakultas ilmu kelautan dan perikanan.universitas hassanuddin.makassar.
Saputra. 2014.http://denisaputraperikan.blogspot.com/2014/05/laporan-fieldtrip-tpi-dpi.html (Diakses 5 April 2015)
LAMPIRAN
Laporan Oseanografi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Oseanogarfi merupakan ilmu yang mempelajari tentang lautan. Oseanografi merupakan ilmu yang memadukan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu fisika (physics) yang mempelajari masalah-masalah fisis laut seperti arus, gelombang, pasang surut dan temperatur air laut, kimia (chemistry), yang mempelajari masalah-masalah kimiawi di laut, dan yang terakhir. Saat ini oseanografi merupakan suatu sumber penelitian yang aktif dan berkembang yang menyebardi seluruh dunia (Hutabarat dan Evans,1985).
Oseanografi diartikan secara sederhana sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang lautan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oseanografi ini merupakan ilmu perpaduan dari bermacam-macam ilmu dasar seperti ilmu tanah (geologi), ilmu bumi (geografi), dan ilmu iklim (Hutabarat dan Evans ,2000). Banyak faktor yang mempengaruhi kehidupan di laut seperti fisik, kimia dan biologi (Romimohtarto 2001). Parameter fisik oseanografi meliputi kemiringan pantai, pasang surut, kecepatan angin, arah angin, gelombang, suhu air dan suhu udara. Parameter kimia yang diamati meiliputi DO, CO2, alkalinitas, salinitas, pH dan kecerahan. Parameter biologi yang diamatai adalah densitas plankton, diversitas plankton dan larva ikan. Arus yang terjadi diperairan Indonesia selama Muson Tenggara umumnya lebih kuat dari pada di Muson Barat Laut. (Wyrtki, 1961). Pergantian musim mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi hidrologi perairan (Schalk,1987). Suhu perairan Indonesia pada dasarnya berkisar antara 25 – 30oC dan akan menurun satu atau dua derajat dengan kedalamannya meningkat hingga 80 db (Tomascik et al. 1997).
Teluk Tomini merupakan perairan teluk terluas di Indonesia serta memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Pentingnya ekspedisi ini adalah untuk melihat sejauh mana potensi Teluk Tomini dan nantinya akan dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Karena, kemiskinan masyarakat banyak terdapat di pesisir-pesisir. Untuk itulah, pengelolaan perikanan dan kelautan harus diselamatkan. Setidaknya ekspedisi ini bukan hanya untuk penelitian tetapi juga pengembangan wilayah minimal untuk kawasan Wallacea, sehingga nantinya bisa dilakukan pengelolaan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. (http://ppesumapapua.menlh.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=55&Itemid=111)
Kawasan laut di Provinsi Gorontalo, terutama di Teluk Gorontalo atau Teluk Tomini, menyimpan banyak potensi alam karena merupakan satu teluk yang dilalui garis khatulistiwa. Perikanan dan kelautan merupakan sector unggulan bagi Provinsi Gorontalo yang memiliki garis pantai yang cukup panjang. Garis pantai wilayah Utara dan Selatan masing-masing memiliki panjang sekitar 270 kilometer dan 320 kilometer. Potensi sumber daya perikanan di Provinsi Gorontalo berada di tiga perairan, yakni Teluk Tomini (Teluk Gorontalo), Laut Sulawesi, dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Laut Sulawesi. Tetapi, tingkat pemanfaatan perikanan tangkap baru 24,05% atau 19.771 ton per tahun.
Desa Olimoo’o adalah salah satu desa yang berada di Batudaa Pantai yang berbatasan langsung dengan perairan laut Teluk Tomini. Pada Tahun 2008 Desa Olimoo’o diusulkan jadi desa Model Pesisir dalam rangka Launching Desa-desa Model oleh Bapak Presiden Republik Indonesia di Provinsi Kalimantan Tengah pada Bulan Februari 2008, sesuai Surat Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia Nomor :B.006/M-PDT/I/2008 Tanggal 21 Januari 2008 (Profil Desa Olimoo’o, 2004 dalam Umar, 2014).
Batas wilayah Desa Olimoo’o secara administrasi adalah sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ambara Kecamatan Bongomeme, sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lamu Kecamatan Batudaa Pantai, sebelah Selatan berbatasan dengan perairan Teluk Tomini dan sebelah Barat Desa Olimoo’o berbatasan dengan Desa Biluhu Tengah, Kecamatan Biluhu.
Desa Olimoo’o terbagi menjadi 3 (tiga) dusun yaitu Dusun Tanggi, Dusun Bilato, dan Dusun Tamendao. Jumlah penduduk Desa Olimoo’o adalah sebanyak 737 jiwa dengan kepala keluarga sebanyak 181 KK. Desa Olimoo’o salah satu desa dari 7 desa yang ada di Kecamatan Batudaa Pantai dengan letak geografisnya : N = 00’ 29’ 367” ( L.U ), E = 122’ 52’ 810’’ ( B.T ) dengan luas 1350 Ha (Profil Desa Olimoo’o, 2004 dalam Umar, 2014).
Karakteristik pantai Desa Olimoo’o berbeda dengan desa lainnya yang berada di Kecamatan Batudaa Pantai, dimana tipe pantai desa Olimoo’o berbatu, sedangkan desa-desa lainnya memiliki pantai berpasir dan bersih, sehingga dijadikan sebagai tempat wisata pantai oleh masyarakat.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum oseanografi adalah untuk melakukan pengukuran dan pengamatan oseanografi di perairan teluk Tomini khususnya di Dusun Tamendao, Desa Olimoo’o, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat memahami secara baik teknik pengukuran dan kondisi perairan, dan dapat mengetahui beberapa faktor fisik, kimia suatu perairan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tipe Pantai
Pantai merupakan suatu wilayah yang dimulai dari titik terendah air laut pada waktu surut hingga arah ke daratan sampai batas paling jauh gelombang atau ombak menjulur ke daratan yang ditandai dengan garis pantai. Garis pantai (shore line) merupakan tempat pertemuan antara air laut dan daratan. Garis pantai ini setiap saat berubah-ubah sesuai dengan perubahan pasang surut air laut (Mahfudz , 2012 dalam Armos, 2013).
Umumnya morfologi dan tipe pantai sangat ditentukan oleh intensitas, frekuensi dan kekuatan energi yang menerpa pantai tersebut. Daerah yang berenergi rendah, biasanya landai, bersedimen pasir halus atau lumpur, sedangkan yang terkena energi berkekuatan tinggi biasanya terjal, berbatu atau berpasir kasar (Soegiarto, 1993 dalam Armos, 2013).
Tipe pantai dapat dilihat dari jenis substart atau sedimen yang didukung dengan pengamatan secara visual. Dalam Pedoman Perencanaan Bangunan Pengaman Pantai Indonesia, di Indonesia sendiri diidentifikasikan ada tigajenis utama tipe pantai yang dapat dibedakan berdasarkan substrat atau sedimen, sebagai berikut:
Pantai berpasir; terdapat di sepanjang garis pantai yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan bentangan pantai Sulawesi dan Maluku di Laut Banda, dominan dengan kondisi daerah pantai (foreshore) lebih terjal dan lebih dalam. Banyak terdapat pinggiran pantai berkarang.
1. Pantai berpasir merupakan pantai yang didominasi oleh hamparan atau dataran pasir, baik yang berupa pasir hitam, abu-abu atau putih. Selain itu terdapat lembah-lembah diantara beting pasir. Jenis tanah dipantai adalah typic tropopsamment dan typic tropofluvent. Pantai berpasir tidak menyediakan substrat tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakan partikel substrat (Sugiarto dan Ekariyono, 1996 dalam Armos, 2013).
2. Pantai berlumpur; terdapat di sepanjang garis pantai yang berbatasan dengan lautan dangkal pada beting Sunda dan beting Sahul, terlindung dari serangan gelombang besar dan karenanya didominasi oleh pasut dan sungai, kondisi pantai (foreshore) sangat landai dan datar dan terdapat delta-delta di beberapa kawasan pantai.
3. Pantai berkarang; di kawasan pantai ini terdapat semenanjung dan dinding tebing pantai yang terselingi antara pantai berlumpur dan berpasir.
2.2 Gelombang
Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang tergantung pada gaya pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah gelombang angin (gelombang yang dibangkitkan oleh tiupan angin), gelombang pasang surut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama gaya tarik matahari dan bulan terhadap bumi), gelombang tsunami (gelombang yang terjadi akibat letusan gunung berapi atau gempa didasar laut), gelombang kecil (misalkan gelombang yang dibangkitkan oleh kapal yang bergerak), dan sebagainya (Triatmodjo, 1999 dalam Nadia, et al 2013).
Gelombang terjadi akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di laut seperti tekanan atau tegangan dari atmosfir (khususnya melalui angin), gempa bumi, gaya gravitasi bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari), gaya coriolis (akibat rotasi bumi), dan tegangan permukaan (Triatmadja, 2004 dalam Darmiati, 2013).
Pada umumnya gelombang terjadi karena hembusan angin di permukaan air laut. Daerah di mana gelombang itu dibentuk disebut daerah pembangkitan gelombang (wave generating area). Gelombang yang terjadi di daerah pembangkitan disebut sea, sedangkan gelombang yang terbentuk di luar daerah pembangkitan disebut swell. Ketika gelombang menjalar, partikel air di permukaan bergerak dalam suatu lingkaran besar membentuk puncak gelombang pada puncak lingkarannya dan lembah pada lintasan terendah. Di bawah permukaan, air bergerak dalam lingkaran-lingkaran yang makin kecil. Saat gelombang mendekati pantai, bagian bawah gelombang akan mulai bergesekan dengan dasar laut yang menyebabkan pecahnya gelombang dan terjadi putaran pada dasar laut yang dapat membawa material dari dasar pantai serta menyebabkan perubahan profil pantai (Triatmodjo, 1999 dalam Darmiati, 2013).
2.3 Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan dalam densitas air laut atau pula disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang. Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya lebih banyak diamati di perairan pantai terutama pada selat-selat yang sempit dengan kisaran pasang surut yang tinggi. Di laut yang terbuka, arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan sangat banyak ditentukan oleh angin (Nontji, 1987 dalam Nadia, et al, 2013).
Menurut (Bernawis, 2000 dalam Nadia et al, 2013), faktor pembangkit arus permukaan disebabkan oleh adanya angin yang bertiup di atasnya. Tenaga angin memberikan pengaruh terhadap arus permukaan (atas) sekitar 2% dari kecepatan angin itu sendiri. Kecepatan arus ini akan berkurang sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan sampai pada akhirnya angin tidak berpengaruh pada kedalaman 200. Ketika angin berhembus di laut, energi yang ditransfer dari angin ke batas permukaan, sebagian energi ini digunakan dalam pembentukan gelombang gravitasi permukaan, yang memberikan pergerakan air dari yang kecil ke arah perambatan gelombang sehingga terbentuklah arus di laut. Semakin cepat kecepatan angin, semakin besar gaya gesekan yang bekerja pada permukaan laut, dan semakin besar arus permukaan. Dalam proses gesekan antara angin denganbpermukaan laut dapat menghasilkan gerakan air yaitu pergerakan air laminar dan pergerakan air turbulen (Supangat, 2003 dalam Nadia, et al 2013).
2.4 Suhu
Suhu erat kaitannya dengan cahaya. Pemanasan yang terjadi di permukaan laut yang terjadi pada siang hari tidak seluruhnya dapat diabsorbsi oleh air laut karena adanya awan dan posisi lintang. Energy akan cukup banyak diserap ketika matahari berada di atas ketinggian di langit dan berkurang ketika dekat dengan horizon. Posisi matahari di daerah tropic dan subtropik yang selalu berada di atas horizon sepanjang musim menjadikan daerah ini lebih hangat dibandingkan umumnya di daerah kutub (Widodo dan Suadi, 2006 dalam Armita, 2011).
Dahuri, dkk (2001), dalam (Armita, 2011) menyatakan bahwa di perairan nusantara kita suhu air laut umumnya berkisar antara 28-38 oC. Suhu permukaan laut (SPL), Indonesia secara umum berkisar antara 26-19 oC karena perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin musim, maka sebarab SPL-nya pun mengikuti perubahan musim. Suhu di laut adalah factor yang amat penting bagi kehidupan orgaisme (Nybakken, 2000 dalam Armita, 2011). Selanjutnya ditambahkan (Romimohtarto, 2001 dalam Armita D, 2011) bahwa suhu merupakan factor fisik yang sangat penting di laut, perubahan suhu dapat member pengaruh besar kepada sifat-sifat air laut lainnya dan kepada biota laut.
Suhu mempengaruhi daya larut gas-gas yang diperlukan untuk fotosintesis seperti CO2 dan O2, gas-gas ini mudah terlarut pada suhu rendah dari pada suhu tinggi akibatnya kecepatan fotosintesis ditingkatkan oleh suhu rendah. Panas yang diterima permukaan laut dari sinar matahari menyebabkan suhu di permukaan perairan bervariasi berdasarkan waktu. Perubahan suhu ini dapat terjadi secara harian, musiman, tahunan atau dalam jangka waktu panjang (Romimohtarto, 2001 dalam Armita, 2011).
2.5 Pasang Surut
Fenomena pasang surut diartikan sebagai naik turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut (Dronkers 1964 dalam Nadia et al 2013), pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil (Pariwono, 1989 dalam Nadia et al, 2013).
Pasang surut adalah proses naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan, terhadap massa air laut di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar daripada gaya tarik matahari. Fenomena ini memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan, sehingga menyebabkan kondisi fisik perairan yang berbeda-beda (Ali et al., 1994 dalam Darmiati, 2013).
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap masa air laut di bumi (Triatmodjo, 1999 dalam Darmiati, 2013).
Secara umum pasang surut di berbagai daerah perairan Indonesia dapat dibedakan dalam empat tipe yakni (Triatmodjo 1999 dalam Darmiati, 2013) :
1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Pasut jenis ini terdapat di Selat Malaka sampai Laut Andaman.
2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)
Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasut jenis ini terdapat di perairan selat Karimata.
3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Pasut jenis ini terdapat di perairan Indonesia bagian Timur.
4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal)
Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Pasut jenis ini terdapat di perairan utara Dangkalan Sunda.
2.6 Angin
Angin merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai peranan penting dalam interaksi antara laut dan atmsofer sehingga mendapat perhatian tidak hanya dalam penelitian meteorologi saja tetapi juga dalam penelitian kelautan. Bagi dinamika perairan laut terutama di lapisan permukaan angin merupakan sumber energi utama. Transfer energi dari angin permukaan ke laut akan menyebabkan terjadinya gelombang laut dan arus permukaan laut. Selain sebagai pembangkit gelombang laut dan arus permukaan laut, angin dapat menyebabkan terjadinya proses upwelling. Upwelling adalah proses naiknya massa air dari lapisan bawah ke lapisan permukaan (Martono, 2009).
Pada prinsipnya angin atau aliran udara bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Angin adalah pergerakan udara pada arah horisontal atau hampir horisontal, sedangkan aliran udara adalah pergerakan udara arah vertikal. Angin diberi nama berdasarkan dari mana arah angin itu bertiup. Udara yang bergerak dekat permukaan bumi yang tidak tetap kecepatan dan arahnya dinamai turbulensi. Terjadinya turbulensi disebabkan oleh gesekan udara dengan permukaan. Gesekan ini sangat dipengaruhi oleh kekasaran permukaan, lebih kasar permukaan bumi lebih besar pula turbulensi. Turbulensi kecil terjadi pada permukaan laut oleh karena kecilnya gesekan (Ashuri, 2009)
2.7 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau kadar ion H dalam air merupakan salah satu faktor kimia yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang hidup di suatu lingkungan perairan. Tinggi atau rendahnya nilai pH air tergantung dalam beberapa faktor yaitu : kondisi gas-gas dalam air seperti CO2, konsentrasi garam-garam karbonat dan bikarbonat, proses dekomposisi bahan organic di dasar perairan (Sutika, 1989 dalam Armita, 2011).
Derajat keasaman merupakan faktor lingkungan kimia air yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut pendapat (Soesono, 1988 dalam Armita, 2011) bahwa pengaruh bagi organisme sangat besar dan penting, kisaran pH yang kurang dari 6,5 akan menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan tidak ada laju reproduksi sedangkan pH 6,5 –9 merupakan kisaran optimal dalam suatu perairan.
BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum oseanografi dilaksanakan pada hari senin tanggal 01 juni 2015, pukul 18.00 WITA sampai dengan hari selasa tanggal 2 juni 2015. Bertempat di Dusun Tamendao, Desa Olimoo’o Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum oseanografi dapat dilihat pada tabel 1 dan 2:
Tabel 1. Alat yang digunakan pada praktikum sebagai berikut:
No Alat Fungsi
1 Tongkat Skala Mengukur tinggi gelombang dan pasang surut
2 Kertas Lakmus Mengukur pH air laut
3 Thermometer Mengukur suhu air
4 Stopwach/Handphone Menghitung waktu dalam pengukuran arus
Tabel 2. Bahan yang digunakan pada praktikum sebagai berikut:
No Bahan Fungsi
1 Air Laut Sebagai objek penelitian dan pengukuran parameter kualitas air
2 Botol bekas air mineral (600 ml) Untuk mengukur arus laut
3 Tali raffia (1 m) Sebagai penghubung antara patok/tongkat skala dengan botol bekas air mineral
4 Alat tulis menulis Untuk mencatat data/hasil yang diperoleh
3.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada praktikum oseanografi sebagai berikut:
3.3.1 Parameter Fisika
a. Pengukuran Suhu
1. Mencelupkan Thermometer diperairan tepat dimana tongkat skala ditancapkan, kemudian biarkan selama beberapa menit.
2. Mengamati skala yang ditunjukan oleh alat ini. Penunjukkan skala menunjukkan suhu air laut pada saat itu.
3. Mencatat hasil yang diperoleh
4. Membersihkan thermometer dengan menggunakan aquades
b. Gelombang
1. Menancapkan tongkat skala dalam air
2. Mengukur selisih antara puncak dengan lembah gelombang (sebagai tinggi gelombang)
3. Mencatat hasil pengamatan
4. Pengukuran Kecepatan Arus
1. Menghubungkan tongkat skala dengan botol air mineral yang diisi sedikit air dengan menggunakan tali raffia
2. Meletakkan botol air mineral tepat berdekatan dengan tongkat skala bersamaan dengan dimulainya stopwach
3. Setelah dilepas botolnya tunggu hingga tali merenggang bersamaan dengan dihentikannya stopwach
4. Mencatat hasil yang diperoleh
5. Pasang Surut
1. Mengamati ukuran tinggi rendahnya air laut dengan melihat tongkat skala
3.3.2 Parameter Kimia
a. Pengukuran pH Air Laut
1. Mencelupkan pH meter atau kertas lakmus kedalam perairan selama beberapa menit
2. Tunggu hingga pH meter menunjukkan angka stabil atau kertas lakmus berubah warna.
3. Mencocokkan warna kertas lakmus yang telah dicelupkan tadi dengan s warna yang terdapat pada sampul kertas lakmus
4. Kemudian mencatat hasilnya
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Dari hasil pengamatan dan pengukuran parameter oseanografi di perairan Desa Olimoo’o di dapat dilihat pada tabel 3:
Tabel 3. Hasil pengamatan parameter oseanogafi
4.2 Pembahasan
4.2.1 Tinggi Gelombang
Dari hasil pengamatan pengukuran tinggi gelombang diperoleh gelombang tertinggi 165 cm yang terjadi pada pukul 04.00 Wita, dan gelombang terendah 26 cm terjadi pada pukul 21.00 Wita.
Gambar pengamatan gelombang tertinggi dan terendah
4.2.2 Kecepatan Arus
Berdasarkan data yang diperoleh pada praktikum oseanografi bahwa hasil tercepat pengukuran kecepatan arus sampai tali merenggang yaitu 05,11 detik.
Arus laut di pengaruhi oleh timbulnya arus dan suhu permukaan laut yang berubah-ubah, arus air laut juga dapat terjadi karena adanya perbedaan suhu, tinggi permukaan laut, dan pasang surut (Wibisono, 2005).
4.2.3 Suhu
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum oseanografi pengukuran suhu tiap 1 jam sekali diperoleh hasil bahwa suhu air laut saat pengukuran pertama pada pukul 16.00 WITA adalah 270 C, suhu tertinggi saat pengukuran yaitu pada pukul 12.00 WITA yaitu sekitar 330 C dan suhu terendah pada pukul 19.00 WITA yaitu sekitar 260 C, hal ini menunjukkan kisaran suhu perairan di Desa Olimoo’o tersebut normal.
Di perairan tropis perbedaan/variasi suhu air laut sepanjang tahun tidak besar. Suhu di lautan kemungkinan berkisar antara -1.87°C (titik beku air laut) di daerah kutub sampai maksimum sekitar 42°C di daerah perairan dangkal (Hutabarat dan Evans, 1986). Suhu permukaan laut Nusantara berkisar antara 27° dan 32°C. Kisaran suhu ini adalah normal untuk kehidupan biota laut di perairan Indonesia.
4.2.4 Pasang Surut
Dari hasil pengamatan selama di lokasi praktikum terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Data pengamatan pengukuran pasang surut diperoleh pasang tertinggi 145 cm terjadi pada pukul 04.00 Wita, dan surut terendah 24 cm pada pukul 21.00 Wita.
Gambar Hasil pengamatan pasang surut air laut
Secara umum pasang surut di berbagai daerah perairan Indonesia dapat dibedakan dalam empat tipe yakni (Triatmodjo 1999 dalam Darmiati, 2013), Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) yaitu dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit, Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) yaitu dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit, pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal). dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda, pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal), pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda.
4.2.5 Derajat Keasaman (pH)
Dari hasil praktikum oseanografi tentang pengukuran pH diperoleh bahwa perairan laut di Desa Olimoo’o berkisar antara 6-7, ini berarti peariran dilokasi tersebut normal.
Berdasarkan hasil yang diperoleh selama di lokasi praktikum didapatkan data hasil pengukuran sebagai berikut:
Gambar pengukuran kisaran pH
Nilai pH dari hasil pengamatan ini masih sesuai denga pH yang umum yang dijumpai diperairan laut. Menurut Salim (1986) pH diperairan laut yang normal berkisar antara 8,0-8,5 dan antara 7,0-8,5 . (Odum, 1971) untuk perairan Indonesia pH laut permukaan berkisar antara 6,0-8,5.
4.2.6 Arah Mata angin
Untuk memanfaatkan arah angin perlu di ketahui kecepatan dan arah angin melalui suatu pengukuran. Dari kebanyakan data yang di amati arah mata angin yaitu Barat dan Barat Laut.
4.2.7 Tipe Pantai dan Substrat
Dari data hasil praktikum oseanografi tentang tipe pantai dan substrat diperoleh bahwa tipe pantai dan substrat di sekitar perairan laut di Desa Olimoo’o yaitu tipe pantai Gravely beach (pantai berbatu).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran oseanografi di perairan Teluk Tomini Desa Olimoo’o Kecamatan Batudaa Pantai dapat disimpulkan bahwa tipe pantai di lokasi praktikum yaitu pantai berbatu (Grafely beach), pasang surut terjadi 2 kali pasang 2 kali surut, pH berkisar antara 6-7 yang berarti pH di perairan tersebut masih normal dan baik untuk pertumbuhan biota laut, dan pada pengukuran tinggi gelombang di dapatkan hasil bahwa gelombang terendah terjadi pada pukul 21.00 dengan ketinggian gelombang 26 cm, dan gelombang tertinggi terjadi pada pukul 04.00 dengan ketinggian gelombang 165 cm.
5.2 Saran
Dalam pelaksanaan praktikum ini sebaiknya dilakukan dengan benar-benar serius dalam hal pengukuran dan pengamatan parameter oseanografi agar mendapatkan data yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. http://oseanografi.blogspot.com/2005/07/apa-itu-oseanografi.html (Diakses 04 Juni 2015)
Armos, N. H. 2013. Studi kesesuaian lahan pantai wisata Boe Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong ditinjau berdasarkan Biogeofisik.Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan. Universitas Hasaniddin. Makassar
Armita, D. 2011. Analisis perbandingan kualitas air di daerah budidaya rumput laut dengan Daerah tidak ada budidaya rumput laut, di dusun Malelaya, desa Punaga, kecamatan Mangerabombang, Kabupaten Takelar. Skripsi.
jurusan perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar
Ashuri. 2009. Telemetri arah mata angin dan kecepatan angin berbasis SMS. Skripsi. jurusan Fisika.Fakultas Sains dan Tekhnologi. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Malang
Darmiati. 2013. Hidrodinamika perairan pantai Bau-Bau dan transformasi gelombang diatas terumbu karang alami. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. FakultasIlmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar
Martono. 2009. Karakteristik dan variabilitas bulanan angin permukaan di perairan semudra Hindia. jurnal. Vol 13. No 2. Bidang pemodelan iklim. Lembaga penerbangan dan Antartika Nasional. Bandung. Indonesia
Nadia, P. M. Ali., Bespera. 2013. Pengaruh angin terhadap tinggi gelombang pada struktur bangunan Breakwater di Tapak Paderi Kota Bengkulu. Jurnal. Vol 5. No 1. program studi tehnik sipil. Fakultas Tekhnik UNIB. Bengkulu
LAMPIRAN
Langganan:
Postingan (Atom)